Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hanifah Nabilah

Akses Pendidikan Bagi Perempuan dalam Belenggu Patriarki

Pendidikan dan Literasi | 2023-10-05 22:26:35

Budaya Patriarki merupakan tatanan sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dalam kehidupan. Di mana dalam persepsi ini peran laki-laki lebih mendominasi dibandingkan perempuan yang ekstensinya dianggap lebih rendah. Di Indonesia sendiri, budaya patriarki cukup kental dan menjadi budaya yang diwariskan turun temurun terutama di daerah yang nilai adatnya masih kuat. Budaya ini bisa kita temukan di berbagai aspek, seperti sosial, ekonomi, politik, pendidikan bahkan hukum. Dalam lingkup keluarga budaya ini sering kali menempatkan laki-laki sebagai penentu arah atau kebijakan dan pemimpin sedangkan perempuan berperan sebagai pengurus rumah tangga yang diharapkan dapat melakukan semua tugas rumah tangga, di mana hal ini biasanya dapat membatasi perempuan dalam pilihan karir dan tujuan atau aspirasi pribadi mereka. Budaya ini membahas siapa laki-laki dan siapa perempuan, dan tugas serta tanggung jawab mereka juga diperdebatkan .

Stigma-stigma yang mendukung budaya patriarki ini menimbulkan banyak persoalan terkait gender di Indonesia mulai dari ketidaksetaraan gender hingga kekerasan terhadap perempuan. Kesan laki-laki yang superioritas di kalangan masyarakat, menimbulkan masalah diskriminasi terhadap perempuan. Peran perempuan yang dibatasi oleh budaya patriarki ini membuat kesenjangan kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam melakukan sesuatu yang mereka inginkan ataupun sesuatu yang seharusnya mereka dapat. Salah satunya adalah kesempatan para perempuan dalam mengenyam pendidikan.

Dalam ideologi patriarki, pendidikan diutamakan untuk laki-laki dan beranggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi dengan alasan nantinya akan berakhir di dapur dan menjadi ibu rumah tangga. Pandangan seperti ini yang mengatakan bahwa perempuan hanya cocok berperan sebagai ibu rumah tangga adalah pandangan yang sudah lama usang dan tidak mempertimbangkan keragaman potensi dan aspirasi perempuan. Tak jarang juga orang-orang berasumsi perempuan tidak perlu mengenyam pendidikan tinggi karena takut tidak ada laki-laki yang mendekati sebab merasa rendah diri. Asumsi ini dilontarkan oleh laki-laki maupun sesama perempuan, faktor adanya asumsi ini karena kurangnya kesadaran terhadap pentingnya pendidikan bagi perempuan.

Padahal pendidikan merupakan hal penting dalam kehidupan manusia terlebih di saat perkembangan zaman yang pesat seperti sekarang. Tidak ada kualifikasi siapa yang berhak bersekolah dan menuntut ilmu. Pada akhirnya ilmu yang didapat bertujuan terhadap kesejahteraan antar manusia. Hak perempuan dalam mengenyam pendidikan adalah hak dasar yang harus dihormati. Namun pada realitanya, banyak kita temukan para perempuan yang tidak dapat hak mereka untuk menimba ilmu. Para perempuan menghadapi tekanan sosial untuk tetap dalam batasan yang ditetapkan oleh budaya patriarki. Norma-norma budaya dan sosial yang kuat membatasi perempuan dalam menerima hak mereka salah satunya kesempatan dalam mengenyam pendidikan. Mereka mungkin diharapkan untuk menikah pada usia muda atau mengurus rumah tangga dan mengesampingkan pendidikan mereka.

Perempuan harus memiliki akses yang sama dengan laki-laki untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Pendidikan yang berkualitas memungkinkan perempuan mengembangkan kemampuan, meningkatkan keterampilan, dan memaksimalkan potensi mereka. Hal ini penting dalam memerangi kemiskinan dan ketidaksetaraan gender. Pendidikan perempuan bukan hanya menguntungkan pribadi, tetapi juga berpengaruh pada pembangunan sosial, ekonomi, dan politik yang lebih baik. Contohnya di bidang ekonomi, perempuan yang berpendidikan cenderung memiliki penghasilan yang lebih tinggi, dan dapat membantu finansial keluarga mereka dan memutus siklus kemiskinan. Banyak sekali dampak yang diberikan oleh pendidikan untuk perempuan dan lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, perempuan harus berjuang untuk mendapatkan akses yang setara dan berkualitas ke pendidikan.

Banyak perempuan di Indonesia yang telah mengambil berbagai tindakan untuk melawan budaya patriarki. Tak sedikit dari mereka yang terjun langsung menjadi aktivis dalam rangka memperjuangkan hak-hak perempuan, beberapa juga terlibat dalam politik sebagai pemimpin. Dan hal yang paling lumrah dilakukan adalah kampanye, perempuan menggunakan media sosial sebagai wadah mereka dalam melakukan kampanye online untuk menyuarakan isu-isu gender. Langkah yang diambil oleh para perempuan hebat ini sangat berpengaruh terhadap hak perempuan dalam mengenyam pendidikan.

Perjuangan para perempuan dalam mendapatkan akses yang setara dalam mengenyam pendidikan didukung oleh data SUSENAS BPS mengenai angka persentase melek huruf, di mana data tersebut menunjukkan bahwa persentase melek huruf perempuan usia 15 tahun ke atas di tahun 2022 adalah 97,64%, lebih rendah dibandingkan angka melek huruf laki-laki sebesar 98,79% pada tahun yang sama. Namun, dibandingkan dengan angka persentase tahun 2012, ketika persentase perempuan melek huruf 90,64% dan laki-laki 95,87%, jelas menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam perjuangan para perempuan untuk mendapatkan akses yang setara pada pendidikan.

Perjuangan perempuan terus berlanjut karena masih ada beberapa tantangan yang perlu diatasi, seperti kesenjangan regional dalam akses pendidikan dan tanggung jawab rumah tangga yang kadang-kadang menghambat perempuan dalam mengejar pendidikan yang lebih tinggi. Namun, dibalik tantangan yang harus dihadapi, perjuangan ini telah mencapai banyak pencapaian penting dalam beberapa dekade terakhir. Meskipun tantangannya besar, perubahan positif dapat dicapai melalui kerja sama dan kesadaran masyarakat terhadap dampak negatif budaya patriarki terhadap pendidikan bagi perempuan.

Perubahan positif dalam pandangan masyarakat terhadap pendidikan perempuan adalah kunci untuk meningkatkan akses pendidikan. Edukasi mengenai pentingnya pendidikan harus diberikan terutama kepada masyarakat kalangan bawah. Penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan keluarga bahwa pendidikan adalah hak asasi manusia yang tidak boleh dibatasi berdasarkan jenis kelamin. Semua perjuangan yang dilakukan bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil tanpa memandang gender.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image