Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image sucahyo adi swasono@PTS_team

Trias Politika: Antara Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Tuhan

Politik | 2023-10-17 15:18:10
Suimber Gambar Ilustrasi: muslim politicians.blogspot.com

Pembaca yang budiman sebangsa dan setanah air ...

Konsepsi ‘Trias Politika’ di ranah filsafat politik maupun politik-kekuasaan, selalu dikaitkan dengan penggagasnya, John Locke yang kemudian dikembangkan oleh Montesqiueu – filsuf dan pemikir politik Prancis (1689 - 1755), dengan teorinya yang terkenal tentang pemisahan dan pembagian kekuasaan yang telah diterapkan dalam berbagai konstitusi negara di seluruh dunia. Teori Montesqiueu itu adalah pembagian 3 keuasaan negara , yakni kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudikatif (kehakiman). Ketiga kekuasaan dimaksud dalam praktik berbangsa dan bernegara itulah yang oleh Montesqiueu dikenal dengan nama: Trias Politika.

Menurut Montesqiueu, Trias Politika yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Kekuasaan dalam lembaga eksekutif, adalah kekuasaan yang melaksanakan undang-undang yang dalam lembaga eksekutif dimaksud dipimpin oleh seorang raja atau presiden beserta kabinetnya. Lembaga dimaksud tak hanya melaksanakan undang-undang, namun juga mempunyai beberapa kewenangan, di antaranya adalah kewenangan diplomatik, yudikatif, administratif, legislatif dan militer.

Kewenangan diplomatik, adalah kewenangan menyelenggarakan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain. Kewenangan yudikatif, adalah kewenangan memberikan grasi dan amnesti kepada warga negara yang melakukan tindak pelanggaran hukum. Kewenangan administratif, adalah kewenangan melaksanakan peraturan dan perundang-ungdangan dalam administrasi negara.

Sedangkan, melalui kewenangan legislatif, seorang presiden atau menteri dapat membuat undang-undang bersama dewan perwakilan. Lembaga eksekutif, juga mempunyai kewenangan mengatur angkatan bersenjata, menyatakan perang apabila dibutuhkan, dan menjaga keamanan negara

2. Kekuasaan dalam lembaga legislatif, merupakan lembaga yang dibentuk untuk mencegah kesewenang-wenangan raja atau presiden. Lembaga legislatif yang merupakan wakil dari rakyat ini diberikan kekuasaan untuk membuat undang-undang dan menetapkannya. Tidak hanya itu, lembaga ini juga diberikan hak untuk meminta keterangan kebijakan lembaga eksekutif yang akan dilaksanakan maupun yang sedang dilaksanakan. Selain meminta keterangan kepada lembaga eksekutif, lembaga ini juga mempunyai hak untuk menyelidiki sendiri dengan membentuk panitia penyelidik. Hak mosi tidak percaya juga dimiliki oleh lembaga ini, dimana hak ini merupakan hak yang memiliki potensi besar untuk menjatuhkan lembaga eksekutif.

3. Kekuasaan dalam lembaga yudikatif, mempunyai kekuasaan untuk mengontrol seluruh lembaga negara yang menyimpang atas hukum yang berlaku pada negara tersebut. Lembaga yudikatif dibentuk sebagai alat penegakan hukum, hak penguji material, penyelesaian perselisihan, hak mengesahkan peraturan hukum atau membatalkan peraturan apabila bertentangan dengan dasar negara.

Trias Politika dalam Sistem Tata Negara di Indonesia (NKRI)

Penerapan Trias Politika dalam sistem tata negara NKRI, adalah sebuah penetrasi intervensi masif terhadap dasar negara RI, yakni Pancasila yang mengandung ‘nila-nilai keseimbangan’ sebagaimana yang tercantum di Mukadimah UUD 1945.

