Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image SAIFUL ANWAR

Nadaa Itu Tak Lagi Berbunyi

Genta | Saturday, 14 Oct 2023, 22:02 WIB
Sumber gambar: https://pin.it/1OyWLHw

Saya tidak tahu harus mulai dari mana. Malam ini hati saya teriris. Sakit sekali rasanya. Nadaa Jiilaana Waffiananda, seorang mahasiswi perguruan tinggi negeri di Semarang bunuh diri dengan cara menjatuhkan diri dari lantai 4 sebuah mall. Sepucuk surat ditemukan dan isinya membuat hati saya hancur.

“Maa,, maaf karena tidak menjadi sekuat yang mama inginkan. Aku punya hadiah untukmu, dikirim dari kostnya Hani. Aku berharap aku bisa memberikan itu sendiri kepadamu, maaf. Terima kasih selalu memikirkanku, peduli kepadaku dan maaf jika aku selalu membuatmu sedih. Aku mencintaimu, selalu. Jangan lupa berdoa buat aku ya??? Sekali maaf nih, aku nyerah ”

Saya membayangkan, ketika menulis itu perasaan Nada pastilah tak karuan. Sedih, kecewa, bimbang dan marah bercampur jadi satu. Tangannya gemetar, air matanya menetes dan langit di hatinya mendung segelap-gelapnya. Semua terakumulasi dalam goresan tinta terakhir yang menjadi penutup cerita pilu Nadaa, penutup kisah-kisah yang mungkin tak sempat ia ceritakan. Surat itu adalah kotak pandora yang membuka sekaligus menutup segalanya.

Bagaimana semua itu bisa terjadi? Masalah apa yang sedang ia hadapi? Seberapa berat beban yang ia tanggung? Malam ini, di sebuah kedai kopi di Gunungpati pikiran saya dihujani banyak pertanyaan.

Saya bukan ahli psikologi tetapi saya manusia, sama seperti Nadaa. Saya punya perasaan dan masalah yang berjibun. Oleh karena itu saya merasa perlu untuk menulis hal ini.

Tidak semua orang memiliki keberanian mengakhiri hidup. Seseorang yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya pastilah sudah sampai pada titik ketidaksanggupan. Banyak faktor yang menyebabkan itu. Sialnya sampai detik ini saya belum memperoleh informasi resmi apapun yang menyebabkan Nadaa bunuh diri.

Mungkinkah kematian Nadda berkait dengan masalah kesehatan mental? Isu ini ramai diperbincangkan beberapa tahun belakangan, menjadi pembahasan luas di masyarakat terutama di kalangan generasi z, generasi yang lahir pada tahun 1997 sampai 2012. Pola asuh orangtua, pergaulan, dan media sosial adalah beberapa faktor yang terkait dengan hal tersebut.

Ketika saya membuka akun tiktok Nadaa dan membaca komentar-komentar di beberapa postingannya, saya terkaget-kaget. Banyak komentar sedih, haru, dan komentar-komentar lain yang berbau penyesalan. “Kamu kenapa si jwa? Udah capek banget ya” (@dkwrd_), “tunggu aku ya nada” (@oyyorrelll), “Nada? tunggu akuu yaa” (@ree_sftry).

Membaca komentar-komentar di atas membuat saya yakin bahwa pembahasan masalah kesehatan mental semakin penting. Saya jadi penasaran dan mencari data tentang hal tersebut. Sambil menyeruput kopi pahit yang baru saya pesan, saya membaca informasi di situs resmi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, sehatnegeriku.kemenkes.go.id:

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi.

Selain itu berdasarkan Sistem Registrasi Sampel yang dilakukan Badan Litbangkes tahun 2016, diperoleh data bunuh diri pertahun sebanyak 1.800 orang atau setiap hari ada 5 orang melakukan bunuh diri, serta 47,7% korban bunuh diri adalah pada usia 10-39 tahun yang merupakan usia anak remaja dan usia produktif.

