Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ar. noval hananiri

Menata Ruang Publik Kota yang Responsif

Teknologi | Sunday, 15 Oct 2023, 03:02 WIB

penggunaan ruang publik diberbagai kota besar di Indonesia menarik ditelisik karena lebih dinamik, menjadi menarik ketika kerumunan massa dalam jumlah besar di ruang publik menjadi tempat yang sering diidam-idamkan

Arsitektur kota merupakan sebuah produk tidak langsung dari berbagai kegiatan manusia karena aktivitas kehidupan memiliki kaitan erat dengan kota tersebut. Para warga mencari kualitas hidup dengan berbagai cara yang dapat dilakukan. Arsitektur kota juga bukan hasil kreasi kerekayasaan manusia yang dilakukan dengan sengaja (grand design), melainkan terbuat dan terbangun oleh upaya mewadahi kegiatan dan menyeleksi masalah manusia serta berbagai kegiatan manusia dalam mencapai tujuan-tujuan mempertahankan dan mengembangkan kualitas kehidupan. kualitas kehidupan yang diinginkan dalam berbagai dimensi ekonomi, sosial, kultural, politik, dan psikologi merupakan aspek paling penting dalam kehidupan manusia. Kualitas kehidupan yang dimaksud ternyata memiliki daya-kekuatan besar dalam membentuk dan membangun arsitektur kota dalam berbagai karakternya-Djoko Wijono, 2011.

Kota yang baik merupakan penggabungan dari unsur-unsur res private dan res publica, dimana kepentingan semua pihak dapat terakomodir dalam ruang kota, Salah satunya dapat dilihat melalui ruang publik kotanya-Mariana Yosica, 2011.

Maraknya penggunaan ruang-ruang publik kota diberbagai kota besar di Indonesia termasuk Yogyakarta nampaknya semakin bercorak ragam, Ada hal yang begitu menarik ketika penggunaan ruang publik yang kini menjadi tempat yang sering diidam-idamkan baik di jalanan dan taman-taman kotanya. Berbagai kegiatan sosial masyarakat di ruang publik terjadi disebabkan salah satunya adalah aktifitas kepentingan sosial politis-religius. Aktivitas aksi demonstrasi, kampanye, nonton pertunjukan seni, tabligh akbar, sholat berjamaah pada perayaan hari-hari besar umat Islam, bazaar adalah beberapa aktifitas/kegiatan yang sering ditemui dalam ruang publik kotanya. Pergeseran kondisi tersebut dipicu oleh pola pikir dan paradigma masyarakatnya sebagai sebuah konsekuensi logis, Salah satunya-akibat keterbukaan dalam praktik sistem berdemokrasi. Realitas-nya penggunaan pada ruang publik ini sering terjadi benturan dengan berbagai aktifitas lain dalam kesehariannya. Konflik ini terjadi ketika adab/etika berperilaku dalam penggunaan ruang publik dalam berpolitik praktis-religius belum ada aturan-aturan main secara rigid bahkan belum banyak dipahami para pelakunya itu sendiri. Kondisi ini tentu saja dapat menimbulkan sebuah dampak buruk akan rasa ketidak nyamanan sosial masyarakat kota itu sendiri.

Aspek perilaku dalam ruang publik

Perilaku kolektif pada umumnya menjadi sebuah cirikhas dari masyarakat yang kompleks seperti masyarakat perkotaan, Suatu kondisi yang hampir tidak pernah terjadi pada pola masyarakat sederhana. Hal ini tentu saja mendorong terbentuknya satu gejala baru dalam sejarah manusia yang muncul setelah lahirnya kota-kota besar yang padat penduduk sebagai mass society-Daljoeni. N, 1997.

Mass society ini muncul dalam bentuk kumpulan manusia dengan jumlah yang banyak, tersebar secara keruangan dan mempunyai gejala bersifat anonimia mereaksi terhadap beragam rangsangan. Masyarakat kota memproduksi hasil budayanya secara massal dari berbagai dorongan kontradiktif antar kekuatan sosial didalamnya sehingga mendorong munculnya aktivitas massa dalam beragam bentuk, kemudian menjadi suatu kebiasaan yang lumrah dalam kehidupan perkotaan sebagai akibat perubahan dalam praktik berdemokrasi dan mudahnya mengakses informasi dalam era global. Dampak pergeseran ini ditengarai muncul perilaku-bersikap bodo amat, sikap sensasional, memudarnya adat tradisi bahkan melemahnya inovasi pribadi.