Sebagai dasar NKRI, Pancasila dengan rumusan 5 sila dimaksud, sudah sepatutnya menjadi titik pijak dan atau tolok ukur dalam tataran praktis di seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara di NKRI, dan wajib diejawantahkan dalam bangunan real NKRI. Apalagi, sila ke-1: ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, sebagai nilai kedaulatan Tuhan, bukanlah sesuatu yang serta-merta ditempatkan di urutan pertama dalam rumusan Pancasila. Artinya, betapa The Founding Fathers RI telah menyadari bahwa terbangunnya NKRI setelah menyatakan kemerdekaannya 17 Agustus 1945, adalah berkat ‘rahmat Tuhan Yang Maha Esa’, sehingga apapun model kehidupan berbangsa dan bernegara di NKRI, adalah harus dalam naungan kedaulatan Tuhan Yang Maha Esa.

Namun sayangnya, sejak Kemerdekaan RI 1945 sampai dengan saat ini (2023), perwujudan Pancasila yang mengandung nilai-nilai keseimbangan, di nation building NKRI masih bersifat sloganistis belaka, belum mewujud dalam sistem tata negara RI yang realistis. Pancasila hanya berupa simbol, masih ‘tiarap’ dan belum tegak sebagai pilar penyangga nation building di seluruh aspek kehidupan bangsa dan NKRI. Inilah yang harus diakui dan disadari.

Model Tatanan yang Seharusnya Lahir dari Pancasila sebagai Pandangan dan Sikap Hidup Bangsa Indonesia dalam Tataran Realita Praktis

Pancasila sebagai dasar negara yang berisi nilai-nilai kehidupan yang ideal, seharusnya mampu mewujudkan bangunan kehidupan bangsa yang ideal pula. Demikian logika sederhana praktisnya. Namun fakta realitanya, wajah bangsa negeri ini dipenuhi oleh warna ketimpangan, laksana wujud bangunan yang ‘miring’, tidak seimbang, sangat rapuh, sehingga dibutuhkan banyak aturan penyangga agar bangunan bangsa negeri ini bisa tetap berdiri dan kokoh.

Potret warna ketimpangan atau potret kerusakan di negeri ini yang dimaksudkan, antara lain:

 

  • Ketimpangan sosial ekonomi
  • Ketimpangan pembangunan
  • Kerusakan alam akibat penebangan hutan
  • Kerusakan lingkungan akibat aktivitas penambangan yang masif.

Dan, masih banyak lagi berbagai wujud ketimpangan atau kerusakan keseimbangan lainnya. Inilah bukti nyata, bahwa Pancasila hanya slogan atau simbol dan tidak difungsikan sebagai dasar negara.

Ketimpangan atau kerusakan keseimbangan terjadi akibat sistem tata kelola negara yang tidak berlandaskan ‘keseimbangan’, sistem tata negara yang tidak berdasarkan Pancasila. Hal ini lantaran fakta realita menunjukkan bahwa wujud sistem tata negara di negeri ini, adalah menganut ajaran Trias Politika yang membagi kekuasaan menjadi 3 bagian, yakni: kekuasaan eksekutif sebagai kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang, kekuasaan legislatif sebagai kekuasaan membentuk undang-undang dan kekuasaan yudikatif sebagai kekuasaan untuk mengawasi dan mengadili pelanggaran undang-undang.

Eksistensi lembaga legislatif yang diklaim sebagai lembaga wakil rakyat, adalah implementasi dari Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945 (sebelum amandemen), yakni: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.

Sedangkan sesudah Amandemen, menjadi demikian: “Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya menurut Undang-Undang Dasar 1945”. Dalam hal ini, esensi penekanannya adalah implementasi dari pasal ‘kedaulatan di tangan rakyat’ di UUD 1945.

Apakah sistem tata negara tersebut sudah cukup efektif dan efisien? Ingat, bahwa salah satu parameter dalam ‘sistem keseimbangan’ adalah efektif dan efisien!

