Karhutla Dan Orkestrasi Mitigasi Bencana
Info Terkini | 2023-10-09 03:49:20
Musibah kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Berau, terus terjadi. Bahkan, di Berau saat ini terdapat 62 titik api, yang menjadikannya terbanyak se-Kalimantan Timur. Kabut asap kini mulai terlihat mengepung Kota Tanjung Redeb, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Munculnya kabut asap ini merupakan dampak kebakaran hutan dan lahan yang masif terjadi di Berau dalam beberapa hari terakhir. Kabut asap mulai menyelimuti sejak tiga hari lalu. Warga juga kini mulai khawatir karena menduga kualitas udara kini mulai tercemar dan mengancam kesehatan. Warga juga kini mulai menggunakan masker ketika keluar beraktivitas. Warga juga berharap karhutla segera berakhir.
Berdasarkan data dari BMKG Berau per hari ini, terpantau 128 titik panas. Petugas gabungan BPBD yang tersebar di 13 Kecamatan wilayah juga tengah siaga menangani karhutla. Guna mengantisipasi ancaman dan dampak El Nino Tahun 2023, pemerintah telah mempersiapkan berbagai langkah mitigasi, terutama dalam hal pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) serta kekeringan dengan memastikan ketersediaan air bersih dan pangan pada musim kemarau.
Deputi Bidang Pencegahan Dra. Prasinta Dewi, M.A.P mengatakan BNPB telah melakukan berbagai upaya dalam mengantisipasi El Nino Tahun 2023. Beberapa langkah dan strategi dilakukan bersama dengan lintas kementerian/lembaga dan kerja sama dengan pemerintah daerah. Langkah-langkah itu mencakup pelaksanaan apel kesiapsiagaan dan kunjungan daerah, dukungan operasi darat berupa logistik dan perlengkapan pemadaman darat, teknologi modifikasi cuaca, sarana prasarana operasi udara berupa helikopter patroli dan water bombing, serta integrasi aplikasi pemantauan karhutla.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi puncak fenomena iklim El Nino yang akan memicu cuaca panas ekstrem di Indonesia pada Agustus-Oktober 2023 dan akan berlanjut hingga awal 2024. beberapa daerah yang terdampak El Nino dan memiliki potensi bahaya karhutla antara lain Jambi, Riau, Sumtera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
Karhutla Terus Berulang, Why?
Berdasarkan analisis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), sebanyak 7.857 titik panas (hotspot) terdeteksi sepanjang Juni 2023. Dari jumlah tersebut, sebanyak 2.080 titik panas berada di area korporasi dari konsesi hak guna usaha (HGU) sawit, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan alam (IUPHHK-HA), dan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI). Walhi juga mencatat, karhutla masih terjadi di beberapa wilayah pemegang konsesi yang tersebar di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Dari lima wilayah tersebut, sebanyak 15 titik panas ditemukan di Riau, 54 titik panas di Jambi, 7 titik panas di Sumsel, 9 titik panas di Kalbar, dan 8 titik panas di Kalteng. Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional Uli Arta Siagian mengatakan sampai sekarang pemerintah, khususnya Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, tidak pernah mengevaluasi perizinan untuk seluruh pemegang HGU sawit.
Padahal, fakta selama ini menunjukkan titik panas ataupun karhutla pada 2015 dan 2019 banyak terjadi di konsesi HGU. Sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memang melakukan evaluasi dan mencabut sejumlah perizinan. Namun, aspek karhutla tidak diletakkan sebagai salah satu indikator penting pada saat proses evaluasi dan pencabutan izin tersebut.
Dari sini sudah terlihat bahwa akibat karhutla beulang bukan hanya faktor cuaca, karhutla yang berulang nyatanya lebih disebabkan karena unsur kesengajaan perusahaan/korporasi membakar hutan dan lahan. Dari aspek ini saja, kita patut mempertanyakan apakah pemerintah benar-benar serius untuk mengatasi karhutla?
Karhutla adalah dampak kapitalisasi hutan atas nama konsesi. Eksploitasi hutan ugal-ugalan dimulai sejak terbitnya UU Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kehutanan. Sejak UU ini berlaku, penguasa dan konglomerat menjadi penentu dalam izin pengelolaan hutan. Sejak itu pula kapitalisasi dan ekploitasi hutan terjadi.
Islam Dan Orkestrasi Mitigasi Bencana
Posisi negara senantiasa dalam dilema ketika mencoba mengatasi karhutla ini. Ironisnya, mereka yang seharusnya bertanggung jawab nyatanya sangat sulit tersentuh hukum. Kalaupun ada, sifatnya hanya administratif, seperti pencabutan izin atau denda. Itu pun tidak mampu membuat kasus-kasus pelanggaran hukum berkurang, apalagi hilang.