Beberapa kajian tentang psikologi lingkungan mengungkap bahwa, pertentangan dan eksistensi berbagai kekuatan sosial yang ada didalam masyarakat ini mempunyai peranan yang begitu signifikan dalam membentuk perilaku pada sebuah kelompok dan perorangan misalnya pada peraturan/norma-norma budaya. Perilaku kolektif massa terbentuk sangat erat kaitannya dengan setting-kronologis dari wadah kegiatan/aktifitas tersebut pada waktu terjadi peristiwa itu. Mendasarkan aspek perilaku kolektif massa pada kegiatan politik praktis-religius seperti tabligh akbar, aksi-aksi demonstrasi, protes aksi massa, maupun kegiatan kampanye dll, Ada kecenderungan pelaku-nya memilih ruang publik kota dalam interprestasi-nya sebagai tempat yang mempunyai nilai strategis untuk menyuarakan aspirasi dan menyebarkan gagasan-gagasan mereka kepada pihak lain.

Yogyakarta pada kurun waktu tahun 1996-2019 adalah obyek pengamatan yang berada pada dinamika aktivitas politik praktis mengalami lonjakan begitu masif. Ada beberapa titik ruang publik yang sering menjadi tempat digunakan sebagai aktifitas politik praktis, Kawasan bundaran UGM, jalan gejayan, jalan laksda adisucipto, jalan sudirman, Kawasan RRI Kotabaru Yogyakarta, jalan mataram (pertigaan gardu aniem), jalan taman siswa, Kawasan Tugu kota, jalan malioboro sampai perempatan kantor pos besar, Alun-alun selatan, Alun-alun utara sebelum dibuat pagar keliling, Kantor Gubernur-Gedung DPRD yogyakarta, Tergantung pada titik simpul mana yang akan dijadikan jalur/rute “transit” sebagai tempat untuk menyampaikan aspirasi kelompok massa tersebut. Bahkan dalam sejarah masyarakat Yogyakarta itu sendiri, Memanfaatkan alun-alun sebagai ruang publik untuk menyampaikan aspirasi atau protes kepada raja kraton-yang dikenal dengan sebutan topo pepe.

Peristiwa 20 Mei 1998 di Pagelaran Kraton Yogyakarta. Tampak Sri Sultan HB X berdampingan dengan Sri Paduka Pakualam VIII serta Korlap Widihasto di hadapan ribuan massa. Foto: Dok. Widihasto Wasana Putra

Dalam perspektif urban jalan atau jalur sirkulasi (pathways) merupakan sebuah organ penting yang mempunyai peranan sebagai ruang publik terbanyak dalam lingkup sebuah sebuah kota-Moughtin, 1995. Jalur sirkulasi ini juga punya peranan penting dalam membentuk pengalaman tentang sebuah objek, peristiwa atau persepsi setiap orang mengenai bentuk struktur kota-Lyinch, 1960. Jalan-pun menjadi media-sarana yang efektif untuk memanifestasikan konsep ide dan gagasannya kepada warga kota.

Ruang publik kota sebagai wadah kolektif

Ruang publik merupakan lahan umum tempat melakukan kegiatan secara fungsional dan ritual budaya yang dapat merekatkan suatu komunitas baik dalam kegiatan keseharian maupun kegiatan yang bersifat periodik. Adapun bentuk ruang publik yang ada di kota-kota besar Indonesia merupakan taman kota, plaza dan jalur sirkulasi atau jalan-Ikaputra, 2004.

Berkegiatan dalam ruang publik pada dasarnya individu maupun kelompok tidak terlepas dari norma-norma umum yang berlaku dalam suatu tempat tersebut. Ragam jenis norma/aturan tersebut tergantung pada derajat tingkat kepublikan ruang terbuka itu sendiri-Rapoport, 1977.

Dalam sejarah lingkungan pemukiman manusia telah dikenal ruang terbuka publik seperti alun-alun, taman kota, plaza, sirkulasi jalan. Sebagai bagian dari ruang publik kota yang berfungsi sebagai wadah berkumpul berbagai macam warga kotanya untuk melakukan aktifitas/kegiatan secara kolektif. Sebagai contoh plaza merupakan simbolik dan pusat fungsional kota-kota di daratan Eropa. Pada akhir abad ke 4 SM, Kota Miletos-Yunani kuno telah membangun prototype plaza dengan kerumitan modular struktur bebatuan disusun sangat artistik, Miletos juga sudah dianggap sebagai kota Yunani terbesar dan termakmur. Dalam sejarah perkembangan plaza ini disebut agora kemudian ditransformasikan dalam bentuk square pada abad pertengahan, Pada masyarakat perkotaan agora tersebut dilengkapi dengan berbagai simbol fisik dalam merepresentasikan sistem demokrasi borjuis, sebagai media merefleksikan kekuatan/pengaruh gereja dan penguasa yang secara sengaja ditempatkan sebagai monumen penanda kepada publik,sehingga Interprestasi memori kolektif dari sebuah kota bisa saja dimulai dari square ini.