Presiden sebagai pimpinan lembaga eksekutif, yang dalam prosedur dan ketentuan untuk menjadi presiden harus diusung oleh partai politik dan mendapat suara terbanyak dalam Pemilu. Sementara, untuk mendapatkan suara terbannyak dalam Pemilu diperlukan dukukungan pendanaan yang besar. Artinya, kesemuanya harus ada support dari para pengusaha yang berduit. Sebab, tidak ada dukungan yang bersifat gratis, semua ada harganya, sehingga ketika menang dalam pemilihan presiden misalnya, sang presiden terpilih harus ‘bagi-bagi kekuasaan’ dan balas jasa kepada pendukung dan penyandang dana sebagai akibat dari nilai bargaining dalam proses memenangkan Pemilu.

Mari dicermati fakta realita bagi-bagi kekuasaan saat ini, dimana 47 % jabatan menteri diisi oleh orang-orang dari partai politik. Kementerian yang dipimpin oleh orang-orang dari partai politik, nuansa partai politik cukup kental di lembaga tersebut.

Secara otomatis akan menjadi banyak kebijakan kementerian dan lembaga di bawahnya yang secara terselubung menguntungkan partai politik yang bersangkutan. Di sisi yang lain, eksekutif harus kompromi dengan legislatif sebagai pemegang kekuasaan pembuat undang-undang. Mekanisme anggota DPR dipilih berdasarkan suara terbanyak di Dapilnya (Daerah pemilihannya), pada gilirannya menjadikan pemilihan anggota dewan dimaksud sangat sarat oleh money politic, sehingga tidaklah mengherankan bila banyak anggota dewan yang terindikasi melakukan tindak korupsi.

Demikianlah gambaran model orang-orang yang membentuk undang-undang di negeri ini. Cukup kredibelkah mereka semuanya ? Silakan disimpulkan sendiri ....

Selain itu, anggota dewan yang merupakan perwakilan partai politik, tentunya akan mengutamakan kepentingan partai politik dan konstituennya dibandingkan dengan kepentingan yang lain, meskipun kepentingan lain yang dimaksud justru lebih penting dan bermanfaat bagi orang banyak, pada akhirnya harus dikorbankan.

Pemerintah terpilih dari hasil Pemilu, juga tidak kuasa mengesampingkan peran pengusaha yang mendukungnya. Apalagi, dalam sistem ekonomi yang sangat kapitalistik ini, pemerintah harus memberi ruang leluasa kepada pengusaha untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Sehingga wajar saja bila kebijakan ekonomi lebih berpihak kepada pengusaha daripada kepada buruh atau pekerja. Presiden terpilih, juga harus merealisasikan janji manis dalam kampanyenya kepada kelompok-kelompok profesi yang punya potensi suara cukup besar, meskipun hal itu mencederai rasa keadilan bagi rakyat seumumnya.

Dengan demikian, terlalu banyak kepentingan yang mempengaruhi otoritas pengelolaan negara. Maka bagaimana mampu mewujudkan tatanan bangsa yang seimbang bila pemimpin bangsa tidak punya otoritas yang kuat? Bagaimana bisa mempunyai otoritas yang kuat bila harus bagi-bagi kekuasaan? Bagaimana bisa mengurangi ketimpangan sosial-ekonomi bila pemimpin bangsa harus balas jasa dan menggantungkan perekonomian kepada para pengusaha atau kaum kapitalis? Bagaimana memperbaiki kerusakan alam bila ambisi keserakahan para penguras sumber daya alam (SDA) dari kaum kapitalis itu diberi ruang yang begitu leluasa?

Selanjutnya, sistem bagi-bagi keuasaan dimaksud adalah sebuah pemborosan terhadap Anggaran Negara. Sebab dalam sistem yang sangat kapitalistik, jabatan adalah modal, bukan amanah. Sehingga jabatan sangat menentukan pendapatan, dimana semakin tinggi jabatan, berbanding lurus dengan semakin besar pendapatan. Sistem yang demikian itu sangat mencederai keadilan.

