Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Republika Network

Orang-Orang Semu

Gaya Hidup | Friday, 27 Oct 2023, 01:18 WIB
Ilustrasi, topeng Hahoe. (Netflix)

Pakar sejarah Daniel Boorstin, membocorkan: nama seseorang tak akan bisa dikenal luas kecuali kalau ia memberi contoh nyata kebesaran dirinya dalam sejarah.

Tapi sepanjang abad ke-20, semakin rancu pemaknaan antara pemujaan terhadap orang terkenal dan pemujaan terhadap para pahlawan. Yang meneladankan keunggulan dan kekokohan karakter.

"Kita semua sudah rela disesatkan, sehingga percaya keterkenalan atau popularitas masih menjadi tanda kebesaran. Padahal mereka hanya menyulap kesia-siaan jadi menawan hingga menjadi idola. Sedangkan kepopulerannya, tanpa landasan budi pekerti dan karakter yang kokoh."

Daniel pun menyebut mereka sebagai orang-orang semu.

Di era disrupsi digital, pelan tapi pasti, mengubah kebiasaan manusia. Fase baru, yang tiap proses kehidupan tidak bisa lepas dari teknologi. Termasuk sosial media. Dunia virtual ini memberi dunia baru bagi para penggunanya di pelbagai unggahan melalui tanda-tanda yang dihadirkan.

Filsuf Perancis Jean Baudrillard, mengingatkan soal konsep hiperrealitas, yang masih relevan di kondisi saat ini. Di awal kemunculan, hiperrealitas dilatarbelakangi situasi masyarakat yang mulai keliru melihat tanda-tanda sebagai keberadaan realitas.

Tanda adalah unsur dasar dalam semiotika, ilmu tentang tanda-tanda, yang mengandung makna.

Baudrillard menjelaskan sign value tidak lagi melihat objek karena nilai guna. Melainkan simbol yang melekat pada objek (Oktavianingtyas, Seran, & Sigit, 2021).

Sederhananya begini: semisal ada publik figur mengunggah fotonya bersama mobil Porsche. Ia meyakini mobil itu menjadi penanda kesuksesan dan kebanggaan, yang secara semiotik terbentuk kemewahan. Padahal sukses, kebanggaan dan kebahagiaan tidak bisa diukur dari mobil mahal atau materi lain.

Belum lama ini publik dihebohkan fenomena crazy rich. Mereka menjadi idola bagi pengikutnya. Para pemujanya dibuat terpukau hanya dengan postingan secuil cerita bahwa crazy rich itu hidup susah.

Kita tidak dilarang menjadi orang kaya, tapi bagaimana cara kita menjadi orang kaya?

Publik pernah gaduh dengan kemunculan mereka. Yang dari miskin nestapa tetiba muncul dengan gemerlap harta. Mobil super, liburan fantastis, dan kediaman mewah yang seolah hanya ada dalam dongeng.

Fenomena crazy rich menjadi topik yang sering dibicarakan. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana kekayaan yang dimiliki seseorang, sehingga banyak orang tergiur agar bisa menjadi crazy rich. Terutama pada anak-anak muda. Salah satu konsekuensi era disrupsi digital.

Yang setiap saat bisa membuat seseorang terpapar melalui stimulus tentang kekayaan dan kemewahan. Bisa hanya dari foto, video, iklan, berita, atau postingan yang beredar di sosial media. Ada dua dorongan sebagai evolusi konsep selebgram agar dianggap menjadi sultan atau crazy rich. Dorongan itu, berupa dorongan ekonomi dan teknologi informasi yang melahirkan banyak platform.

Istilah crazy rich memang menjadi sesuatu yang baru, terutama bagi generasi milenial. Penamaan crazy rich populer lewat novel karya Kevin Kwan: Crazy Rich Asians. Karya ini kemudian diadaptasi menjadi film dengan judul sama. Kemunculan crazy rich sebagai fenomena, juga dipopulerkan melalui kecepatan persebaran informasi sosial media dan media massa online.

Belakangan, yang diklaim sebagai crazy rich Medan Indra Kenz dan crazy rich Bandung Doni Salmanan, topengnya terbuka. Mereka terjerat kasus dugaan penipuan investasi bodong.

Indra Kenz jadi afiliator investasi berkedok trading binary option, Binomo. Sedangkan Doni Muhammad Taufik alias Doni Salmanan menjadi afiliator Quotex. Mereka adalah influencer yang telah merugikan banyak orang sebagai korbannya. Polisi membongkar topeng dan pencucian uang mereka, yang bekerja sebagai afiliator platform investasi ilegal.

Tentu saja, kasus ini menghebohkan. Persis seperti warning Filsuf Perancis Jean Baudrillard: hiperrealitas dilatarbelakangi situasi masyarakat yang mulai keliru melihat tanda-tanda sebagai keberadaan realitas. Hanya dengan melihat potret kemewahan, publik dikecoh orang-orang semu.

Faktanya, crazy rich yang asli justru enggan menampilkan kekayaannya. Dalam istilah lain, mereka lebih dikenal sebagai kalangan old money. Atau orang-orang yang sudah menjadi kaya sejak kelahirannya, turun temurun. Bukan tiba-tiba. Apalagi dengan cara-cara menipu.

Kalangan old moner juga sangat terdidik. Tak hanya wawasannya. Tapi, attitudenya. Perilakunya begitu santun, lembut dan merendah. Alih-alih pamer. Itu adalah aib bagi mereka.

Membandingkan crazy rich palsu dengan old money bagai bumi langit.

Crazy rich palsu, yang norak, yang kekayaannya dari menipu itu adalah orang-orang semu. Orang semu ini tidak hanya sebatas menipu dengan tampilan kekayaan.

Tapi bisa bertopeng agamis dan humanis. Mencitrakan sebagai orang yang peduli pada hajat orang banyak, beteriak anti korupsi: tapi tetap saja, topengnya terbuka juga. Dibui, karena korupsi. Banyak sekali contohnya. Mulai politisi sampai sekelas menteri.

Begitu pula yang berkedok agamis. Yang sering menjual firman Sang Maha, eh ternyata koruptor juga. Ada pula yang jadi pedofil. Dan sama: mereka berakhir di kerangkeng besi.

Benar juga apa yang disampaikan Daniel Boorstin. Dan publik kerap dikelabui topeng orang-orang semu.

Ah, ada-ada saja ulahnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image