Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nafisah Amatullah

Membaca Fear Of Missing Out : Ancaman Generasi Penerus Bangsa?

Edukasi | Tuesday, 17 Oct 2023, 16:14 WIB

⠀⠀⠀⠀FoMO (Fear Of Missing Out) merupakan sebuah kasus sosial yang dewasa ini cukup sering diperbincangkan khalayak ramai baik dalam dunia nyata maupun jejaring media. Alasan utamanya, Istilah FoMO rupanya dekat bahkan banyak dirasakan masyarakat, sehingga bertahan sebagai topik hangat seiring berkembangnya informasi mengenai istilah ini. Secara deskriptif, FoMO dikatakan sebagai kondisi psikologis berupa kecemasan saat seseorang tidak mengetahui aktivitas atau informasi terkini dalam konteks media sosial dan teknologi digital (Nicho dkk, 2019). Kondisi tersebut didasari oleh rasa takut akan kehilangan momen atau informasi yang menjadikan seseorang seolah merasa ‘tertinggal’ apabila melewatkan hal sesuatu. Seseorang yang mengalami kecemasan sebagaimana demikian menganggap dirinya harus selalu terlibat dalam segala hal sehingga kerap kali menjadikannya tertekan dan gelisah secara terus menerus (Tamri dkk, 2023). FoMO sejatinya merupakan kondisi yang cukup serius. Apabila dibiarkan dalam jangka panjang, FoMO dapat menjadikan pengidapnya sebagai pecandu gawai yang kompulsif dengan tingkat kepuasan hidup yang cenderung rendah.

⠀⠀⠀⠀Kasus FoMO sendiri sebenarnya sudah beberapa kali dicermati para ahli sebagai dampak negatif penggunaan media sosial. Pesatnya penyebaran informasi melalui media tersebut menjadikan FoMO sebagai hal yang wajar terjadi jika dibandingkan dengan kemampuan manusia yang terbatas dalam mengaksesnya. Mendapati kasus yang tak terhindarkan ini, para ahli kemudian mengungkapkan FoMO sebagai kasus yang cukup mengkhawatirkan bagi perkembangan generasi penerus. Hasil berbagai penelitian sebagaimana yang dirangkum Dhar (2018) dalam tulisannya mengemukakan bahwa FoMO dapat menyebabkan berbagai dampak serius, seperti depresi ringan hingga akut, ketergantungan terhadap gawai, kesulitan mengatur emosi, ancaman terhadap kebugaran fisik, hingga mempengaruhi kualitas tidur. Hal-hal tersebut dikhawatirkan dapat berpotensi mengurangi kualitas generasi penerus, mengingat kekuatan fisik dan mental sangat mempengaruhi performa dalam beraktivitas. Dalam ruang lingkup yang lebih luas, FoMO dapat menjadikan seseorang pasif bersosialisasi dan cenderung menghindari diri dari interaksi langsung (Roberts, 2016). Apabila tidak segera dihentikan, maka FoMO tak hanya berdampak pada masalah individu melainkan menimbulkan efek domino yang meluas hingga aspek kehidupan bermasyarakat.

⠀⠀⠀⠀Berdasarkan definisi para ahli sebagaimana yang telah dipaparkan, FoMO dapat diketahui sebagai fenomena yang memiliki urgensi tersendiri. Permasalahan ini sulit diatasi karena melibatkan kemajuan informasi dan media sosial yang tidak dapat terhindarkan. Maka alih-alih upaya untuk menghentikan FoMO, solusi terbaik datang dengan melihat kasus ini dari sudut pandang berbeda. Merujuk pada pengertian dasar, FoMO sejatinya bukan hal negatif bila ditinjau dalam segi moral, yakni sebagai sebuah semangat dalam menuntut ilmu. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, FoMO merupakan sifat yang didasari perasaan haus informasi dan takut tertinggal informasi atau momen tertentu. Emosi tersebut merupakan sesuatu yang normal sebagai manusia yang diberi akal dan kemampuan berpikir untuk ingin mengetahui dan mencoba hal-hal baru. Rasa ingin tahu dapat dikatakan sebagai modal awal bagi seseorang dalam proses belajar dan menemukan sesuatu (Ameliah dkk. 2016).

⠀⠀⠀⠀Perlu digaris bawahi, FoMO menjadi hal yang merugikan karena adanya perilaku kompulsif pada penggunaan gawai dan media sosial. Apabila faktor ketergantungan tersebut dihilangkan, maka sebaliknya FoMO berpotensi membawa kebaikan bagi manusia. Sudut pandang demikian dapat dipertimbangkan karena telah menunjukkan bukti nyata, salah satunya dalam proses kemerdekaan tanah air. Ditilik dari sejarah, salah satu peristiwa yang mendorong kemerdekaan adalah sifat keingintahuan dan semangat untuk ‘ikut’ berpendidikan seperti kaum terpelajar yang sangat digemborkan. Peristiwa tersebut mempelopori semangat menyongsong perubahan yang kemudian melahirkan suatu momentum yang dikenal masyarakat luas sebagai Sumpah Pemuda.