Para elit pemerintahan dengan pendapatan yang fantastis, cukup membebani anggaran Negara. Belum lagi pendapatan anggota DPRD, DPD, anggota lembaga peradilan, dan lembaga-lembaga lainnya, terbukti sangat menguras Anggaran Negara. Dengan kekuasaan dan fasilitas yang menggiurkan, wajar saja bila banyak warga yang bersaing untuk meraih posisi tersebut. Pemilu yang memboroskan anggaran, menjadi arena mereka untuk bersaing dalam bertarung berebut posisi. Oleh karena itu, sistem Trias Politika adalah tidak efektif dan efisien, tidak mampu menciptakan tata kelola negara yang baik, yakni tata kelola yang adil dan menjunjung tinggi ‘keseimbangan’. Maka dari itu, sistem yang tidak efektif dan efisien adalah sistem yang tidak berlandaskan ‘prinsip keseimbangan’, yang berarti sama dengan tidak berdasarkan Pancasila.

Jadi, siapapun presidennya, selama tata kelola bangsa ini tidak berlandaskan ’nilai-nilai keseimbangan’ atau Pancasila, mustahil mampu mewujudkan bangsa yang sejahtera, bangsa yang berkeadilan, penuh kedamaian dan persatuan.

Bagaimanakah model tatanan bangsa dan negara yang berlandaskan prinsip keseimbangan atau Pancasila itu?

Sistem tata kelola bangsa yang berlandaskan Pancasila atau nilai-nilai keseimbangan adalah yang selalu bertali ikat terhadap ajaran Tuhan Yang Maha Esa. Sebagaimana dalam Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945, bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya menurut Undang-Undang Dasar 1945”, adalah tidak sesuai dengan Pancasila.

Yang benar dan seharusnya adalah “Kedaulatan berada di Tangan Tuhan Yang Maha Esa”. Dimana Tuhan yang mengatur manusia, Tuhan yang mengatur masyarakat dan negara melalui ajaran-Nya yang berlandaskan ‘prinsip-prinsip keseimbangan’, yakni ‘nilai-nilai keseimbangan universal’, antara lain: saling kasih sayang, saling tolong-menolong dalam kebaikan, saling menghargai, berlaku adil, menjaga kebersihan diri dan lingkungan, menjaga keseimbangan alam, rajin, profesional, dan lain sebagainya di ranah keseimbangan.

Dengan demikian, maka ‘suara rakyat’ bukanlah ‘suara Tuhan’, karena suara Tuhan adalah kalam kebaikan, kalam kebenaran. Dalam implementasinya, nilai-nilai kebaikan harus mempunyai otoritas mutlak dan tidak boleh ditawar meskipun harus menghadapi tekanan suara mayoritas.

Oleh karena itu, yang disebut sebagai pemimpin bangsa yang ideal harus memenuhi kriteria sebagai berikut :

 

  • Pemimpin bangsa adalah pengemban amanah Tuhan Yang Maha Esa, yang harus mampu mengawal implementasi prinsip-prinsip keseimbangan menjadi tatanan pribadi, tatanan keluarga, tatanan masyarakat dan tatanan negara.
  • Pemimpin bangsa adalah sosok yang beriman, yakni berposisi sebagai hamba yang patuh terhadap ajaran Tuhan Yang Maha Esa, ajaran yang berlandaskan prinsip-prinsip keseimbangan atau ajaran yang berisi nilai-nilai kebaikan universal.
  • Pemimpin bangsa adalah sosok yang berilmu, yang berarti profesional dalam bidangnya dan mempunyai kompetensi yang memadai sebagai seorang pemimpin.
  • Pemimpin bangsa adalah sosok yang berjiwa pemberdayaan, dalam artian harus menjadi teladan yang baik, mengajarkan Ilmu yang bermanfaat, sekaligus melatih, mengarahkan, menuntun masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik.

Tugas dan tanggung jawab pemimpin negara yang berpegang teguh terhadap Pancasila adalah sebagai berikut:

 

  • Pemimpin negara harus mampu mengawal ‘otoritas mutlak’ ajaran Tuhan Yang Maha Esa, dalam artian,
  • Pemimpin negara harus mampu membangun sistem tata negara yang berlandaskan prinsip-prinsip keseimbangan.
  • Pemimpin negara harus mampu mengawal implementasi nilai-nilai kebaikan universal di kehidupan masyarakat.

