Membangun Kembali Persatuan Nasional
Politik | 2023-10-17 06:58:50Dalam perjuangan melawan kolonialisme di abad 20 yang lampau, bangsa-bangsa terjajah kerap menggunakan strategi persatuan nasional. Kekuatan-kekuatan politik dari setiap bangsa itu terdorong oleh situasi untuk merapatkan diri demi menghadapi satu ‘musuh’ bersama. Dalam revolusi Tiongkok, misalnya, Partai Komunis Kun Chang Tang mendorong persatuan dengan partai nasionalis Kuomintang untuk menghadapi pendudukan tentara fasis Jepang. Di kemudian hari, di berbagai negeri, strategi ini masih terus digunakan. Sampai perjuangan rakyat Palestina melawan pendudukan Israel menggunakan strategi yang sama melalui PLO (Palestine Liberation Organization) dan HAMAS.
Di Indonesia strategi persatuan nasional pernah juga diterapkan. Terakhir yang digalang Bung Karno ke dalam Front Nasional dengan Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis) sebagai porosnya dan dengan PANCASILA sebagai Alat Pemersatu Nasionalnya. Front Nasional merupakan alat menghadapi ‘musuh’ bersama saat itu; neokolonialisme, sekaligus sebagai alat membangun nasion yang baru merdeka (nation and character building). Tapi persatuan ini porak-poranda sejak meletusnya Peristiwa Gestok 1965 dan naiknya kekuasaan orde baru. Represi, pembunuhan, pemenjaraan, dan pembuangan, terhadap para pendukung Bung Karno bukan hanya melumpuhkan front persatuan tapi juga mengubah wajah dan arah politik Indonesia.
Fragmentasi pasca kediktatoran
Setelah berlalu 58 tahun, realitas nasional kini menunjukkan fragmentasi akut di antara kelompok-kelompok politik. Kondisi fragmentasi ini bisa tergambarkan dari banyaknya jumlah partai politik peserta pemilu. Meski pada pemilu 2024 nanti jumlah partai politik lumayan bertambah dibanding sebelumnya, tapi kenyataan faksionalisasi dan rivalitas di tubuh tiap partai politik membuktikan masih rapuhnya landasan ideologi partai politik.
Bahkan, bisa dikatakan bahwa keberadaan partai-partai politik sesungguhnya tidak menunjukkan pengelompokan berdasarkan ideologi; atau, sebaliknya, meskipun semua partai politik mengaku berideologikan Pancasila, tapi pemahaman terhadap Pancasila masih dalam pemahaman versi orba yang dangkal, tanpa pendalaman ke pemikiran penggalinya (Bung Karno), sehingga bolak-balik diucapkan tapi hanya untuk dilanggar.
Jadi benarlah apa yang dikatakan oleh mantan menteri Pendidikan dan Kebudayaan era orde baru, Almarhum Daoed Joesoef, bahwa pemikiran yang eksis di parpol-parpol sekarang masihlah wacana-wacana dari politisi di dalamnya, atau belum mengkristal sebagai artikulasi ideologi yang mewakili suara partai. Tapi tentu Pak Daoed Joesoef tidak lupa, bahwa salah satu kebijakan di masa kekuasaannya, yakni NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kampus) yang dimulai tahun 1977-1978, telah berkontribusi besar terhadap kehidupan kampus yang apolitis dan terhadap produk lulusannya (yang apolitis) di masyarakat hingga sekarang. Semuanya dibingkai dalam kebijakan politik massa mengambang disertai represi dan larangan-larangan. Ketika era kediktatoran berakhir, produk depolitisasi-deideoligasi ini menyeruak ke permukaan, entah sebagai politisi, sebagai partai politik, sebagai LSM, sebagai seniman, sebagai media massa, dan lain-lain.
Neoliberalisme
Lebih luas dan lebih mendasar dari situasi kepartaian tersebut di atas, fragmentasi sosial yang sesungguhnya mencapai tahap “atomisasi” individu-individu sebagai buah dari corak ekonomi neoliberal. Neoliberalisme, sebagai paham yang mendasari operasi kapitalisme saat ini, lebih mengedepankan hak individu dibandingkan hak kolektif.
Seperti diketahui, dorongan neoliberalisme pertama-tama terjadi pada bidang ekonomi dalam bentuk liberalisasi aturan-aturan perdagangan, investasi, privatisasi, dan penghapusan subsidi-subsidi. Situasi ini terjadi di hampir seluruh belahan dunia; bermula dari Chile di tahun 1970-an, Eropa Timur 1990-an, sampai dengan negeri-negeri Timur Tengah akhir-akhir ini. Di Indonesia, liberalisasi mulai masif sejak Soeharto menandatangani nota kesepahaman dengan IMF, 15 Januari 1998, dan (liberalisasi tersebut) terus berlangsung hingga sekarang Rezim Jokowi.