Tidak sedikit kasus yang sudah sampai ke pengadilan, ujungnya tidak pernah jelas. Usut punya usut, salah satu penyebabnya adalah karena ada kongkalikong antara pengusaha dan rezim penguasa. Bahkan, tidak sedikit penguasa yang terjun jadi pengusaha, atau sebaliknya. Mirisnya lagi, pada saat hukum negara mandul menyolusi kasus di dalam negeri, negara pun tidak bisa menghindar dari tekanan internasional. Di bawah isu perubahan iklim dan pemanasan global, Indonesia juga terkena berbagai kewajiban.
Setidaknya, negara harus menganggarkan triliunan rupiah untuk mengatasi berbagai kasus karhutla dan dampaknya, serta mengejar target zero burning. Namun, pada praktiknya, target ini sulit diwujudkan karena berbenturan dengan UU. Misalnya, aturan yang masih memberi celah pembukaan lahan hutan di bawah dua hektare dengan cara dibakar. Aturan ini sering dimanfaatkan oleh perusahaan sebagai dalih untuk menghindari jerat hukum ketika pembakaran itu dilakukan dan berdampak kebakaran besar.
Itulah sebab negara seolah ada pada posisi dilema. Negara jelas tidak berdaya tekan kepada pihak korporasi pengguna lahan hutan. Sementara itu, pada saat yang sama, negara harus menanggung beban tekanan internasional terkait penjagaan iklim atau isu pemanasan global dengan bertanggung jawab secara moral, politik, dan finansial.
Dilema ini akan terus terjadi ketika negara dan dunia internasional masih dicengkeram paradigma berpikir sekuler kapitalistik neoliberal. Paradigma inilah yang memunculkan sifat rakus dan niradab, termasuk pada lingkungan yang dampak ekonomi dan sosialnya terbukti sangat besar, serta berjangka panjang.
Terkait hal ini Allah Taala telah mengingatkan, {وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ، أَلا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لا يَشْعُرُونَ} “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,’ mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.’ Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (QS Al-Baqarah: 11—12)
Oleh karenanya, menyetop kebakaran hutan dan segala jenis problem lingkungan harus dimulai dari perubahan paradigma, yakni dengan mencampakkan paradigma sekuler kapitalistik neoliberal dan menggantinya dengan paradigma Islam.
Menurut Islam, manusia diciptakan sebagai hamba sekaligus khalifah pengurus alam. Untuk itu, Allah Swt. menurunkan risalah Islam sebagai tuntunan hidup agar tujuan tersebut dapat direalisasikan dan tercipta rahmat bagi seluruh alam.
Salah satunya, Islam mengatur soal kepemilikan harta kekayaan dan bagaimana pengelolaannya, termasuk mengatur soal kepemilikan dan pengelolaan hutan dan lahan. Menurut Islam, hutan dan lahan adalah milik umum, bukan milik individu atau milik negara.
Rasulullah saw. bersabda, «الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلإِِ وَالنَّارِ وَثَمَنُهُ حَرَامٌ» “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang gembala, dan api. Harganya (menjualbelikannya) adalah haram.” (HR Ibnu Majah dan Abu Dawud) Oleh karenanya, haram bagi siapa pun, termasuk negara, untuk mengkapitalisasi hutan dengan menyerahkan kepemilikannya kepada individu atau korporasi dengan alasan apa pun. Negara justru diwajibkan untuk mengelolanya dengan baik agar fungsi dasar sumber daya alam tersebut bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemaslahatan umat dan semesta alam.
Kewajiban ini tidak hanya berdimensi duniawi, tetapi juga ruhiah atau ukhrawi. Untuk itu, negara akan serius dan penuh tanggung jawab untuk melakukan berbagai langkah, membuat sistem manajemen, dan mengeluarkan kebijakan tertentu, termasuk menegakkan sistem hukum yang dipandang baik untuk menjaga dan memanfaatkan hutla demi maslahat umat.
Negara juga akan siap mengembangkan dan memanfaatkan kemajuan iptek, sekaligus mendidik dan memberdayakan seluruh potensi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan sehingga manfaatnya bisa dioptimalkan tanpa merusak kelestarian alam dan lingkungan.
Paradigma Islam inilah yang hari ini hilang dan harus dikembalikan dalam kehidupan. Tidak lain dengan jalan mendukung perjuangan terwujudnya institusi politik Islam, yakni Khilafah yang akan menerapkan seluruh aturan Islam secara kafah. Khilafah akan mewujudkan berbagai proyek pembangunan yang berparadigma penyelamatan dan menebar rahmat bagi seluruh alam. Bukan berparadigma kapitalistik neoliberal yang terbukti hanya memproduksi kerusakan, bahkan kehancuran.
Ketaatan dan ketundukan terhadap aturan Allah Swt. inilah yang akan membawa kebaikan, bahkan menjamin datangnya berbagai keberkahan yang berlimpah ruah, termasuk berkah berupa ketinggian martabat dan kemenangan di mata manusia. Sebaliknya, pembangkangan terhadap aturan Allah Swt. justru akan mendatangkan berbagai mara bahaya sebagaimana yang faktanya tak henti kita rasakan sekarang. Termasuk bahaya berupa penghinaan dan rendahnya martabat di mata manusia.
Allah Taala berfirman, {وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُون} “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” Wallahu a’lam bish showab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.