Gambaran struktur kepemimpinan negara berdasarkan Pancasila adalah sebagai berikut:

 

  • Sesuai dengan sila pertama Pancasila, yakni ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, maka Tuhan Yang Maha Esa adalah pemegang otoritas mutlak mengatur negara melalui ajaran-Nya, yakni nilai-nilai kebaikan yang berlandaskan prinsip-prinsip keseimbangan.
  • Selanjutnya, Tuhan mengamanahkan kepada manusia yang mampu mengawal implementasi ajaran-Nya setepat-tepatnya untuk memimpin dan mengelola suatu negara.
  • Pemimpin negara atau presiden adalah pemimpin seluruh wilayah dalam suatu negara tersebut (pemimpin pusat).
  • Presiden memimpin masyarakat di daerah melalui gubernur, bupati, walikota, kepala desa, dan seterusnya.

Jadi, seorang presiden pada hakikatnya adalah sebagai berikut:

 

  • Sebagai hakim tertinggi
  • Sebagai guru besar tertinggi
  • Sebagai panglima pertahanan keamanan tertinggi.

Sehingga tidak diperlukan lagi, lembaga pembuat undang-undang yang diklaim sebagai ‘wakil rakyat’ yang faktanya sangat sarat dengan berbagai kepentingan. Undang-undang mengacu kepada ajaran Tuhan, yaitu ajaran yang menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan, yakni ajaran yang berisi ‘nilai-nilai kebaikan universal’. Fungsi lembaga peradilan atau yudikatif dijalankan oleh pemerintah yang menjunjung tinggi keadilan atau keseimbangan.

Dalam menjalankan tugas, presiden membentuk kabinet atau dewan pemerintahan di pusat yang diisi oleh para pejuang keseimbangan terbaik. Sedangkan di daerah, kepemimpipan didelegasikan kepada gubernur, bupati, walikota, kepala desa, dan seterusnya.

Bagaiamana dengan sistem pengawasan dan ‘keterwakilan rakyat’? Sebagaimana telah diketahui bersama, bahwa Tuhan telah memerintahkan kepada manusia untuk saling mengingatkan dalam hal kebaikan. Hal inlah yang melandasi sistem pengawasan yang berlandaskan Pancasila, yakni sistem saling mengawasi dan saling mengingatkan. Antara posisi yang di atas terhadap posisi yang di bawah, juga pengawasan dari bawah ke atas, serta pengawasan menyamping dari samping kiri terhadap samping kanan, begitu pula sebaliknya. Dengan demikian, bila terjadi kesalahan yang kurang tepat, maka ‘tim kerja’ terdekat langsung bisa mengingatkan agar tidak terjadi kesalahan yang lebih fatal.

Sedangkan untuk sistem keterwakilan rakyat yang sebenarnya, pemerintah adalah ‘wakil rakyat’ dalam mengelola negara dan tidak diperlukan lembaga perwakilan khusus, karena tidak efektif dan sangat memboroskan anggaran negara.

Presiden adalah wakil rakyat suatu negara, gubernur adalah wakil rakyat suatu provinsi, begitu pula bupati/walikota dan seterusnya sampai dengan wilayah terkecil, maka Ketua RT adalah wakil rakyat setempat.

Aspirasi rakyat disampaikan secara berjenjang mulai dari RT, dimusyawarahkan terlebih dulu. Dan, bila diperlukan karena tidak ada kata putus, maka bisa dinaikkan ke tingkat desa. Pun demikian bila di tingkat desa tidak selesai, maka bisa dinaikkan dari tingkat desa ke tingkat kabupaten/kota, dan setrusnya hingga sampai ke tingkat pusat. Di pusat, diputuskan dalam musayawarah ‘dewan pemerintah pusat’ (Presiden).