Dalam neoliberalisme modal dibiarkan menjarah segala bidang kehidupan rakyat marhaen seperti tanah, air, udara, bahan baku (sumber daya alam dan pertanian), energi, tenaga kerja, sampai dengan sektor pendidikan dan kesehatan turut dikomersilkan. Saat akumulasi modal bertambah, para politisi dan ekonom neoliberal akan mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi meningkat, atau perekonomian semakin membaik. Padahal saat itu semakin banyak orang yang dimiskinkan.
Dalam kemiskinan mayoritas rakyat marhaen ini, dimensi budaya dari neoliberalisme bekerja dengan mereproduksi berbagai ilusi. Mulai dari ilusi kesejahteraan yang konon katanya bisa diperoleh dari “efek merembes ke bawah”— teori ini mengatakan; kesejahteraan rakyat dapat diperoleh dari pertumbuhan yang tinggi, tapi kenyataannya pertumbuhan yang tinggi tidak berkorelasi dengan peningkatan kesejahteraan rakyat marhaen, ilusi kesenangan pribadi tanpa manfaat sosial, sampai dengan ilusi-ilusi yang menunggangi sentimen suku, ras, dan agama, hingga antar golongan. Tradisi gotong royong yang masih sempat dirasakan pada masa orde baru juga mulai ditinggalkan hingga sekarang.
Dalam konteks fragmentasi sosial ini, pengertian neoliberalisme bisa kita ringkas dengan meminjam ungkapan seorang filusuf Prancis, Pierre Bourdieu, bahwa neoliberalisme tidak lain dari program untuk menghancurkan struktur kolektif—demi logika kebebasan modal. Penulis menafsirkan makna kolektif di sini dalam pengertian mikro setingkat komunitas keluarga, tempat kerja, organisasi sosial, sampai tingkat makro sebagai satu bangsa.
Platform bersama
Kolektif bernama bangsa di sini mendapat kedudukan penting karena berkaitan dengan kekuatan organisasi negara dengan instrumen-instrumennya. Oleh karena itu, langkah untuk mengkonsolidasikan pemikiran atau wacana tentang penyelamatan sebuah kolektif bernama nasion Indonesia saat ini menjadi mendesak.
Konsolidasi pemikiran ini adalah kerja persatuan politik ke depan. Sadar bahwa pemikiran tentang kedaulatan nasional ini belum solid, agaknya tak perlu berharap sosok persatuan ke depan akan senantiasa kompak dan harmonis dalam segala aspek. Justru harus diantisipasi bahwa akan ada perdebatan dan perbedaan pendapat. Tapi yang terpenting dari semua itu adalah kehendak politik untuk mengutamakan persoalan (kolektif) nasional dibanding persoalan lainnya.
Persoalan nasional tentulah jamak, bila dibariskan per alfabet maka a sampai z pun tak cukup. Tapi di dalam kejamakan itu terdapat esensi yang sama, yakni manusia yang mempunyai kebutuhan dasar yang sama sebagai syarat untuk hidup, sehat, berpendidikan, bermartabat, dan berkembang maju.
Bila kebutuhan dasar manusia tidak dapat dipenuhi oleh suatu tata pergaulan hidup, atau sistem, atau stelsel, seperti neoliberalisme, maka sistem tersebut dapat dikatakan gagal. Dan bila sistem gagal maka orang yang hidup dalam sistem tersebut akan mendorong terjadinya perubahan dengan berbagai cara, yang oleh para pendukung sistem yang gagal tersebut (status quo) akan dikatakan mengganggu stabilitas.
Paradoksnya, bangsa ini pernah menghadapi sistem yang gagal itu, yakni penjajahan Belanda serta pendudukan tentara Jepang, sampai akhirnya memproklamirkan kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dalam proklamasi kemerdekaan itu juga telah disusun tata pergaulan hidup yang baru (Pancasila dan UUD 1945) dan sebuah konsep untuk tata pergaulan hidup yang lebih ideal lagi (Sosialisme Indonesia/Sosialisme Pancasila: tanpa penindasan manusia atas manusia dan penghisapan bangsa atas bangsa)
Dalam hemat penulis, untuk menentukan platform bersama saat ini, kita dapat kembali pada sejarah lahirnya nasion Indonesia dengan prinsip dasar dan tujuan-tujuannya. Prinsip dasar yang dimaksud adalah Pancasila (tentu saja bukan pancasila versi orba), dan tujuan-tujuannya sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945;
(1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
(2) memajukan kesejahteraan umum;
(3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
(4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Harapannya, platform ini dapat dikembangkan sebagai gugus ide yang relevan dalam pertarungan menghadapi gagasan-gagasan neoliberalisme maupun fundamentalisme agama yang kian luas pengaruhnya di kalangan massa rakyat. Salah satu alat ukur untuk menilai pengaruh gagasan tersebut adalah momentum pemilu 2024 yang akan datang.
