Rasa Malu Bagian dari Keimanan
Agama | 2023-10-12 16:32:01Di zaman yang serba bebas ini ada satu sifat manusia yang berubah secara drastis yakni rasa malu. Gempuran teknologi baru dan canggih turut andil membuat rasa malu manusia kian menipis. Padahal rasa malu adalah fitrah yang muncul bahkan pertama kali saat manusia eksis. Allah Taala berfirman, “Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia” (QS. Thaha: 20-21). Ayat ini menggambarkan bahwa Nabi Adam dan istrinya tatkala melanggar larangan Allah maka Allah jadikan aurat mereka terbuka. Hal tersebut membuat keduanya malu sehingga sibuk menutupi aurat-auratnya dengan daun-daun.
Berkaitan dengan rasa malu ini ada sebuah hadits yang membahasnya. Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr Al-Anshari Al-Badri radhiyallahu’anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya di antara perkataan kenabian terdahulu yang diketahui manusia ialah jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu!” (HR. Bukhari). Berkenaan dengan hadits ini Rasulullah memberitahukan kepada umatnya bahwa ada diantara syari’at nabi-nabi terdahulu yang masih berlaku sampai hari ini yaitu syariat rasa malu, sebagaimana Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Iman mempunyai enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan ‘La ilaha illallah,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu merupakan salah satu cabang Iman,” (HR. Bukhari No. 9).
Ada syariat nabi-nabi terdahulu yang terhapus dengan syariat Nabi Muhammad SAW. Ada pula syariat yang tetap ada karena diadopsi lagi oleh Nabi Muhammad SAW. Contohnya, bagi Bani Israil dahulu mengambil harta rampasan perang hukumnya haram, kemudian datang syariat nabi Muhammad yang menghalalkan ghanimah. Ada pula syariat pada Nabi Musa As. tentang pakaian yang terkena najis. Cara menyucikannya adalah dengan memotong bagian yang terkena najis tersebut karena tidak dapat disucikan dengan air. Tapi kemudian datang syariat Nabi Muhammad SAW. bahwa membersihkan kain yang terkena najis adalah dengan air. Adapun contoh syariat nabi-nabi terdahulu yang diteruskan oleh syariat Nabi Muhammad SAW. misalnya ibadah haji, shalat dan puasa, termasuk juga syariat rasa malu. Inilah diantara kesamaan ajaran para nabi-nabi yakni ajaran untuk memiliki rasa malu.
Rasa malu itu adalah akhlak yang harus diperhatikan. Dalam hadits tersebut terdapat kalimat ‘maka berbuatlah sesukamu.’ Meski kalimat tersebut diucapkan dalam bentuk shighat amr (kalimat perintah), tapi maknanya adalah celaan bukan perintah. Rasa malu ini dikonversi dari dua sebab, pertama malu kepada Allah dan kedua malu kepada makhluk. Pertama, Rasa malu kepada Allah, ini berkenaan dengan dua perbuatan, yaitu makruh dan haram. Pada perbuatan-perbuatan yang dimurkai oleh Allah ini, maka seorang hamba seharusnya malu untuk melakukannya, sekalipun tidak ada manusia yang mengetahuinya. Adanya keimanan di dalam hati bahwa Allah Al-Bashir (Maha Melihat) inilah yang menjadi sebab terciptanya benteng penghalang antara dirinya dengan perbuatan yang haram. Namun, tidak semua rasa yakin bahwa Allah Maha Melihat melahirkan rasa malu, karena ada pula yang mengabaikannya sebab hatinya saat itu lebih condong kepada sesuatu yang dimurkai oleh Allah Taala.
Kedua, malu kepada makhluk Allah. Ini berkaitan dengan perbuatan yang haram dan juga perbuatan yang menghilangkan muru’ah (harga diri). Melakukan perbuatan haram di depan manusia dapat menghilangkan harga dirinya. Namun manusia bisa jadi tidak merasa harga dirinya telah hilang karena perbuatannya, tidak lain sebabnya adalah hilangnya rasa malu. Orang yang telah hilang rasa malunya, maka hakikatnya telah hilang pula harga dirinya. Hadits di atas menggambarkan bahwa hilangnya rasa malu manusia adalah sebuah keniscayaan. Oleh karenanya, Rasulullah mencela hal tersebut dengan kalimat “berbuatlah sesukamu.” Bukankah ini mengerikan?
Rasa malu akan membuat seseorang memiliki pembawaan yang tenang, karena dengan rasa malu dia selalu mempertimbangkan segala sesuatu sebelum berbuat. Pertimbangan itu dilakukannya karena takut apabila perbuatan yang akan dia lakukan ternyata dimurkai oleh Allah. Perlu disadari bahwa tidaklah seseorang bermaksiat kecuali dengan nikmat dari Allah. Bukankah panca indera, anggota tubuh, waktu, harta dan sebagai nya adalah nikmat dari Allah? Namun dengan nikmat-nikmat itu jugalah manusia sering bermaksiat. Oleh karena itu menahan diri dari perbuatan haram adalah karena malu dengan Dzat yang dia maksiati.
Semoga hadits ini dapat menambah rasa malu kita sehingga mencegah dari perbuatan dosa. Wallahu a’lam.
(Referensi dari Majlis Hadits Arba’in oleh Ustadz Kusnady Ar-Razi)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.