Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Denny Kodrat

Penanganan Terhadap Perundungan

Edukasi | Sunday, 29 Oct 2023, 17:08 WIB

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi merilis data bahwa 20% siswa laki-laki dan 25,4% siswa perempuan usia 13-17 tahun mengaku pernah mengalami satu jenis kekerasan atau lebih dalam 12 bulan terakhir. Satu dari empat siswa berpotensi mengalami hukuman fisik, dan satu dari tiga siswa berpotensi mengalami perundungan (AN Kemendikbudristek, 2022). Kategori pengaduan ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang tertinggi sepanjang 2022 adalah anak korban kejahatan seksual, anak korban kekerasan fisik dan psikis, serta anak korban pornografi dan cyber crime sebanyak 2133 kasus. Pertanyaan kritisnya, bagaimana menghadirkan pendidikan bermutu tanpa kekerasan yang dapat menghentikan tindakan perundungan.

Fitrah Manusia

Manusia diciptakan Allah Swt sebagai sebaik-baiknya ciptaan (Q.S At-Tiin: 4). Manusia secara fitrah memiliki potensi akal, naluri (gharizah) dan kebutuhan hidup (hajjatun udhawiyyah) (An Nabhani, 2014). Salah satu naluri yang berkaitan dengan harga diri (pride), rasa berani, takut dan kehormatan (dignity) adalah naluri mempertahankan diri (gharizah al baqa). Perasaan ingin dihargai, aktualisasi, senang bila menang, dan tidak mau kalah merupakan perwujudan gharizah al-baqa. Ini merupakan fitrah manusia. Tidak dapat dihilangkan, namun dikendalikan penyalurannya.

Manusia memiliki kecenderungan terhadap lawan jenis, melestarikan keturunan dan penyayang merupakan fitrah dari penampakkan naluri melestarikan keturunan (gharizah an-nau’), serta manusia cenderung menyucikan sesuatu, menyembah zat yang diyakini memiliki kekuatan yang melebihi dirinya, wujud dari naluri beragama (gharizah at-tadayyun).

Akal berfungsi mengendalikan penyaluran ketiga naluri ini berdasarkan kesadaran. Informasi yang menumbuhkan kesadaran ini berasal dari pendidikan keluarga, masyarakat dan sekolah. Pendidikan tersebut menjadi informasi sebelumnya (prior knowledge) yang tersimpan dalam otak, diolah akal dengan sistem nilai yang diyakini menjadi kesadaran (awareness). Luaran proses ini menjadi perbuatan (action).

Pendidikan berupaya mengoptimalkan otak berpikir manusia (otak primata). Interaksi guru dan siswa sebagai inti pendidikan bertujuan untuk mengajak siswa berpikir. Dengan berpikir diharapkan memunculkan kesadaran sehingga mampu menilai mana perbuatan baik dan buruk, benar dan salah.

Perbuatan kekerasan atau perundungan seperti memukul, mengintimidasi, atau aktivitas kekerasan verbal lainnya didorong oleh naluri baqa yang membabi buta. Otak berpikir pelaku tidak mampu menghadirkan kesadaran bahwa tindakan itu salah, bertentangan dengan sistem sosial. Bisa jadi, karena pelaku banyak disuguhi oleh tayangan kekerasan yang didapat dari berbagai media. Diperparah bila pelaku merupakan korban tindakan kekerasan yang terjadi di lingkungan masyarakat atau keluarga. Setidaknya, ia pernah melihat dan merasakan tindakan kekerasan. Saat perbuatan kekerasan itu hadir terus-menerus, dibiarkan, sistem nilai yang ada dalam akalnya akan menganggap bahwa memukul, menendang dan tindakan kekerasan fisik lainnya sebagai perbuatan biasa dan berterima.

Penumbuhan kesadaran siswa dalam kurikulum merdeka sudah tepat. Sistem hukuman dan penghargaan (punishment and rewards) dihindari karena ia hanya akan melahirkan kepribadian palsu (pseudo personality) dan didorong hanya oleh motivasi eksternal, tidak otomatis memunculkan kesadaran dan motivasi internal. Budaya disiplin positif yang mengedepankan nilai-nilai kebajikan universal di sekolah terus diintensifkan, menghilangkan budaya sanksi, persaingan dan perundungan dalam diri siswa. Di tingkat kelas, pembelajaran berbasis inkuiri apresiatif dan cara berpikir berbasis aset/kelebihan (asset based thinking) mengajarkan kepada siswa bahwa sekecil upaya apapun yang telah dilakukan harus diapresiasi. Fokus pada kelebihan dan pencapaian, bukan pada kekurangan sejatinya merupakan wujud dari menghadirkan kesejahteraan siswa (student’s wellbeings), agar naluri baqa yang haus pujian, power, dapat dikendalikan dengan baik. Mengoptimalkan otak berpikir. Penerapannya, guru tidak memanggil siswa dengan nama (nickname) yang dapat membuat malu, tidak menghukum siswa secara fisik, memisahkan siswa dari barisan yang tujuannya menjadi contoh salah bagi teman-temannya, atau sanksi lainnya yang diyakini dapat membuat jera. Guru, orang tua dan masyarakat terus berupaya memunculkan kesadaran siswa. Mengajak berpikir hingga terbentuk kesadaran bahwa seluruh perbuatan yang dilakukan harus bertujuan dan dapat dipertanggungjawabkan.

