Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Mega Puspita

Larangan Tiktok Shop, Benarkah Membela Pedagang dan UMKM?

Politik | Saturday, 14 Oct 2023, 22:47 WIB

Tiktok shop resmi ditutup dan tidak bisa lagi diakses dimulai sejak Rabu, 4 Oktober pukul 17.00 WIB. Alhasil konsumen sudah tidak bisa lagi berbelanja di tiktok shop. Penutupan tiktok shop tersebut imbas aturan pemerintah yang melarang social commerce atau media sosial yang merangkap sebagai e-commerce.

Aturan ini diatur dalam Permendag Nomor 31 tahun 2023. Menteri perdagangan Zulkifli Hasan meminta pedagang yang selama ini berjualan di tiktok shop untuk tidak perlu khawatir ia bahkan mengimbau seller untuk pindah ke platform e-commerce.

Namun, para pedagang online dan afiliator di tiktok justru mengalami fakta yang tidak menyenangkan, Dian Ayu seorang afiliator tiktok shop mengaku belum siap dengan kebijakan larangan tiktok shop, karena ia harus kembali jadi pengangguran di rumah setelah tidak bisa lagi berjualan.

Adanya rakyat yang merasa dirugikan, tentu menjadi pertanyaan, tepatkah kebijakan ini?.

Namun, pemerintah mengklaim bahwa larangan tiktok shop akan melindungi UMKM dan pedagang, serta menciptakan kerangka kerja yang lebih adil dan aman untuk perdagangan elektronik di Indonesia.

Pada faktanya, ada banyak hal yang berpengaruh terhadap aktivitas perdagangan hari ini, di antaranya adalah pedagang bermodal besar yang menguasai pasar, sehingga bisa melakukan monopoli melalui dukungan oligarki.

Sementara itu, kehadiran tiktok shop memang bisa mengganggu mekanisme pasar yang sehat. Pasalnya, marketplace ini bisa menjual harga barang-barang di bawah harga normal bahkan di bawah biaya produksi.

Dalam Islam, kondisi ini disebut ghabn fahisy. Ghabn Fahisy adalah bentuk penipuan yang akan mematikan pesaingnya di pasaran. Marketplace akan mengeluarkan subsidi yang besar untuk menurunkan harga pasar, dengan tujuan agar pedagang lain gulung tikar. Setelah marketplace tersebut minim pesaing, ia akan mencabut dumping dan mengembalikan jualannya pada harga normal.

Sehingga para konsumen hanya akan membeli di marketplace yang bersangkutan. Persoalan pasar digital, semakin kompleks dengan pengaturan pajak yang berbasis pada perusahaan secara fisik.

Semua ini bermuara pada sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan hari ini yang bertumpu pada pajak dan utang. Berbeda dengan perdagangan yang diatur dengan syariat Islam. Islam memiliki sistem ekonomi yang menjamin keadilan dalam aktivitas ekonomi bagi seluruh lapisan rakyat.

Islam membedakan penataan pasar makro di dalam negeri dan penataan pasar internasional. Tugas negara dalam mengatur pasar sangat urgent. Perdagangan yang adil telah diperintahkan oleh syariat berdasarkan Qur’an surah An-nisa ayat 29 Allah SWT berfirman :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu.”

Negara dalam Islam juga berfungsi sebagai pelayan rakyat sebagaimana hadist Rasulullah SAW : “Imam adalah penggembala (pengurus rakyat) dan ia akan bertanggung jawab atas gembalaannya (rakyat yang diurusnya)” H.R Al-Bukhari dan Ahmad.

Menurut hadist tersebut, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat adalah tanggung jawab negara. Negara tidak boleh membiarkan rakyatnya hidup dalam kesengsaraan. Oleh karena itu, negara akan menciptakan pasar yang sehat, di mana harga ditentukan oleh kekuatan supply dan demand.

Sehingga semua unsur yang merusak permintaan dan penawaran harus dihapuskan oleh negara. Islam melakukan penataan perdagangan melalui peran negara, dengan pengaturan dan pengontrolan yang jelas.

Pengontrolan terhadap penjual sekaligus pembeli dilakukan negara dengan kebijakan menetapkan seluruh aktivitas jual beli yang terjadi, berjalan sesuai syariat Islam. Melarang maysir atau adanya unsur judi dalam perdagangan dan unsur gharar atau (ketidakjelasan).

Negara akan mengontrol penjual dengan melarang riba, ghabn fahisy sebagaimana transaksi yang terjadi pada e-commerce hari ini. Larangan ihtikar atau menimbun, larangan menutupi cacat barang dan larangan mengiklankan barang yang penuh dengan kebohongan.

Sementara itu, negara juga mengontrol pembeli dengan melarangkan kanzul maal (menimbun harta), talaqqi rukban (mengelabui penjual), taqtir (kikir), tabdzir (boros untuk barang yang diharamkan) dan tarif (berfoya-foya).

Selain itu, negara tidak boleh berperan langsung atau ikut campur dalam mekanisme harga pasar, sehingga negara dilarang melakukan tas’ir (pematokan harga atas dan bawah).

Islam menghendaki harga benar-benar sampai pada harga keseimbangan yang sehat, sehingga tugas negara hanya menghilangkan semua ancaman-ancaman yang bisa mengganggu terwujudnya mekanisme pasar sehat.

Pada dasarnya marketplace di dalam Islam diperbolehkan, karena dihukumi sebagai pasar penyedia lapak. Hanya saja, marketplace berfungsi sebagai pasar virtual atau digital, bukan pasar fisik. Jika penyedia marketplace menyediakan tempat untuk untuk berjualan, maka harus berlaku akad ijarah atau akad sewa lapak. Karena perannya, hanya menyediakan tempat bukan memasarkan barang. Sementara ijarah menurut syariat adalah akad atas manfaat untuk diberi kompensasi.

Oleh karena itu pihak marketplace berhak mendapatkan fee (komisi). Namun fee nya harus pasti, sehingga tidak boleh diambil dari persentase hasil penjualan. Sebab, akad tersebut adalah akad yang fasad. Demikianlah aturan Islam dalam menciptakan pasar yang sehat yang akan menguntungkan pedagang maupun konsumen.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image