Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Naya Nurlaila

Diskriminasi Kelas Sosial dalam Novel Salah Asuhan Karya Abdoel Moeis

Sastra | Tuesday, 31 Oct 2023, 23:12 WIB
Potret diambil oleh pribadi

Pengembangan pada kacamata terhadap legalitasnya sastra itu sendiri tentunya melalui berbagai medan yang cukup terjal, misalnya pada dunia pendidikan dan pengajaran. Pandangan atas pencapaian terhadap peranan positif yang tersalurkan pada setiap strata pendidikan itu akan terbentuk jauh berbeda, adapun dampaknya bisa menimbulkan hal yang berkaitan dengan perubahan psikologi manusia. Pada sederet novel yang begitu menyentil pada era terbitannya yakni sekitar tahun 1928, Salah Asuhan dinobatkan menjadi salah satu novel yang berada diurutan peringkat ke-3 setelah novel-novel lainnya. Novel karya Abdoel Moeis ini sangat begitu tersohor dan amat tersorot oleh seminar-seminar yang dilakukan oleh para pecinta sastra yang terkumpul dalam wadah Angkatan Balai Pustaka. Novel ini begitu diburu oleh kalangan masyarakat yang suka akan sastra, bukan berarti alur yang menarik, namun ada nilai-nilai moral yang terkuak di dalam isi novel tersebut.

Jelas sekali bahwa karya sastra yang lahir pada awal abad ke-20 ini jauh berbeda dengan karya sastra pada sebelumnya. Perbedaan yang dapat dilihat dengan jelas itu bukan saja dari isi dan bentuk saja seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, melainkan bagaimana kelugasan bahasa yang mampu menjadi alat komunikasi dengan baik sehingga dapat menyampaikan ikhtisar kepada masyarakat umum yang memang ingin menikmatinya. Sorotan novel Salah Asuhan ini mengundang berbagai untaian pendapat, salah satu diantaranya pendapat dari Hamka. Ia mengatakan bahwa perlu adanya hal baru untuk menjadi sebuah jawaban atas adanya kepincangan-kepincangan yang terjadi dalam polemik kesastraan, terutama ini dikhususkan dikalangan masyarakat Minangkabau yang sering kali melakukan kawin cerai seenaknya saja tanpa memikirkan tanggung jawab dan dampak setelah hal tersebut terjadi.

Alasan Abdoel Moeis Melahirkan Salah Asuhan

Abdoel Moeis unjuk kebolehan bukan lagi untuk membahas tentang polemik kawin paksa atau memperdengarkan jeritan atas gadis-gadis yang memang pada kala itu digambarkan sedang bestatus sedang dipingit, atau suara pemuda yang mengecam para datuk (kaum bangsawan) dinilai kerap berpoligami. Tetapi ia muncul dengan ‘Salah Asuhan’ yang menonjolkan masalah-masalah manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan cita-citanya, dendam, manusia dengan masyarakatnya bagaimana mereka menilainya, dan manusia tentang menjawab zaman yang ada. Namun polemik yang diangkat disini ialah adanya manusia yang merasa ia paling mulia, sampai lupa untuk meletakkan nilai kemanusiaan tersebut untuk manusia lain.

Kisah ini tertulis dengan bagaimana tokoh Hanafi yang tergelincir di jalan pilihannya, namun jalan tersebut merupakan jalan yang salah. Benturan-benturan yang terjadi pada hakikatnya bukanlah benturan yang berasal dari kaum tua yakni ibu dari tokoh Hanafi sendiri, melainkan benturan tersebut berasal dari dirinya sendiri. Hanafi yang dinilai bangga dapat berpendidikan di kelas bangsawan dan masyarakat Eropa kala itu, membuat nilai-nilai kebangsaan nasionalisme pada diri tokoh Hanafi ini pupus, alhasil Hanafi lebih membawa nilai sekaligus prinsip-prinsip yang berorientasi ke arah Barat. Ia memilih mewujudkan jalan dan cita-citanya yakni dengan mengawini gadis-gadis yang memiliki keturunan Indo-Eropa, Corrie du Busse, dan meninggalkan istrinya Rapiah yang dianggap sebagai wanita kampungan yang tak tahu apa-apa dan lemah dalam pendidikan.

Masuknya Westernisasi dalam Pendirian Hanafi

Pada naskah aslinya jalan cerita mulai dari plot alur awal hingga akhir ini sangat berbeda, Corrie dilukiskan sebagai gadis pesolek yang sangat menyenangi pergaulan bebas. Berkat bujukan Tante Lien ia bergaul begitu intim sekali dengan salah satu anggota orkes keroncong yang bernama Jantje. Bahkan ia telah sangat berani menjual diri kepada saudagar kayak yang berposisi sebagai kapten kapal berwarganegaraan Arab, dan lain sebagainya. Inilah sebab utama pertikaian dan penceraian antara Corrie dan Hanafi disamping perbedaan bangsa dan perbedaan lingkungan mereka rasakan setelah menikah. Sedangkan Rapiah digambarkan dalam cerita aslinya sebagai perempuan yang anggun, cantik layaknya bidadari, Rapiah sendiri merupakan kembang desa. Ia amat dikagumi oleh banyak pria juga dinilai sebagai wanita yang taat ibadah, tabah. Hal tersebut sangat berlawanan dengan sikap serta sifat yang ada pada Corrie gadis jalanan yang sangat hedon dan serakah.