Kolaborasi dan Komunikasi

Seperempat waktu efektif siswa dihabiskan di sekolah. Seharusnya mampu menumbuhkan kesadaran dan menjadi benteng dari serbuan informasi sampah dari gawai. Nyatanya, kekuatan pendidikan formal tidak cukup mampu menahan arus deras informasi tersebut. Sekolah dapat membuat kebijakan terintegrasi dalam pembinaan siswa. Kolaborasi kegiatan intrakurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler dalam membina siswa menjadi penting. Akhlak mulia dan pendidikan karakter tidak cukup disampaikan dalam teori, ceramah atau materi pembelajaran. Ia perlu dibiasakan, diberikan contoh teladan (role model) baik oleh guru, tenaga kependidikan di sekolah, dan juga masyarakat dan orang tua di rumah. Sehingga tujuan akhir pendidikan, menyiapkan warga negara yang baik (civilized and good citizen) yang tidak menjadi beban masyarakat dapat tercapai.

Guru tidak mengintimidasi siswa dengan ancaman nilai atau tidak naik kelas dengan tujuan agar mereka rajin belajar. Seharusnya, guru memberikan pembelajaran yang bermakna, berkesadaran (mindfulness), menumbuhkan inspirasi. Selesai pembelajaran, guru rajin melakukan refleksi apakah pembelajaran yang dilakukan bermutu, mencapai tujuan yang direncanakan dan memberikan dampak bagi pertumbuhan psikologi dan sosial siswa.

Guru dan tenaga kependidikan di sekolah perlu menjadi garda terdepan (first layer officer) praktik suri teladan. Pengembangan potensi siswa dalam kegiatan intra, ko dan ekstrakurikuler dikawal dengan berbasis data. Sekolah mengetahui berapa siswa yang aktif dalam setiap kegiatan kurikuler tersebut. Siswa yang tidak mengikuti pun diketahui posisinya dan dikomunikasikan dengan orang tua. Tidak ada siswa yang tidak diketahui keberadaannya pada jam belajar. Sekolah mengetahui tempat mana saja yang berpotensi terjadinya tindakan kekerasan dan melakukan pencegahan di tempat tersebut. Sekolah pun memiliki target untuk terus mengurangi bahkan menghilangkan jam kosong karena ketidakhadiran guru di kelas dengan sistem guru pengganti (invaler). Selain itu, kampanye anti kekerasan dan perundungan terus dilakukan secara masif. Kegiatan seperti workshop, pelatihan, dan kegiatan sejenis dilakukan terhadap siswa yang berpotensi sebagai pelaku tindak kekerasan dan perundungan untuk memunculkan kesadaran bahwa perbuatan tersebut keliru dan berbahaya.

Terkadang guru bimbingan dan konseling lebih memfokuskan pada tindakan kuratif, memanggil siswa bermasalah dan orang tuanya. Padahal penyamaan frekuensi mengenai parenting dengan mereka penting dilakukan. Berbagi tanggung jawab menjadi titik krusial yang dilakukan antara sekolah dan keluarga. Pembinaan terhadap siswa dapat dilakukan dengan membuat pelatihan atau kelas inspirasi yang bertujuan memantik mindset bertumbuh (growth mindset) siswa. Barangkali yang menjadi tantangan sekolah bagaimana mendidik siswa para pelaku perundungan atau kekerasan agar ia menyadari bahwa tindakan tersebut keliru. Hukuman pidana atau semisalnya yang diyakini menimbulkan efek jera pada realitanya tidak menghentikan perundungan. Artinya, perbaikan sistem perlu ditempuh untuk menghentikan perundungan ini secara lebih mengakar.