Lanjutkan vs Perubahan Vs Status Quo
Menjelang momentum pemilu 2024, situasi nasional kembali memanas. Presiden Jokowi sendiri telah menabuh gong tanda ‘pertandingan’ dimulai dengan menyebut tahun 2023 dan 2024 sebagai “tahun politik”. Panasnya suhu politik ini dipicu oleh dua faktor; pertama, akibat rivalitas politisi tanpa konsep pemikiran mengenai agenda penyelamatan bangsa (misalnya kasus-kasus korupsi-kolusi-nepotisme yang hanya dijadikan mainan/saling sandera politik oleh para elit), dan kedua, akibat semakin merajalelanya modal yang menyengsarakan rakyat marhaen.
Di “tahun politik” ini kita dapat mengidentifikasi posisi orang per orang, lebih khususnya para politisi di berbagai level, terhadap persoalan nasional yang disebutkan tadi. Pada pemilu 2019 yang lalu, sempat muncul dua kubu yang mengangkat dua slogan. Pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin mengangkat slogan “Optimis Indonesia Maju”. Sementara pasangan Megawati-Prabowo mengangkat slogan “Indonesia Adil Makmur”
Saat ini belum dapat dipastikan siapa saja figur yang akan maju pada Pemilu nanti. Juga belum diketahui slogan yang akan dibawa oleh mereka. Tapi, terlepas dari persoalan figur dan slogan, masih dapat dibuat pengelompokan berdasarkan pilihan gagasan ke depan. Pengelompokan ini bisa dimulai sejak pemilihan anggota legislatif. Semua caleg yang menginginkan “Indonesia Maju”, atau bukan “Indonesia Adil Makmur”, dapat mengkonsolidasikan diri dan merencanakan kerjasama atau saling mendukung dengan agenda kerakyatan yang konkret.
Bagi individu atau kelompok yang memandang bahwa konsep dan tata pergaulan hidup yang berjalan sekarang (neoliberalisme) sudah cocok, sudah sesuai, silahkan membentuk satu kubu sendiri. Sedangkan individu atau kelompok yang memandang bahwa konsep dan tata pergaulan hidup sekarang harus dihentikan, diubah, atau diganti, membentuk kubunya sendiri. Di dalam masing-masing kubu ada politisi, partai politik, budayawan, seniman, akademisi, serikat buruh, organisasi kemasyarakatan, dan lain-lain.
Dari sini akan muncul sejumlah pertanyaan, seperti; bukankah polarisasi demikian malah menciptakan perpecahan dan bertentangan dengan persatuan yang dibicarakan sedari awal? Adakah pilihan lain dari kedua pilihan di atas? Bagaimana mewujudkan pengelompokkan berdasarkan gagasan bila pragmatisme masih menjadi arus utama dalam lapangan politik elektoral?
Untuk menanggapi tiga pertanyaan ini penulis membukanya dengan tiga persoalan; pertama, bahwa realitas politik saat ini individu maupun kelompok yang tidak/belum dapat menerima dan tidak bisa memahami prinsip-prinsip yang ada dalam Pancasila dan UUD 1945 masih eksis. Ukurannya sederhana, yakni konsekuensi praktis dari tidak diterimanya prinsip-prinsip tersebut dengan diterapkannya jalan neoliberalisme maupun bibit-bibit perpecahan berbasis suku dan agama hingga ras dan antar golongan. Jadi polarisasi demikian sama sekali bukan untuk memecah belah melainkan untuk memperjelas posisi masing-masing percaturan politik nasional.
Kedua, kontradiksi dan perbedaan pasti akan selalu muncul, terlebih dengan latar belakang situasi fragmentasi akut yang digambarkan sekilas di atas. Persoalannya adalah bagaimana cara menemukan arena konsensus untuk memusyawarahkan agenda “perubahan” yang dikehendaki. Bersediakah para pengusung “perubahan” sementara waktu meletakkan ambisi dan kepentingan mereka di belakang untuk bertemu dan secara serius memusyawarahkan agenda penyelamatan bangsa. Pilihan ‘jalan alternatif’ akan dapat diminimalisir dengan jalan konsensus tersebut.
Ketiga; penyusunan konsep yang menyeluruh tentang “perubahan” ini haruslah merupakan pekerjaan kolektif, atau melibatkan massa rakyat, sehingga proses penyadaran akan menjadi bagian integral dari kerja politik persatuan ini. Lebih dari itu, politik persatuan kemudian bukan hanya menjadi kerja ‘elit’ melainkan menjadi kerja massa yang sadar. Hanya kesadaran massa rakyat yang dapat mengatasi pragmatisme, dan jelas ini merupakan sebuah pekerjaan jangka panjang. Selebihnya kita berharap konsolidasi gagasan ini tidak hanya menunggu momentum pemilu atau Pilkada tapi dapat terus berlangsung sepanjang waktu hingga cita-cita atau tujuan berbangsa dapat tercapai.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.