Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image IZDIHAR AL MAS ANANTHA

Keamanan Keuangan di Era Digital: Membangun Pertahanan Terhadap Cybercrime

Eduaksi | Wednesday, 11 Oct 2023, 10:23 WIB

Salah satu kegiatan bijak adalah mengikuti perkembangan zaman yang saat ini diharuskan mempelajari Digital Financial Literacy (DFL) atau Literasi Keuangan Digital. DFL mencakup pengetahuan, keterampilan, keyakinan, dan juga kompetensi untuk menggunakan produk dan layanan keuangan digital dengan aman. Kini lembaga jasa keuangan mulai menjual produk dan layanan jasa keuangan secara digital. Produk dan jasa keuangan digital ini dapat dirasakan manfaatnya untuk konsumen, diantaranya yaitu mempercepat layanan dan juga menghemat biaya operasional.

Saat ini kemampuan literasi keuangan digital bukan hanya sekedar kebutuhan, tetapi sudah menjadi lifestyle di era Revolusi Industri 4.0 ini. Berdasarkan musibah Covid-19 di masa lampau menyebabkan transaksi digital semakin diminati dan dibutuhkan. Dalam perkiraan jangka panjang, semua transaksi keuangan akan mulai beralih menjadi teknologi digital dan menuju cashless transactions. Oleh karena itu pendidikan literatur keuangan digital sangat penting dan dibutuhkan. Kemampuan literasi digital tidak hanya untuk kepentingan transaksi keuangan, namun juga untuk memenuhi kebutuhan atau aktivitas kehidupan lainnya yang berbasis digital.

Dalam melakukan transaksi keuangan digital, hal yang menjadi fokus utama adalah faktor keamanan. Kemudahan dalam transaksi keuangan digital perlu diiringi dengan pemahaman adanya risiko keamanan data pribadi. Namun, rupanya di Indonesia masih belum memiliki keamanan yang cukup kuat. Chairman & Founder of the Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), Ardi Sutedja menilai maraknya kasus pembobolan elektronik lembaga keuangan dikarenakan adanya kelemahan dari penyelenggara sistem elektronik perbankan sendiri.

Ketua Komite I DPD RI, Akhmad Muqowam mengungkapkan bahwa tingkat cybercrime di Indonesia masuk dalam peringkat kedua di dunia. Menganggapi hal ini, Menkominfo Rudiantara mengatakanperingkat tersebut dilihat dari kejahatan peretasan melalui dunia maya. Cybercrime ini terjadi dalam berbagai bidang, salah satunya dalam sektor perbankan. Pada tahun 2021 jumlah kasus cybercrime sebanyak 612. Namun, di tahun 2022 meningkat hingga 14 kali lipat, yakni kasus sebanyak 8.831 sejak 1 Januari hingga 22 Desember 2022.

Permasalahan terbaru yaitu modus penipuan melalui permintaan untuk meng-klik sebuah file undangan pernikahan berformat APK di sosial media Whatsapp. Hal ini mengakibatkan salah satu nasabah tabungan BRI di Kota Malang kehilangan saldo sebesar Rp1,4 miliar. Modus penipuan yang lainnya datang dari kurir paket yang mengirimkan file berformat APK dengan nama file yang berhubungan nomor resi paket korban melalui sosial media Whatsapp. Otoritas Jasa Keuangan (OJK), melalui laman instagram resminya menulis, “Waspada modus Sniffing, penipuan berkedok kurir paket yang bisa menguras rekeningmu”.

