Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Diki Yakub Subagja

Sebuah Cita Untuk Kongres HMI XXXII

Lentera | Tuesday, 31 Oct 2023, 06:32 WIB
Ilustrasi Logo KONGRES HMI XXXII

"Memilih Pemimpin HMI yang bersih, capable, berintelektual dan kuat adalah sangat mendesak dan penting dilakukan"

~Nurcholis Madjid

Kongres Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Ke-32 yang merupakan sebuah forum kekuasaan tertinggi organisasi di HMI akan segera digelar di Kota Pontianak pada akhir bulan November 2023. Sebuah momentum periodisasi yang sakral ini, sudah sepatutnya forum tersebut menjadi ajang pembaharuan kualifikasi arah juang yang lebih strategis dengan mengedepankan prinsip penguatan kualitas organisasi. Bukan malah sebaliknya !

Di rumah besar Himpunan Mahasiswa Islam ini siapa yang tidak mengenal nama Lafran Pane dan Nurcholis Madjid atau yang sering dikenal dengan nama panggilan Cak Nur? Kedua tokoh ini merupakan contoh dari sekian banyak tokoh besar HMI yang fotonya selalu menjadi hiasan dalam setiap pamplet atau banner kegiatan HMI seperti Latihan Kader (LK).

Lafran Pane merupakan seorang Pahlawan Nasional sekaligus pemrakarsa berdirinya HMI bersama dengan 14 orang rekan perjuangannya. Sedangkan, Cak Nur merupakan seorang Cendikiawan Islam yang telah mewariskan gagasan-gagasan besar dan salah satunya merupakan rumusan landasan ideologis untuk para kader HMI yang dikenal dengan Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP).

Namun mirisnya, dalam menjelang usia ke satu abadnya, HMI belum bisa melahirkan kembali tokoh besar seperti sosok Lafran Pane dan Cak Nur. Hal itu tidak lepas dari konflik internal HMI yang tidak jelas dan sarat akan kepentingan politis. Lebih naasnya, konflik internal ini bukan hanya terjadi di tubuh Pengurus Besar (PB HMI) saja. Konflik ini seolah-olah menjadi sebuah warisan yang diturunkan sampai ke tingkat Cabang bahkan Komisariat. Akibatnya, proses kaderisasi dan gerakan intelektual di tingkat cabang dan komisariat terhambat karena efek domino dari dikotomi faksun-faksun neo-patronisme yang ikut andil secara langsung atau menjadi invisible hand (oligarki) dalam konflik internal tubuh HMI.

Sudah saatnya dalam momentum Kongres HMI ke-32 nanti, HMI sebagai pabrik intelektual mengakhiri konflik internalnya yang menjadi penghambat kemajuan organisasi dan lebih fokus kembali dalam membentuk dan melahirkan tokoh-tokoh pembaharuan bangsa yang berkualitas untuk menjadi teladan serta tulang punggung kemajuan organisasi serta peradaban umat dan bangsa.

Tanggungjawab Besar HMI

HMI sebagai organisasi mahasiswa besar yang membawa embel-embel "islam" harus mempertanggungjawabkan "values" yang menjadi asasnya tersebut. Jangan sampai embel-embel "islam" HMI ditukar dengan kepentingan-kepentingan politik praktis seperti yang akhir-akhir ini menjadi penyakit kronis yang menjalar dalam tubuh kader HMI. Akibatnya, independensi etis dan organisatoris HMI saat ini sudah terlalu banyak mengalami degradasi.

HMI sebagai organisasi yang seharusnya melahirkan kader-kader intelektual dan tokoh pembaharuan yang cenderung terhadap kebenaran "hanief" saat ini sudah terkontaminasi oleh nafsu birahi kepentingan dan kekuasaan sesaat. Sehingga, HMI dalam mewujudkan cita-citanya menjadi sebatas utopia belaka.

Banyaknya alumni HMI yang sudah saling terkoneksi dalam KAHMI dan FORHATI juga sampai saat ini dinilai belum bisa berkontribusi besar untuk menstimulus dan mempersiapkan kualitas yunior-yuniornya yang masih berproses di HMI untuk menjadi kader-kader masa depan yang lebih kompeten dan relevan. Bukannya menjadi stimulus perkaderan untuk persiapan masa depan, tapi malah terjadi sebaliknya. Kultur senioritas yang terlalu pekat dalam tubuh HMI malah menimbulkan neo-patronisme, celah intervensi dan adiksi sosial dari kader HMI.

