Mental Politik (Dan Revolusi Mental)
Politik | 2023-10-15 13:45:40Ada pesan menarik film “Soegija”. Pada salah satu bagian film itu, Mgr. Albertus Soegijapranata, Pahlawan Nasional kita, berpesan kepada seorang pejuang kemerdekaan, “Kalau jadi politikus, jangan haus kekuasaan. Kalau tidak, nanti jadi benalunya negara."
Bagi Romo Soegija, politik adalah soal melayani rakyat. Karenanya, seorang pemimpin harus punya mental politik, yakni ‘mental melayani rakyat’. Tanpa itu, pemimpin hanya akan menjadi benalu bagi negaranya. Inilah kata kuncinya: melayani rakyat yang tertindas.
Politik adalah seni mengelola kekuasaan agar bisa melayani dan mensejahterakan rakyat. Ini pula yang dipahami oleh para pendiri bangsa (founding father) ketika mendirikan negara ini. Seperti dikatakan Bung Karno, negara itu tak lebih dari sebuah “machtorganisatie”, yakni sebuah alat. Alat untuk apa? Alat untuk mengorganisir perjuangan menuju masyarakat adil dan makmur (secara tidak langsung inilah Dasar Politik adanya ide Revolusi Mental yang sesungguhnya).
Yang terjadi sekarang justru sebaliknya. Politik telah dibuat sangat merosot pengertiannya. Bagi sebagian elit politik saat ini, politik tak lebih sebagai penggunaan kekuasaan untuk tujuan kemakmuran segelintir orang. Politik pun kehilangan nilai-nilai luhurnya: pengabdian kepada rakyat banyak, kejujuran, patriotisme, dan lain-lain.
Tidak ada pemimpin saat ini yang bermental politik. Sebagian besar adalah pemimpin bermental perampok dan perompak. Akibatnya, penyelenggaraan negara pun sangat jauh dari cita-cita kemerdekaan. Lihat saja, bagaimana para elit politik itu berlomba-lomba masuk kekuasaan agar cepat kaya. Yang terjadi, praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme menggerogoti segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lebih parah lagi, pemimpin nasional sekarang tidak bisa melindungi dan memperjuangkan kepentingan nasional bangsa kita. Yang terjadi, negara sama sekali tidak punya kedaulatan di lapangan politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Sebagian besar kebijakan politik kita dikendalikan oleh pihak asing. Sedangkan hampir semua kekayaan nasional kita dikuasai oleh segelintir korporasi asing. Juga, tak kalah pentingnya, pemimpin nasional kita tidak berupaya menyelamatkan dan memajukan kebudayan nasional kita dari gempuran budaya imperialis-kolonialis.
Sebagian besar pemimpin kita sekarang mengidap penyakit “inferiority-complex, minderwaardigheids-complex”–"merasa ketjil, merasa minder, merasa kita tidak mampu apa-apa; jang mampu itu kan kulit putih atau bangsa asing." Penyakit ini menghalangi bangsa kita berkembang maju. Sebab, bangsa yang bisa maju hanya bangsa yang punya cita-cita dan semangat. Dan, untuk mencapai cita-cita tersebut, bangsa tersebut rela membanting-tulang dan berjuang tak kenal menyerah.
Kehidupan pemimpin dan rakyat makin berjarak. Dalam film “Soegija” kita menyaksikan bagaimana pemimpin selalu hadir di tengah rakyat. Mereka mempraktekkan prinsip: “Kalau rakyat kenyang, biarlah pemimpin kenyang belakangan. Kalau rakyat terancam kelaparan, maka biarkanlah pemimpin yang lapar duluan."
Yang terjadi sekarang malah kebalikannya. Ketika banyak bangunan sekolah roboh karena dimakan usia atau bencana, penggusuran lahan lahan rakyat, sang pemimpin justru berlomba-lomba mengoleksi jam tangan paling mewah, mobil mewah, rumah mewah, menggelar pernikahan mewah, dan lain sebagainya.
Akibatnya, apatisme rakyat marhaen terhadap politik pun meningkat. Banyak rakyat marhaen yang tak lagi mempercayai politisi dan partai politik. Kita butuh pemimpin yang punya mental politik untuk menyelamatkan bangsa ini dari tubir kehancuran. Kita butuh yang benar-benar mau menjadikan politik sebagai jalan pengabdian bagi rakyat marhaen. Pemimpin yang mau melanjutkan perjuangan mencapai cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 : masyarakat adil dan makmur. Pemimpin yang menganggap politik sebagai jalan pengorbanan dan sekaligus pengabdian kepada kemanusiaan yang tertinggi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.