⠀⠀⠀⠀Sebelum peristiwa Sumpah Pemuda, pendidikan di Indonesia dapat dikatakan sangat jauh terbelakang apalagi bila dibandingkan bangsa penjajah. Edukasi pada masa itu dinomorduakan, mengingat tingginya biaya pendidikan dan sedikitnya sarana pembelajaran (Wahyono, 2018). Sekolah hanya dapat dinikmati oleh sebagian golongan masyarakat yang memiliki biaya cukup untuk mengenyam pendidikan. Hal tersebut tentunya memiliki berbagai dampak. Tak hanya pada segelintir masyarakat, akan tetapi meluas seiring dengan perkembangan populasi masyarakat pada saat itu. Persebaran pendidikan yang tidak merata menjadikan penjajahan berlangsung lama tanpa ada kekuatan intelektual untuk mengubahnya.

⠀⠀⠀⠀Permasalahan ini disadari oleh tokoh-tokoh terpelajar dan didiskusikan dalam berbagai forum dan perkumpulan. Mereka bertekad mendorong semangat pemuda untuk menuntut ilmu, yakni dengan memantik kecintaan mereka pada tanah air. Pemuda yang tergerak akhirnya ‘ikut’ merasa haus akan ilmu, mengantar mereka pergi merantau demi belajar agar tidak kalah saing dari bangsa penjajah. Keinginan untuk ‘terlibat’ dalam perjuangan kemerdekaan menjadikan pemuda Indonesia sebagai satu kesatuan yang kuat hingga ikrar Sumpah Pemuda digaungkan. Sifat-sifat tersebut sudah semestinya dipertahankan generasi muda yang turut merasakan manisnya hasil kemerdekaan dari masa lampau. Hal tersebut tentunya tanpa menggeser makna dan moral rasa keingintahuan sebagaimana yang terjadi dalam kasus FoMO. Lantas, bagaimana cara mengembalikan makna keingintahuan tersebut sehingga dapat menjadi hal yang membangun?

⠀⠀⠀⠀Langkah besar untuk menanggapi kasus FoMO adalah dengan melakukan rekonstruksi terhadap makna dari FoMO itu sendiri. B.N. Marbun dalam Kamus Politik menjelaskan pengertian rekonstruksi sebagai pengembalian sesuatu ke tempatnya semula. Rekonstruksi tersebut menurut beliau juga berarti penyusunan atau penggambaran kembali dari bahan-bahan yang ada dan disusun kembali sebagaimana adanya atau kejadian semula. Maka, rekonstruksi pada makna berarti memberikan penggambaran ulang sebagaimana kejadian yang ada dengan mempertimbangkan berbagai sudut pandang sehingga tercipta makna rasional dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebagaimana telah dijelaskan, FoMO berdampak negatif akibat adanya ketergantungan terhadap gawai dan media sosial. Sehingga, poin terpenting adalah melepas hal tersebut dalam makna baru dari FoMO. Tak hanya sampai situ, semangat dalam Sumpah Pemuda juga turut diikutsertakan sehingga FoMO memiliki esensi yang lebih mendalam akan adanya jiwa pembawa perubahan. Dengan demikian, pemaknaan baru FoMO merupakan rasa haus untuk menuntut ilmu dan mendapatkan informasi serta kecenderungan untuk mencoba hal baru yang dilandaskan pada rasa keingintahuan dan diiringi semangat membawa perubahan.

⠀⠀⠀⠀Terdapat berbagai macam strategi yang bisa dilakukan untuk menekan ketergantungan terhadap gawai dan media sosial dalam kasus FoMO. Salah satunya yaitu strategi koping, yaitu penyesuaian upaya berpikir dan bertindak agar mampu mengelola tekanan internal maupun eksternal yang dianggap membebani atau melebihi batas kemampuan individu (Lazarus & Folkman, 1984). Strategi ini menekankan tiga aspek dalam penerapannya. Aspek pertama yaitu menghindari sumber masalah, yakni dengan mengurangi semaksimal mungkin penggunaan gawai dan intensitas pemakaian sosial media dalam keseharian. Aspek kedua yaitu mengubah sudut pandang dan emosi terhadap masalah. Dalam kasus FoMO, aspek kedua dapat dilakukan dengan memperbaiki pemikiran yang mengharuskan diri untuk mengetahui dan mengikuti suatu informasi. Aspek terakhir adalah dengan mencari dukungan dari pihak lain untuk mengatasi masalah. Sosialisasi sangatlah penting dalam menekan ketergantungan pada gawai. Selain itu, memiliki seseorang untuk berdiskusi dan berbicara juga dapat mengurangi resiko depresi dan kecemasan.

⠀⠀⠀⠀Dalam penelitian yang dilakukan Islami (2020) membuktikan terdapat pengaruh yang signifikan antara FoMO dengan strategi koping yaitu sebesar 33.4%. Angka tersebut membuktikan bahwa sejatinya faktor ketergantungan dalam kasus FoMO dapat dihindarkan sehingga konsep rekonstruksi makna FoMO bukanlah suatu hal yang mustahil. Selain itu, hal terakhir yang harus dilakukan adalah memasukkan nilai semangat Sumpah Pemuda dalam proses mengenyam informasi dan pengetahuan. Dengan demikian, menuntut ilmu bukanlah semata mata menjadi hal yang ‘dangkal’ dan semata-mata dilakukan tanpa adanya makna. Semangat dan keingintahuan yang tercipta akan memiliki makna nasionalisme sebagai bentuk cinta dan hormat kepada pahlawan bangsa yang berjuang memerdekakan tanah air Indonesia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image