Organisasi ekstrakurikuler diperbanyak ragamnya sesuai minat siswa untuk mewadahi seluruh keinginan siswa. Biasanya, kelompok atau geng merekrut siswa yang tidak memiliki aktivitas ekstrakurikuler. Sekolah dan orang tua perlu berkomunikasi untuk menilai aktivitas siswa di luar pembelajaran. Tantangan bagi sekolah menghadirkan kegiatan ekstrakurikuler yang menarik dan memuaskan rasa penasaran siswa sehingga ia tidak tertarik lagi pada kelompok atau geng yang berpotensi mengajarkan kekerasan kepada siswa. Bila perlu, sekolah dapat bersikap tegas dengan melaporkan kepada aparat penegak hukum mengenai aktivitas geng yang meresahkan tersebut. Begitu pula masyarakat, ia dituntut peka lingkungan. Berkoordinasi dengan sekolah bila ditemukan kerumunan yang diduga kuat mengakibatkan kekerasan.

Penanganan Bagi Pelaku

Penanganan bagi pelaku perundungan atau kekerasan seringkali terlewatkan. Dikeluarkan dari sekolah, dipidana dan menjadi warga binaan seolah menyelesaikan masalah. Efek jera yang ditimbulkan dari sanksi pidana dan sosial diyakini akan mengubah sikap pelaku. Namun yang terjadi tidak demikian. Penjara tidak jarang membuat pelaku yang di bawah umur menjadi “monster”. Hal ini yang perlu dipikirkan oleh tim pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah, dinas pendidikan dan kementerian bagaimana mengubah pola pikir pelaku dari yang salah menjadi dapat menyadari kekeliruannya.

Proses hukum seolah-olah berfungsi sebagai balasan atas perbuatan yang dilakukan. Itu pulalah cara untuk meredam amuk massa saat keluarga korban meminta pelaku, yang notabene siswa, dihukum yang setimpal. Sementara pelaku ini masih memiliki masa depan yang perlu diselamatkan.

Pemerintah nampaknya perlu membekali sekolah dengan kurikulum dan guru yang berfungsi membina pelaku sehingga ia dapat kembali kepada fitrahnya, menjadi manusia beradab. Restorative justice dapat dijadikan pendekatan untuk menyelesaikan masalah antara pelaku dan korban. Sekolah mengambil peran lebih untuk mendidik pelaku agar ia dapat mengubah pola pikir dan sikapnya.

Saat sekarang penanganan bagi pelaku oleh sekolah masih bertumpu pada pemberian sanksi dengan dihentikan layanan pendidikannya dan dikembalikan kepada orang tuanya. Bagi orang tua yang mampu, tidak sulit untuk menemukan sekolah yang dapat memberikan layanan pendidikan bermutu. Namun tidak bagi yang tidak mampu. Akhirnya anak putus sekolah, bergabung dengan kelompok/geng yang ujungnya meresahkan masyarakat.

Penting sekali bagi sekolah mengambil peran lebih dalam melakukan pembinaan bagi pelaku kekerasan/perundungan. Diperlukan terobosan oleh kepala sekolah, komite pembelajaran, komite sekolah dan sivitas sekolah untuk membangun sistem sekolah yang dapat memberikan pendidikan yang mencerahkan bagi pelaku kekerasan. Sekolah dipandang berhasil bila ia mampu mengubah pola pikir dan sakit pelaku kekerasan/perundungan menjadi siswa yang baik. Selain itu, rasa tanggung jawab (sense of responsibility) terhadap pendidikan perlu dipupuk sehingga ia tidak hanya menjadi tugas tunggal sekolah, melainkan orang tua dan masyarakat.

Orang tua di rumah dilarang mempraktikan kekerasan dalam rumah tangga terlebih bertengkar di depan anak. Demikian pula, tawuran antar warga, perkelahian antar pendukung sepak bola, kisruh warga dan aparat atau aksi kekerasan sejenis harus dihentikan karena perbuatan itu dapat ditiru oleh siswa dan dipraktikan di sekolah kepada temannya.

Sekolah perlu didesain sebagai wahana rehabilitasi pelaku kekerasan/perundungan, agar ia kembali kepada fitrahnya sebagai manusia beradab. Pelaku tidak selayaknya dikeluarkan dari sekolah, melainkan diberikan layanan pendidikan tambahan agar muncul kesadaran bahwa perbuatannya tersebut keliru dan memperbaikinya. Pemahaman bahwa sekolah tempat memperbaiki akhlak dan sikap (attitude) harus dimiliki oleh guru, tenaga kependidikan dan orang tua. Sekolah merupakan tempat kulturisasi kebaikan di mana siswa siswa seharusnya nyaman dan bahagia berada di sekolah. Pendidikan sejatinya hadir untuk melahirkan manusia beradab, halus budi pekertinya, kritis nalarnya dan menjadi warga negara yang baik, tidak menjadi beban masyarakat. Bila sekolah mampu melakukan tugas tersebut, perundungan dapat dihentikan. Semoga!

---------------

Denny Kodrat, pengamat pendidikan

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image