Di kawasan asia tenggra-Filipina juga mempunyai beberapa plaza yang dibangun sebelum hingga pada era kolonialisasi Spanyol menduduki di Negara itu, plaza di negara ini lebih sering digunakan untuk kegiatan ritual gereja, tempat rekreasi dan bahkan interaksi sosial warganya. Kekalahan Spanyol di Filipina atas Amerika pada tahun 1898 membawa dampak perubahan besar terhadap sistem tata kelola Filipina, Sebagai negara koloni baru yang mengusung konsep sistem demokrasi, kondisi ini membawa perubahan paradigma warga Filipina dalam berdemokrasi. plaza juga menjadi wadah untuk berkumpul dalam kegiatan politis dalam menyampaikan kebebasan berpendapat dengan cara pidato/orasi politik-plaza-pun kemudian bertransformasi menjadi wadah/ruang untuk aksi unjuk rasa dan political rallies–Alorcon, 1997.

Dalam konteks Indonesia, square-meminjam istilah jawa (alun-alun) masih dapat kita jumpai keberadaannya dan sering digunakan sebagai wadah kegiatan/aktifitas sosial antara lain, acara perayaan mauludan, tempat sholat berjamaah pada perayaan hari besar umat Islam, tabliq akbar, tempat rekreasi, tempat berolah-raga bahkan berbagai kegiatan kolektif lain yang secara reguler, periodikal bahkan bersifat berkala-insidentil. Alun-alun juga menjadi simbol adanya eksistensi demokrasi pada sistem monarkhi, Alun-alun bahkan menjadi tempat melakukan protes terhadap kebijakan sang raja-dalam proses ini kemudian raja akan memanggil kawulo-nya untuk berunding, Ini merupakan sebuah wujud raja dalam mengakomodir aspirasi rakyatnya-Priatmodjo, 1997. Pada era kolonial Belanda pernah membangun taman kota yang berada di Jakarta dengan mengadopsi bentukan square yang sekarang dikenal dengan nama lapangan monas dan lapangan banteng, Bentuk karakter fisik konsep tersebut lebih mengacu pada alun-alun dikota-kota Jawa, dalam perkembangannya taman kota tersebut menjadi tengara kota dan digunakan sebagai wadah beragam kegiatan kolektif-bahkan sebagai tempat untuk menggelar aksi-aksi demonstrasi.

Memahami persoalan dalam konteks urban di Indonesia kekinian, sangatlah penting karena secara kualitatif dan kuantitatif-nya semakin mengalami peningkatan fenomena perkotaan dari waktu ke waktu. Dalam konteks persoalan urban di Indonesia sudah selayaknya dimaknai sebagai persoalan antar relasi-relasi kekuasaan yang ada didalamnya (negara dengan rakyat) beserta impact-nya. Persoalan dalam konteks urban bukanlah semata-mata fenomena yang terkait dengan perencanaan atau persoalan teknis belaka. Kata kunci uraian diatas adalah berbagai macam penggunaan ruang-ruang publik yang berbentuk square/plaza/taman untuk kegiatan bersifat politis-religius merupakan bagian dari kehidupan dan kegiatan warga kotanya untuk berpartisipasi dalam sistem tata religius, sistem bernegara, sistem berdemokrasi, ruang publik juga sebagai wadah interaksinya antara relasi-relasi yang ada didalamnya (negara dengan rakyat).

Demokratisasi-menata ruang publik kota yang responsif

Mengidentifikasi pada pola pembentukan ruang kegiatan dan berbagai unsur pembentuk ruang publik kota yang bersifat fixed, semi fixed dan non fixed feature-Rapoport, 1977. Karakter kegiatan paling mendasar dari sikap kolektif massa pada umumnya adalah bergerombol atau berkerumun meskipun dalam kurun waktu tertentu secara simultan menanggapi adanya bermacam rangsangan, maka pada pembentukan behavior setting bersifat non fixed bahkan pula bersifat semi fixed feature, Terkadang untuk membuat orientasi masa tertuju pada satu titik semi fixed feature yang penerapannya dengan menggunakan media tribune, open stage. Pidato atau ceramah, orasi politik, seruan teriakan yel-yel menggunakan berbagai alat dan pengeras suara merupakan bentuk non fixed feature yang dapat membangkitkan bahkan membentuk suasana psikologis tertentu secara kolektif. Hal ini adalah satu cirikhas kerumunan pada umumnya yang menggambarkan sesuatu tanpa identitas, kehilangan tanggung jawab secara pribadi dan bahkan juga mereka akan mengalami sikap tanpa pandang bulu karena ikatan emosional dengan kelompoknya akan menjadi lebih dominan akibat terhanyut alam sugesti suasananya bahkan simbol fisik tertentu secara visual menjadi daya tarik yang sering digunakan sebagai atributnya. Tempat-waktu dari bentukan behavior setting pada ciri kegiatan yang berlangsung sementara ini dapat dimaknai ruang publik menjadi wadah kegiatan kolektif massa dalam jangka waktu pendek-setelah aktifitas atau kegiatan itu bubar tentu saja ruang publik akan kembali normal dan berganti menjadi wadah kegiatan yang berbeda pula.