Kopi yang sedang saya nikmati terasa makin pahit dan getir. Isu kesehatan mental ibarat tumor dalam tubuh, tak terasa pada mulanya namun semakin lama semakin menggerogoti dan membuat seseorang menjadi pesakitan. Sudah banyak orang yang peduli pada isu ini, namun penanganan dan tindakan untuk menyelesaikannya masih belum maksimal.

Masalah tersebut menjadi semakin pelik karena infrastuktur kesehatan di Indonesia yang berkait dengan masalah kesehatan mental masih jauh dari kata layak. Masih dari sumber yang sama, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Dr.Celestinus Eigya Munthe mengatakan:

“Masalah sumber daya manusia profesional untuk tenaga kesehatan jiwa juga masih sangat kurang, karena sampai hari ini jumlah psikiater sebagai tenaga profesional untuk pelayanan kesehatan jiwa kita hanya mempunyai 1.053 orang,... Ini masalah yang sangat tinggi karena 20% dari 250 juta jiwa secara keseluruhan potensial mengalami masalah kesehatan jiwa."

Sampai pada titik ini, menurut saya Indonesia sudah darurat kesehatan mental.

Saya paham bunuh diri itu dilarang oleh agama apa pun dan negara mana pun. Tepi mari kita mendiskusikannya lebih dalam, pada faktor-faktor elementer, basic, dan mendasar.

Ada yang mengatakan bahwa bunuh diri terjadi karena seseorang tidak dekat dengan Tuhan, tidak agamis, atau tidak religius. Menurut saya pendapat itu serampangan dan terkesan buru-buru. Memang, inti ajaran agama adalah cinta kasih. Kitab-kitab suci juga banyak yang menuliskan pentingnya cinta kasih. Namun cinta kasih tidak turun dari langit. Ia dipupuk oleh lingkungan. Ia merupakan akumulasi pengalaman manusia. Lingkungan, dalam hal ini keluarga dan pergaulan menjadi faktor penting dalam tumbuh-kembangnya cinta kasih. Seseorang yang tumbuh di keluarga toxic, kurang kasih sayang dan sering diabaikan orangtuanya berpotensi mengidap masalah kesehatan mental. Bukan berarti agama tidak penting. Agama sangat penting, namun lingkungan sosial yang harmonis dan baik juga tidak kalah penting (atau justru paling penting?). Cinta kasih akan mendekatkan kita pada inti ajaran Tuhan yaitu cinta kasih. Pun sebaliknya.

Pengaruh pergaulan dan media sosial juga patut diperhatikan. Faktanya hal yang kita lihat dan rasakan akan mempengaruhi pola pikir kita. Pergaulan yang tidak sehat, tidak dewasa, ditambah dengan serbuan konten media sosial yang masif membuat hidup seperti berlari. Semua harus dikejar dan dicapai secepat-cepatnya. Bersantai-santai artinya malas. Kita dipaksa untuk memenuhi standar hidup yang mungkin sebetulnya tidak sesuai dengan keinginan kita. Punya gaji tinggi, rumah layak, dan menikah seakan menjadi standar kualitas hidup minimal seseorang di usia 20-an. Hidup menjadi ngos-ngosan. Bagi yang tak mampu akan dicap gagal, lalu overthinking bahkan depresi.

Saya membayangkan seandainya dunia tak memiliki standar. Setiap orang bebas menjadi apapun yang mereka inginkan. Tanpa tekanan. Cinta kasih akan tumbuh. Tak ada lagi orang depresi, setiap orang hidup bahagia. Ah sial, nampaknya saya sedang melamun!

Malam semakin larut, bulan mulai merangkak naik dan bintang-bintang pun bermunculan. Kopi saya tinggal separuh dan saya masih memikirkan Nadaa Jiilaana Waffiananda, nama yang akan menetap di pikiran saya dalam waktu lama. Nadaa itu tak lagi berbunyi. Sunyi senyap, meninggalkan sejuta tanya yang belum terjawab.

Saya hanya bisa berdoa semoga ia mendapat tempat terbaik di sisi Tuhan.

Semarang, 14 Oktober 2023

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image