Sistem yang demikian ini sudah sejalan dengan sila ke-4 Pancasila, yakni ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan’ dalam ‘sistem permusyawaratan/perwakilan’.

Dengan tegaknya sistem keseimbangan, maka menata bangsa akan lebih mudah dan tidak terlalu rumit. Yang menjadikan kenapa bangsa ini terlilit berbagai permasalahan yang rumit, adalah karena negara tidak ditegakkan berlandaskan ajaran Tuhan Yang Maha Esa, yakni ‘nilai-nilai keseimbangan’, sehingga membuka ruang bagi berbagai kepentingan yang masuk di dalam pengaturan negara. Kondisi yang demikian inilah yang menjadikan ruwetnya permasalahan negara.

Yang patut disadari bersama, adalah bahwa:

 

  • Seorang pemimpin adalah representasi dari keadilan.
  • Jabatan adalah amanah, bukan modal yang bisa mendatangkan pendapatan lebih.
  • Pemimpin negara tidak diselimuti oleh berbagai fasilitas yang menggiurkan, namun hidup selayaknya sebagaimana masyarakat biasa.
  • Dalam sistem yang berkeadilan: pendapatan tidak didasarkan kepada posisi jabatan dalam suatu institusi atau perusahaan, juga tidak disamaratakan semuanya. Namun berdasarkan produktivitas kerja pada bidang masing-masing. Yang bekerja lebih produktiflah yang akan mendapatkan pendapatan lebih, dibandingkan dengan yang bekerja kurang produktif atau bermalas-malasan.

Jadi, dalam sistem tata negara yang berlandaskan Pancasila, maka Pemilu yang sangat memboroskan anggaran negara sudah tidak diperlukan lagi. Sebab, orang sudah tidak akan tergiur oleh sebuah jabatan tinggi karena jabatan tinggi tidak bisa memberikan pendapatan lebih dan kewenangannya pun sangat dibatasi oleh aturan-aturan Tuhan yang sangat menjunjung tinggi keseimbangan. Sehingga bila terjadi suksesi kepemimpinan atau pergantian presiden, cukup anggota ‘dewan pemerintah pusat’ atau kabinet yang berisikan pakar dan pejuang keseimbangan terbaik, yang bermusyawarah dalam menentukan orang yang tepat di antara mereka untuk diangkat menjadi presiden, karena merekalah orang yang paham terhadap implementasi tatanan yang berlandaskan nilai-nilai keseimbangan atau Pancasila.

Demikian pula bila terjadi suksesi di tingkat provinsi, kabupaten, kota, dan seterusnya sampai ke tingkat perintahan terendah. Begitulah model tata negara yang praktis, efektif dan efisien yang sangat memenuhi prinsip-krinsip keseimbangan.

Masa jabatan presiden, harus betitik tolak bahwa jabatan adalah amanah, sehingga tidak ada batasan masa jabatan selama seorang pemimpin masih mampu mengemban Amanah dan menjalankan tugasnya dengan baik, yakni menjadi Tiang Utama Penyanggah Tegaknya Sistem Kesimbangan Banga.

Dari apa yang telah teruarai di muka, dapatlah ditarik ke dalam simpulan, sebagai berikut :

 

  • Sistem yang berlandaskan ‘Trias Politika’ sangatlah tidak sesuai dengan Pancasila, karena bertentangan dengan ‘prinsip-prinsip keseimbangan’, yakni tidak efektif dan efisien.
  • Sistem tata negara berdasarkan Pancasila adalah sistem yang memberikan otoritas mutlak bagi tegaknya ‘sistem keseimbangan’ di keseluruhan aspek kehidupannya.
  • Dan, inilah yang menjadi salah satu syarat terciptanya kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih damai, bersatu dan sejahtera dalam keadilan.

Sekian dan terima kasih. Salam Seimbang Universal Indonesia_Nusantara ....

Kota Malang, Oktober di hari ketujuh belas, Dua Ribu Dua Puluh Tiga.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image