Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Radiyatul Hasanah

Pentingnya Kesetaraan Status Sosial dalam Pernikahan

Agama | Saturday, 04 Nov 2023, 17:21 WIB
sumber: https://pin.it/2NymdUE

Permasalahan status sosial di dalam suatu pernikahan sangatlah penting keberadaannya. Dalam tujuan mewujudkan suatu pernikahan yang Bahagia, kesepadan kafa’ah juga merupakan suatu aspek penting dalam mewujudkan suatu pernikahan yang Bahagia.

Tidak dapat di pungkiri dalam kehidupan sehari-hari kita temukan bahwa adanya tingkatan-tingkatan ekonomi yang berbeda-beda dari berbagai kelompok atau kalangan masayarakat. Ada yang ekonominya sangat mapan, berkecukupan maupun yang kurang mampu. Dalam QS. Az-Zukhruf/43:32.

أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ ۚ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا

بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَٰتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُون

Artinya: Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.

Seorang Wanita yang berasal dari keluarga yang bergelimangan harta tidaklah sepadan atau sekufu dengan seorang laki-laki yang memiliki ekonomi yang tidak mapan. Hal ini tentunya nanti akan menjadi permasalahan di dalam pernikahan mereka. Misalnya Ketika sang istri meminta sesuatu yang tidak mampu diberikan oleh suaminya seperti perhiasan, pakaian dan sebagainya. Padahal Ketika bersama orang tuanya si Wanita ini sudah biasa diberikan hal-hal yang semacam itu.

Akan tetapi permasalahan kesetaraan sosial ini juga sering menjadi permasalahan di dalam suatu pernikahan. Hal-hal semacam ini tidak dapat kita hindari jika pernikahan itu sudah terjadi. Sebagai contoh seorang istri yang meminta sesuatu diluar kebutuhan pokok yang tidak mampu dipenuhi oleh suaminya. Dalam hal ini, sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw.

“siapa pun Wanita yang menyebabkan kesusahan bagi suaminya dalam urusan nafkah atau menuntutnya dengan beban berat yang tidak terpikulkan oleh suaminya, Allah tidak alan menerima ibadah dan amal kebaikannya kecuali kalau dia bertobat.”

Walaupun sang Wanita itu dulunya berasal dari keluarga yang bergelimangan harta dan berkecukupan, apabila ia telah menikah maka janganlah ia meminta sesuatu yang diluar kemampuan suaminya. Oleh karena itu, pernikahan dengan status sosial ini tidak dianjurkan dalam islam, karena akan menyebabkan masalah yang akan berujung perceraian nantinya, karena Allah membenci perceraian.

Namun, apabila ditanya apakah boleh menjalankan pernikahan yang status sosial nya tidak setara? dalam pandangan islam, hal ini diperbolehkan, sebagaimana Nabi Muhammad saw memerintahkan Fatimah binti Qais agar menikah dengan Usamah bin Zaid. Demikian yang telah dijelaskan dalam hadits Riwayat muttafaq alaih.

وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَزَوَّ جُوْاوَلَا تُطَلِّقُوْافَاِنَّ الطَّلَاقَ يَهْتَزُّمِنْهُ الْعَرْشُ

Rasulullah saw bersabda: “Kawinlah kalian dan janganlah kalian bercerai, karena sesungguhnya perceraian itu menggetarkan Arasy.” (Kasyful Ghummah, halaman. 79, jilid 2).

Sekufu atau kafa’ah ini menjadi syarat sah nikah menurut pendapat sebagian ulama. Pendapat ini diriwayatkan oleh Ahmad. Agar terwujudnya suatu pernikahan yang ideal dan Bahagia. Akan lebih baik jika kita memilih untuk menikah dengan pasangan yang setara status sosialnya. Karena pernikahan adalah ibadah seumur hidup yang akan membawa kita ke surga dengan Rahmat-Nya,agar kelak dapat meminimalisir setidaknya pertengkaran akibat permasalahan ekonomi yang nantinya dapat berujung perceraian.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image