Apakah Kaum Disabilitas Masih Dianaktirikan di Dunia Kerja
Edukasi | 2023-11-05 15:53:28Apakah istilah disabilitas? Apa berbeda dengan istilah difabel? Sebelumnya, istilah yang biasa dipakai adalah penyandang cacat, yaitu mereka yang memiliki perbedaan kondisi fisik maupun mental. Istilah penyandang cacat dianggap tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman yang menyaratkan inklusivitas. Istilah penyandang cacat bernuansa kasar dan cenderung merendahkan. Oleh karena itu muncul istilah disabilitas. Kata ini diserap dari kata “disability” yang artinya ketidakmampuan. Sedangkan istilah difabel berasal dari kata “different ability” kemampuan yang berbeda. Disepakati istilah yang lebih tepat digunakan adalah disabilitas, sesuai dengan istilah yang digunakan secara internasional, termasuk yang digunakan untuk penamaan undang-undang. Secara sederhana disabilitas diartikan sebagai ketidakmampuan atau kekurangan (fisik atau mental) sehingga ditemui keterbatasan untuk melakukan sesuatu. Istilah difabel tetap bisa digunakan, terutama dalam konteks sosial. Penggunaan istilah difabel diterima lebih baik dalam pergaulan sehari-hari, meskipun dalam kaidah keilmuan istilah disabilitas lebih tepat digunakan.
Kaum disabilitas juga memiliki keinginan dan kebutuhan yang sama dengan masyarakat umumnya. Hal ini yang perlu menjadi perhatian kita semua, apalagi jika sudah masuk pembahasan terkait dunia kerja. Masih sedikit lapangan kerja yang terbuka dan memberikan kesempatan kepada para penyandang disabilitas, meskipun Undang – Undang No. 8 Tahun 2016 tentang tenaga kerja penyandang disabilitas sudah diatur. Pasal 11 menyebutkan bahwa difabel tetap memiliki hak untuk bekerja, kewirausahaan dan koperasi. Pada pasal 53 menyebutkan: (1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah wajib memperkerjakan paling sedikit 2% (dua persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah Pegawai atau pekerja, (2) Perusahaan swasta wajib memperkerjakan paling sedikit 1% (satu persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, jumlah pekerja dengan disabilitas di Indonesia mencapai 720.748 orang pada 2022. Jumlah ini proporsinya mencapai 0,53% dari total penduduk yang bekerja di Indonesia, yaitu sebanyak 131,05 juta pada tahun lalu. Menurut BPS, jumlah pekerja disabilitas Indonesia pada 2022 naik 160,18% dari tahun sebelumnya (year-on-year/yoy), yaitu berjumlah 277.018 orang pada tahun 2021. Dijelaskan juga berdasarkan jenis kelamin, jumlah pekerja disabilitas Indonesia didominasi laki-laki pada 2022, yaitu sebanyak 445.114 orang atau jika diproporsikan mencapai 0,54% dari dari total penduduk yang bekerja di Indonesia. Jumlah pekerja disabilitas laki-laki menunjukkan peningkatan 150,86% (yoy) dari 2021, yaitu sebanyak 177.433 orang. Begitu juga jumlah pekerja disabilitas perempuan mengalami kenaikan dari 99.585 orang pada 2021 menjadi 275.634 orang pada 2022. Proporsi pekerja disabilitas perempuan mencapai 0,52% dari total penduduk bekerja nasional tahun lalu.
Permasalahan yang mendasar kaum disabilitas saat ini adalah terkait hak asasi manusia dan kebebasan dari diskriminasi. Penyandang disabilitas belum mendapatkan hak sesuai dengan undang-undang No. 8 tahun 2016. Dimana ketentuan dalam memperkerjakan karyawan penyandang disabilitas untuk perusahaan swasta minimal 1% dan perusahaan milik pemerintah minimal 2%. Sehingga masih menunjukkan kurang maksimalnya penyerapan tenaga kerja dari penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas sering mendapatkan perlakuan yang tidak adil karena kekurangan mereka. Dalam hal ini, lapangan kerja yang diberikan ke penyandang disabiltas adalah konteks pekerjaan layak, sebab adanya keterbatasan secara fisik. Oleh karena itu pekerjaan yang diberikan harus terbuka seluas-luasnya bagi mereka yang memenuhi persyaratan, termasuk perlakuan tanpa diskriminasi bagi para penyandang disabilitas.
Salah satu penyebab permasalahan penyerapan tenaga kerja dari penyandang disabilitas belum maksimal adalah karena perusahaan belum siap memperkerjakan dan belum adanya kualifikasi khusus penyandang disabilitas. Jika dilihat dari pekembangan dan kemajuan teknologi saat ini di era industri 4.0, berbagai lapangan pekerjaan sudah mulai bermunculan dan bisa diakses oleh penyandang disabilitas. Tetapi, diperlukan juga persiapan kemampuan dan keterampilan dibidang teknologi guna membantu penyandang disabilitas dapat bersaing di pasar kerja era digital ini. Dalam hal ini penyandang disabilitas tidak sekadar diberikan pelatihan konvensional, seperti pelatihan keterampilan menjahit dan kerajinan tangan yang pada akhirnya membuat mereka sulit bersaing memasuki pasar kerja. Terkait hak untuk mendapatkan pekerjaan, penyandang disabilitas dengan latar pendidikan dasar dan menengah bisa dan perlu mengikuti pelatihan vokasional guna mendapatkan keterampilan sesuai dengan minat dan bakat penyandang disabilitas agar bisa menjawab tantangan dunia kerja. Sehingga kualifikasi yang diharapkan perusahaan terhadap tenaga kerja dari penyandang disabilitas dapat terpenuhi.
Terdapat beberapa rekomendasi yang dapat diberikan terkait permasalahan tenaga kerja penyandang disabilitas yaitu: 1) Perlu adanya koordinasi kerja antar kementerian yang lebih komprehensif lagi, khususnya antara kementerian ketenagakerjaan dan kementerian BUMN; 2) Perlu adanya ratifikasi pada undang-undang nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas terkait pemberiaan sanksi bagi pihak yang tidak memberikan kuota/kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas sebagaimana yang diatur pada pasal 53 (1) dan (2); 3) Meningkatkan pelatihan kerja/ pembekalan kerja bagi penyandang disabilitas agar mereka juga siap bersaing di dunia kerja; 4) Perlu adanya revisi atau perubahan rekrutmen pekerja agar penyandang disabilitas juga memiliki peluang untuk dapat diterima bekerja di sektor swasta.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.