Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ibn Taufiq

Politik Sebagai Alat untuk Mewujudkan Kemaslahatan, bukan Kepentingan

Politik | Sunday, 29 Oct 2023, 09:03 WIB
Sumber: Gen Muslim

Beberapa bulan terakhir di media sosial telah banyak konten yang mengangkat tentang isu-isu politik. Fenomena ini tidak mengherankan. Karena dalam waktu dekat. Bangsa Indonesia akan merayakan pesta demokrasi. Yaitu dengan adanya kontestasi pemilihan umum yang akan dilaksanakan pada 14 – 15 Februari 2024. Akan tetapi, terkadang isu-isu politik malah memicu hal-hal yang tidak mengenakkan. Seperti adanya ujaran kebencian, penyebaran fitnah, penggorengan fakta. Dan masih banyak lagi. Bahkan sampai muncul hal-hal yang berpotensi untuk memecah belah persatuan bangsa, yaitu “politik identitas”. Merujuk pada tulisan saya sebelumnya.

Politik adalah Kekuasaan

Hal ini mungkin dilatarbelakangi oleh istilah “politik” dikonotasikan pada sesuatu yang negatif. Yaitu seperti yang dikatakan oleh Andrew HeywoodAll politics is about power”, yang artinya bahwa semua politik berkaitan dengan kekuasaan. Bahkan ditekankan olehnya, bahwa politik sebagai usaha untuk memperjuangkan kekuasaan. Di sisi lain, politik dipahami sebagai alat untuk memululuskan kepentingan kelompok. Pemahaman muncul dari pemikiran tentang politik yang selalu berorientasi pada kekuasaan untuk memuluskan sebuah kepentingan kelompok. Sehingga banyak pihak yang ingin untuk memenangkan catur perpolitikan di Indonesia. Walaupun tidak mengindahkan aturan main yang baik.

Politik untuk Kepentingan

Sebagai refleksi atas politik sebagai alat untuk memuluskan sebuah kepentingan, kita dapat melihat di kancah perpolitikan di Indonesia. Hal ini sangat terlihat di lingkungan parlemen. Yaitu saat Menkopolhukam, Prof. Mahfud MD mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera mengesahkan undang-undang perampasan asset. Akan tetapi, secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa kendali utama dalam ranah legislatif berada di tangan ketua-ketua partai. Sehingga DPR tidak berani secara sepihak untuk mengegolkan undang-undang tersebut.

Dari refleksi kecil di atas, sebuah proper name “DPR” singkatan dari “Dewan Perwakilan Rakyat” dalam pengambilan sebuah keputusan tidak berbasis pada kepentingan umum Masyarakat. Melainkan berdasarkan arahan dari kendaraan politiknya yang notabenenya mewakili sebagian kelompok kecil dalam Masyarakat atau malah kepentingan internal. Padahal apabila kita membaca arah dari undang-undang perampasan aset adalah menjadi payung hukum bagi negara untuk melakukan perampasan aset-aset hasil tindak pidana. Seperti korupsi, narkotika, perdagangan manusia, kerusakan lingkungan bahkan perjudian. Karena sampai saat ini, negara kesulitan dalam dalam melakukan perampasan aset hasil tindak pidana. Guru Besar Hukum Pidana fakultas hukum Universitas Gajah Mada, Prof Edward Omar Sharif Hiariej. Mengatakan bahwa Indonesia telah tertinggal 17 tahun karena Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset belum disahkan. Idealnya, undang-undang tersebut disahkan sejak terbitnya UU No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003.

Fenomena Politik

Fenomena perpolitikan di atas tidak mengherankan, apabila menjelang pesta pemilu banyak terjadi narasi-narasi atau penggiringan opini yang mengkambinghitamkan sebagian pihak. Demi mendapatkan sebuah jabatan politik. Dengan demikian, apabila hal seperti ini berlanjut secara terus menerus. Pada akhirnya akan memunculkan stigma negatif terhadap "politik". Karena politik hanya berorientasi pada kepentingan kelompok. Dan dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa “Politik itu kotor, politik itu tidak baik”.

Kesimpulan di atas, dapat dikatakan tepat. Akan tetapi penulis sepenuhnya tidak setuju dengan kesimpulan tersebut. Untuk menanggapi hal ini, dalam tata pelaksanaan dunia kepemerintahan, terdapat sebuah kaidah fiqhiyah yang berbunyi:

تَصَرُّفُ اْلإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

Artinya: “Kebijakan pemerintah (Imam) atas masyarakat harus didasarkan pada kemaslahatan”

Berdasarkan kaidah ini, menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus menjadikan kemaslahatan rakyat sebagai basis utama dalam mempertimbangkan sebuah kebijakan. Dalam konteks penyelenggaraan negara, kita tidak dapat menafikan diri dari catur politik. Memang tidak dapat kita pungkiri bahwa politik mempunyai relasi yang sangat kuat dengan kekuasaan. Sehingga banyak orang yang tertarik untuk terlibat dalam dunia politik.

Politik sebagai Alat Kemaslahatan

Akan tetapi, siapapun yang terpilih secara pemenang kontestasi pemilu memiliki tanggung jawab moral yaitu membawa kepentingan rakyat untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Sehingga dapat diartikan bahwa politik merupakan alat / wasilah untuk mewujudkan sebuah kemaslahatan. Hal ini sesuai dengan gagasan Kyai Sahal Mahfudz, Tokoh Fiqh Sosial asal Kajen yang memandang politik sebagai wasilat (Alat), bukan sebagai ghoyah (Tujuan). Semoga tahun 2024 sebagai tahun politik di Indonesia dapat membawa kemaslahatan bagi seluruh rakyat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image