Bilangan Tanggal Masehi itu Pernah Dipotong Sebanyak 10 Hari
Sejarah | 2022-01-02 14:06:57SEBELUM merebaknya Pandemi covid-19 gegap gempita selalu mewarnai pergantian tahun baru Masehi, 1 Januari. Namun sedikit orang yang mengetahui, sebenarnya pada awalnya bulan pertama dari tahun Masehi bukanlah Januari, tapi Maret.
Tahun yang awal perhitungannya ini berdasarkan kelahiran Nabi Isa a.s yang bergelar Al-Masih, kemudian lebih populer dengan sebutan Masehi telah mengalami beberapa modifikasi perhitungan penanggalan. Pada era Romawi satu tahun Masehi ditetapkan 12 bulan atau 355 hari.
Nama-nama bulannya diambil dari nama-nama tokoh leluhur bangsa Romawi, yakni Martius (31 hari), Aprilis (29 hari), Maius (31 hari), Iunius (29 hari), Quantilis (31 hari), Sextilis (29 hari), September (29 hari), October (31 hari), November (29 hari), December (29 hari), Ianuarius (29 hari), dan Februarius (28 hari).
Dari sini jelaslah, bulan pertama tahun Masehi adalah Martius (Maret), bukan Januari dan bulan terakhirnya adalah Februarius (Februari). Lalu sejak kapan bulan pertama tahun Masehi menjadi Januari?
Pada masa pemerintahan Julius Caesar, penanggalan tahun Masehi mengalami beberapa perubahan. Jumlah hari yang pada awalnya 355 hari, setelah dilakukan koreksi perhitungan berubah menjadi 365,25 hari. Susunan bulannya pun diubah.
Bulan pertama menjadi bulan Januari sebagai peringatan atas sidang pertama parlemen pemerintahan Julius Caesar. Karena perubahannya dilakukan Julius Caesar, kalender ini lebih dikenal dengan nama kalender Julian.
Nama-nama bulan beserta jumlah harinya adalah Januari (31 hari), March (31 hari), May (31 hari), July (31 hari), September (31 hari), November (30 hari), April (30 hari), June (30 hari), August (30 hari), October (30 hari), December (30 hari), February (29 – 30 hari). Kalender Julian ini bertahan selama 15 abad.
Setelah berlaku hampir 15 abad, para tokoh agama Nasrani kembali melakukan koreksi dan modifikasi terhadap kalender Julian. Adapun hal yang melatarbelakanginya adalah kekeliruan dan keraguan dalam menentukan peringatan hari wafatnya Isa al-Masih.
Sejak dahulu orang-orang Nasrani meyakini, peringatan wafatnya Isa al-Masih selalu jatuh pada hari Minggu setelah bulan purnama atau setelah tanggal 21 Maret. Namun dengan menggunakan kalender Julian, perayaan wafatnya Isa al-Masih tidak lagi pada hari Minggu, melainkan lewat beberapa hari. Orang-orang Nasrani menjadi ragu akan kebenaran sistem perhitungan kalender Julian.
Memperhatikan keraguan dan keresahan umatnya, Paus Gregorious XIII atas saran Christoper Clavius melakukan beberapa koreksi terhadap sistem perhitungan kalender Julian. Hasil koreksinya ia memutuskan memotong sebanyak 10 hari penanggalam Masehi.
Peristiwa tersebut terjadi pada hari Kamis tanggal 4 Oktober 1582 M. Berdasarkan keputusan Paus Gregorious XIII, keesokan harinya tidak boleh lagi dibaca, Jum’at tanggal 5 Oktober 1582 M, tapi harus dibaca Jum’at tanggal 15 Oktober 1582 M.
Tujuan dari koreksi tersebut adalah agar peringatan wafatnya Isa al-Masih benar-benar sesuai dengan realitas sebenarnya, yaitu jatuh pada bulan purnama setelah matahari melintasi titik Aries.
Selain pemotongan tanggal sebanyak 10 hari, Paus Gregorious XIII pun memutuskan perubahan susunan nama bulan yang dimulai dari bulan Januari dan berakhir dengan bulan Desember seperti yang berlaku sampai saat ini.
Referensi
Abdul Karim, 2006, Mengenal Illmu Falak, Semarang : Intra Pustaka Utama
Jubair Umar Al-Jailani, tanpa tahun, Al-Khulashot al Wafiyah fi al Falak bi Jadwal al Lughoritmiyah, Kudus : Penerbit Menara Kudus
Moedji Raharto, 2001, Sistem Penanggalan Syamsiah/Masehi, Bnadung : Penerbit ITB
Muhammad Ma’shum bin ‘Ali, 1992, Ad Durus al Falakiyah al Kitab al Awwal, Semarang : Penerbit Sa’ad Bin Nashr Nabhan
Salamun Ibrahim, 1995, Ilmu Falak, Cara Mengetahui Awal Bulan, Awal Tahun, Musim, Kiblat, dan Perbedaan Waktu, Surabaya : Penerbit Pustaka Progresif
Susiknan Azhari, 2001, Ilmu Falak, Teori dan Praktek, Yogyakarta : Penerbit : Lazuardi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.