Benang merah pembahasan diatas tentu dapat dirangkum sebagai konsepsi programatik untuk menata kembali ruang publik kota agar lebih responsif dalam berbagai kegiatan kolektif massa-politik praktis–religious :

A. Karakter pada pola kegiatan politik praktis-religius dalam bentuk tabligh akbar, kampanye suatu partai politik tertentu, aksi demonstrasi pada umumnya mengacu pada pola crowd behavior-yakni tindakan orang yang bergerombol/berkerumun sementara-guna merespon berbagai macam rangsangan setelah kegiatan usai-kerumunan akan bubar-situasi kembali normal dan peran ruang publik sebagai wadah behavior setting nya juga akan selesai.

B. Mengatasi pada persoalan crowd behavior penataannya lebih mengarah pada flexibelitas tidak perlu berlebihan bahkan permanen karena kurang efektif-sebab mendasarkan pada peristiwa ini sangat bergantung kondisi psikologis pelaku kolektif, maka tindakan sosialisasi aturan main, tata cara berperilaku/etika harus terus secara masif dilakukan seiring era keterbukaan dalam sistem berdemokrasi.

C. Secara kronologis kejadian berlangsung tidak disembarang lokasi-artinya pemilihan tempat menjadi faktor esensial yang mempunyai nilai strategis bahkan diminati-baik dari segi history, hirarki atau aspek politis-ketika pemilihan tempat ini sudah menjadi behavior setting biasanya pelaku dengan berbagai macam penggunaan simbol-simbol fisik kemudian akan membentuk lingkungan non dan semi fixed feature yang mempengaruhi psikologis pelaku pada tempat kejadian itu berlangsung.

D. Meskipun motif/pola sifat kegiatan secara simultan, seringkali munculnya karakter kolektifnya tidak terduga, sehingga secara fisik penataan ruang publik tersebut perlu didesain agar lebih responsif misal dari kemungkinan buruknya situasi chaos, pengerusakan massal, maka perlu diperhatikan konsep pemilihan bahan/material yang tepat, guna menjadi pertimbangan utama dalam hasil rancangannya. Sehingga desain untuk fasilitas penunjang ruang publik juga harus menitikberatkan pada elemen-elemen arsitektural yang tidak membahayakan pelaku kegiatan didalamnya-kesiapan saat mengahadapi kondisi darurat adalah hal paling penting, maka dari itu ruang publik yang sering digunakan sebagai kegiatan kolektif massa harus mudah diakses sirkulasinya oleh berbagai moda transportasi (mobil ambulans, mobil pemadam kebakaran, kendaraan pengamanan dari aparatur negara dll).

E. Penempatan elemen-elemen arsitektural-lay out/peta-berguna sebagai petunjuk orientasi arah sehingga memudahkan pada saat evakuasi dan penyelamatan dan membentuk wadah/tempat yang secara sinergis dapat mendukung penggunaan berbagai fungsi yang berkesinambungan.

F. Makna publik merupakan kata kunci mendasar, Sebab penekanan esensi penciptaan atau hasil rancangan akan menjadi dasar untuk memenuhi kebutuhan kepentingan umum masyarakatnya secara menyeluruh dengan penekanan pada golongan masyarakat miskin, butuh kepekaan terhadap beragamnya pengguna dalam ruang-ruang publik, sehingga hasil rancangan dapat memberikan pemahaman terhadap penggunanya. Akan lebih mengacu pada nilai-nilai umum yang berlaku dalam lingkungan tertentu dan dapat mengarahkan pola perilaku mereka-Ikaputra, 2004.

G. Perlu memperhatikan pada aspek sosiologis dan ekologis. Sehingga hasil rancangan diharapkan mampu menjembatani hubungan masyarakat dan lingkungan baik jangka pendek dan panjang, berkesinambungan dengan multisektoral-menciptakan karakter ruang publik sebagai ruang interaksi sosial bagi warga kotanya. Sehingga out-put rancangan dapat menghasilkan desain yang lebih menyatu dengan penggunanya dalam keragaman aktifitas yang ada didalamnya. meskipun secara representative untuk mengatur perilaku pengguna ketika sedang berada ditempat umum juga diperlukan perundang-undangan/peraturan kota demi tata tertib bersama yang sesungguhnya dapat diwujudkan secara kolektif-partisipasif, sehingga semua warga kotanya secara menyeluruh dapat menikmati ruang-ruang publik kotanya dengan aman, nyaman dan tertib.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image