Masalah yang sebenarnya bukanlah disitu namun, terletak pada Hanafi yang memang sudah sangat terbawa oleh pengaruh dunia Barat. Ia melupakan siapa dirinya dan dari manakah ia berasal, ini merupakan gambaran proyeksi kehidupan pemuda Indonesia yang memperoleh pendidikan Barat, ingin pula menyamakan hidup seperti khalayak orang Barat itu, sudah barang tentu tidak akan dapat diterima bahkan mengejutkan anggota keluarga mereka sendiri, sehingga dalam diri cerita pada novel karya Abdoel Moeis yang berjudul Salah Asuhan ini tertelak pada konflik batin. Hal itu menciptakan benturan-benturan seperti halnya konflik manusia pada umumnya, cita-cita, dendam, bahagia, dan lingkungan. Sehingga pada akhirnya Hanafi lebih memilih Corrie dan menjadikan nilai-nilai Barat menjadi pedoman hidupnya.

Dampak Memilih Barat Menghancurkan Karir Hanafi

Pendidikan Barat yang diterima secara penuh atau hanya baru berupa kulitnya saja, sudah menyebutkan bahwa tokoh Hanafi inilah jauh benar diatas bangsanya sendiri, bukan lebih dari pada itu ada yang secara langsung menghina kebudayaan atas bangsanya sendiri. Hancurnya karir Hanafi sendiri ini dikarenakan ia meninggalkan Rapiah, seorang gadis baik hati yang memang dikenal dengan sebutan kembang desa, ia meninggalkan Rapiah dikarenakan ketertarikannya dengan gadis berdarah Indo-Eropa, melihat cerita Hanafi yang pernah bersekolah di HBS selama 3 tahun. Ini merupakan awal akan adanya pandangan Barat yang masuk dalam diri Hanafi, ia melihat bahwa semua yang berbau embel-embel bangsa Indonesia terkhusus lagi Minangkabau sendiri, disebut sebagai kacung atau babu. Padahal ia tidak melihat dirinya sendiri bahwa, dirinya juga berasal dari Indonesia. Pada awalnya Ibunya sudah merasa bahwa Hanafi sudah salah didikan dan sang ibupun merasa bimbang dalam perasaannya di hatinya, ia melihat anaknya sudah ke arah Belanda-Belandaan. Memang dari kecil tidak ditanamkan kepada Hanafi Sendiri rasa ketimuran, sopan santun, tata bahasa yang baik dan pergaulan orang Timur serta adat kebiasaan bangsanya.

Maka tidaklah heran Hanafi sudah beranjak dewasa bertingkah demikian, pandangannya rendah sekali terhadap bangsanya dan agamanya. Tidak heran waktu ia mulai jatuh cinta kepada Corrie, dia sangat menyesali dirinya lahir hanya sebagai seorang bumiputera. Karir Hanafi hancur sejak ia menceraikan Corrie akibat adanya percekcokan, Hanafi mengira adanya orang ketiga di dalam rumah tangganya bersama Corrie ini. Ia tahu karena diberikan informasi oleh Tante Lien (Mak Gampyang). Sejak adanya peristiwa itu sahabat-sahabat Hanafi yang berasal dari Barat pun menjauhinya karena dinilai sudah tak ada sisi ke Baratannya, ia mengincar nafsu saja dalam menikahi Corrie karena memang suatu hal yang istimewa dari bangsa Barat yang membuat Hanafi tertarik untuk ikut serta dalam perkumpulan bangsa Barat.

Nilai Dan Amanat dari Novel Salah Asuhan

Salah Asuhan merupakan sebuah kisah seorang pemuda Minangkabau yang dianugrahi kecerdasan sehingga dapat memperoleh pendidikan Barat yang tanggung dan tidak pula mendapatkan pendidikan yang lebih baik tentang adat kebiasaan dan kebudayaan bangsanya sendiri, sehingga mengakibatkan ia salah jalan dan tidak bisa melihat mana yang baik dan yang buruk pada bangsanya.

Salah Asuhan karya Abdoel Mois ini mengungkapkan kritik terhadap masyarakat pada permulaan abad ke-20 yang kebarat-baratan (Belandasentris). Kritik ini hadir karena melihat gelagat pemuda yang awal mulanya mendapat pendidikan Barat. Hal itu menjadikan diri pemuda tersebut hilang akan primordialnya atau adat-adat yang memang dibawa dari sejak lahir hingga remaja. Mereka bukan bercita-cita untuk mengambil ilmu pengetahuan dan meniru kegiatan Barat itu, tetapi sebaliknya mereka hendak menjadi orang Barat, ini merasuki pemikiran kalian. Sampai membuat mereka lupa daratan dan menjadikan Barat sebagai acuan hidupnya. Sehingga ini dapat kita ambil menjadi sebuah pelajaran penting bahwa, segala sesuatu janganlah pernah meninggalkan asal tempat kita.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image