Dalam mengantisipasi adanya cybercrime baik dalam jenis sniffing ataupun yang lainnya, diperlukan upaya dari beberapa pihak yang terlibat, yaitu :

1. Pemerintah

Upaya yang dapat dilakukan pemerintah yaitu dengan penguatan hukum dan peraturan. Pertama, meningkatkan kerangka hukum yang berkaitan dengan keamanan keuangan digital dan memberlakukan dengan benar dan tegas sanksi yang lebih berat bagi pelaku cybercrime serta mengembangkan undang - undang yang dikhususkan untuk mengatur keamanan data dan transaksi keuangan digital. Kedua, memberikan pendidikan literatur keuangan digital kepada pekerja di lembaga keuangan maupun masyarakat. Pekerja lembaga keuangan membutuhkan pendidikan literatur yang berhubungan dengan praktik keamanan digital, sehingga mampu bertindak cepat ketika ada nasabah yang mendapatkan pesan modus penipuan. Masyarakat juga membutuhkan pendidikan literatur keuangan digital secara berkala dan rutin. Memberikan pengertian mengenai keuangan digital hingga pada risiko - risiko yang ada pada keuangan digital seperti cybercrime ini. Masyarakat diberikan pendidikan literatur mengenai melindungi rekening mereka yang ada pada mobile banking, sehingga mengantisipasi adanya korban cybercrime dalam perbankan kedepannya. Ketiga, mengenai pengawasan dan pelaporan. Pemerintah membentuk badan pengawasan independen untuk memantau lembaga keuangan dan perusahaan teknologi dalam hal keamanan keuangan digital serta mendorong pelaporan insiden keamanan kepada pihak yang berwenang dengan cepat.

2. Lembaga Keuangan

Dalam kasus ini tentu lembaga keuangan memiliki peran utama dalam mengatasi cybercrime. Pertama, keamanan teknologi. Lembaga keuangan diharuskan melakukan audit keamanan secara rutin dan berkala, melakukan penetapan kerentanan di sistem dan infrastruktur keuangan digital. Lembaga keuangan mengusahakan menggunakan teknologi yang terbaru, sebagai contoh seperti enkripsi data, firewall, dan juga pendeteksi ancaman untuk melindungi data dan transaksi milik nasabah. Kedua, melakukan kolaborasi industri. Lembaga keuangan melakukan kolaborasi dengan perusahaan teknologi dan juga pihak berwenang untuk melakukan pertukaran informasi mengenai ancaman keamanan secara berkala dan rutin, serta membentuk kemitraan dengan penyedia layanan keamanan cyber untuk melakukan monitor dan mengatasi ancaman secara real-time. Ketiga, Identifikasi dini, setelah melakukan kolaborasi dengan perusahaan teknologi, lembaga keuangan diharapkan mampu menciptakan sistem pendeteksi dini untuk mendeteksi tanda - tanda serangan cybercrime secepat mungkin dan menggunakan analisis data serta kecerdasan buatan untuk melakukan identifikasi pola serangan yang tidak biasa.

3. Individu Masyarakat

Setelah menerima pelatihan literatur keuangan digital, masyarakat diharuskan memiliki tanggung jawab atas keamanan keuangan mereka sendiri dengan melakukan pembaruan di perangkat, menggunakan sandi atau bentuk verifikasi secara double (menggunakan pin, fingerprint, ataupun dengan verifikasi wajah). Masyarakat ditegaskan untuk tidak dengan mudah menyebarkan informasi pribadi secara sembarangan. Beberapa informasi pribadi yang diharuskan untuk dijaga yaitu meliputi Nomor Induk Kependudukan (NIK), nama ibu kandung, tempat tanggal lahir, kode Personal Identification Number (PIN), kode On Time Password (OTP), nomor kartu debit/kredit, nomor Card Verivication Value (CVV), username, dan password.

Upaya dalam mengatasi cybercrime memang diharuskan melibatkan dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, lembaga keuangan, dan juga masyarakat. Ketiga pihak ini memiliki peran yang berbeda namun saling berkaitan. Jika upaya tersebut dapat terealisasikan dan dari ketiga pihak yang terlibat memiliki tanggung jawab penuh dalam tugasnya, maka dapat diprediksikan bahwa tingkat cybercrime di Indonesia akan berkurang. Masyarakat mampu melakukan kegiatan untuk mencegah terjadinya cybercrime, lembaga keuangan dan pemerintah juga mampu bersikap cepat tanggap dalam mengamankan dan menyelesaikan masalah cybercrime kedepannya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image