Sehingga, apapun yang menjadi aktivitas kader harus sesuai dengan intruksi senior. Akhirnya, setiap potensi kader di batalkan oleh arogansi intruksi dan anak emas senior ! Lebih parah lagi, warisan konflik internal yang terjadi di tingkat Pengurus Besar, Badko, Cabang sampai tingkat Komisariat menjadi penghambat besar dalam progresifitas dan kesatuan gerakan intelektual kader HMI.

Selain itu, dampak yang sangat buruk terjadi ditingkat komisariat. Problem terbesar adalah citra HMI yang sudah tidak mempunyai daya tarik tersendiri di mata para mahasiswa. Citra HMI di mata mahasiswa saat ini cenderung menilai HMI itu sebagai "organisasi politis". Hal itu disebabkan karena kultur yang dilihatkan oleh kader-kader HMI hanya di dominasi dengan perhelatan kader HMI dalam setiap kontestasi meraih kekuasaan baik di internal kampus maupun di eksternal kampus.

Akhirnya, program kerja yang berjalan di level komisariat hanya sebatas menggugurkan kewajibannya dalam melaksanakan perkaderan formal yaitu LK 1. Itupun ghiroh dalam menjalankan perkaderannya seakan terpaksa dan di paksa. Setelah itu, kader-kader bahkan pengurusnya menghilang seakan ditelan bumi. Sudah ada kader yang berangkat dan lulus LKK, LK 2, SC dan LK 3, tapi di komisariatnya sendiri masih gitu-gitu aja. Apa kabar yang tidak melanjutkan jenjang training? Sepertinya mahasiswa saat ini dengan mendapat label HMI saja sudah merasa cukup untuk berproses di HMI. Miris memang, tapi itulah yang terjadi di HMI sekarang !

Padahal, jika HMI sudah mengakhiri dan menyelesaikan berbagai macam permasalahan internal yang pernah dialaminya, HMI saat ini dengan kuantitas SDM-Nya yang sangat potensial seharusnya sudah mampu melakukan gerakan pembaharuan besar secara kolektif. Jika kita sedikit mengulas sejarah perjuangan HMI, ayahanda Lafran Pane beserta 14 rekan seperjuangannya saja di fase awal pasca kemerdekaan indonesia sudah bisa menciptakan gebrakan dan kontribusi besar untuk indonesia. Lantas, apa kabar kontribusi HMI saat ini?

Kristalisasi Values Menjadi New Value

Nilai-Nilai Keislaman dan Keindonesiaan yang dirumuskan oleh para pendahulu kita, selain menjadi spirit, prinsip dan pedoman HMI, sudah seharusnya di bentuk menjadi sebuah produk intelektual yang lebih realistis dengan kondisi basic demand yang relevan dengan era saat ini.

Pembaharuan rancangan grand design kader dari sejak proses pra recruitment sampai proses tindak lanjut pasca recruitment LK 1, seharusnya menjadi salahsatu program prioritas di HMI. Misalnya, dengan adanya tuntutan dari isu megatrend global seperti Metaverse, Artificial Intelligence (AI), SDGs 2030, Singularity, Perdamaian dunia bahkan masuk nominasi dan berkompetisi untuk mendapatkan penghargaan Nobel, itu bisa menjadi sebuah acuan baru untuk penanaman dan pembentukan orientasi kompetensi kader dengan berbasis pengembangan prinsip peran perjuangan sebagai representasi kelompok generasi muda islam tentunya.

Mencetak dan melahirkan tokoh-tokoh intelektual baru dengan membawa gagasan dan inovasi baru yang dapat di implementasikan untuk menjawab tantangan zaman secara multi sektoral merupakan suatu keharusan dalam program prioritas kepemimpinan HMI selanjutnya. Sehingga, hasil dan dampak dari proses perkaderan yang di godok di HMI akan mempunyai orientasi yang lebih jelas untuk bekal proyeksi masa depan setiap kader. Jangan sampai kader-kader HMI malah menjadi merasa tidak percaya diri bahkan merasa terbatasi dengan berproses di HMI. Sudah saatnya transformasi dan inklusifitas yang berorientasi dampak dan berkelanjutan terus dikembangkan oleh HMI. Sehingga, figur Cak Nur baru yang lebih modern bisa terlahir kembali dan berlipat ganda di HMI !

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image