Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Surya Ramayani

Perundungan Anak Terus Terjadi: Tinjauan Kritis terhadap Sistem Pendidikan Sekuler

Agama | 2025-07-29 14:58:25
Sumber Ilustrasi : iStock.

Akhir–akhir ini perundungan (bullying) pada anak-anak dan remaja di Indonesia terus meningkat dan menyentuh seluruh jenjang pendidikan, dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Fenomena ini tidak hanya menjadi persoalan psikososial, tetapi mencerminkan kegagalan sistem pendidikan nasional dalam membentuk karakter mulia generasi muda.

Perundungan di kalangan anak-anak dan remaja Indonesia bukan lagi kasus yang muncul sesekali, tetapi sudah menjadi masalah yang meluas dan mengkhawatirkan. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat bahwa kasus perundungan di lingkungan pendidikan cenderung meningkat tiap tahunnya, dengan bentuk yang semakin kompleks, mulai dari verbal, fisik, hingga digital. Mirisnya, kasus ini tak lagi terbatas pada remaja tingkat SMA atau SMP, tetapi sudah merambah anak-anak usia Sekolah Dasar. Hal ini mencerminkan bahwa kualitas dan karakter anak – anak saat ini semakin menurun akibat proses pendidikan yang tidak efektif.

Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan klaim pemerintah dalam mencetak "generasi emas 2045", yaitu generasi yang unggul secara kompetensi dan karakter. Namun, bukan mencetak insan cerdas berakhlak mulia, sistem pendidikan saat ini justru semakin menjauh dari esensi pembentukan kepribadian yang utuh.

Fenomena Perundungan: Gejala Krisis Kepribadian Generasi Muda

Perundungan adalah bentuk kekerasan yang melibatkan ketimpangan kekuasaan antara pelaku dan korban, sering kali berulang dan menyebabkan dampak psikologis jangka panjang. Studi dari Plan International dan UNICEF Indonesia (2021) menunjukkan bahwa 3 dari 5 anak di Indonesia pernah mengalami perundungan, baik secara langsung maupun daring.

Fenomena ini menandakan bukan sekadar kegagalan pengawasan atau lemahnya sanksi, tetapi lebih dalam: terjadinya krisis kepribadian pada generasi muda. Karakter seperti empati, tanggung jawab, dan akhlak mulia yang seharusnya menjadi buah dari proses Pendidikan, namun tidak terbentuk secara utuh. Anak-anak dan remaja cenderung meniru perilaku yang mereka konsumsi dari media dan lingkungan sosial yang serba bebas tanpa aturan.

Sekularisme dalam Kurikulum: Akar Masalah yang Terabaikan

Pendidikan di Indonesia sejak awal berdiri telah dibangun di atas kerangka sekulerisme, yaitu pemisahan antara agama dan kehidupan publik, termasuk pendidikan. Kurikulum yang terus berganti, dari Kurikulum 2006, Kurikulum 2013 hingga Kurikulum Merdeka, semuanya tetap berlandaskan pada asas sekuler. Pendidikan agama hanya ditempatkan sebagai pelengkap formal, bukan sebagai pondasi pembentuk kepribadian.

Sekulerisme dalam pendidikan menciptakan anak didik yang cerdas secara akademik namun miskin secara ruhiyah dan moral. Mereka dibekali sains dan teknologi, tetapi tidak dengan nilai-nilai Islam yang mengakar dan mengarahkan perilaku. Di sinilah muncul anak–anak tidak memiliki panduan yang jelas tentang bagaimana menjalani hidup dengan benar, yang menjadikan sebagian siswa bertindak agresif, individualistik, atau permisif.

Dalam Islam, pendidikan (tarbiyah) bertujuan membentuk manusia bertakwa dan berkepribadian Islam. Tujuan ini tidak akan tercapai tanpa asas ideologis yang benar, yaitu Islam. Maka, menjadikan kurikulum sekuler sebagai dasar pendidikan adalah bentuk pengabaian terhadap misi pendidikan Islam itu sendiri (An-Nabhani, Nizhamul Islam, 1953).

Sekolah Islam Tanpa Islam Kaffah: Solusi Setengah Hati

Maraknya sekolah berlabel Islam tidak serta merta menjamin pembentukan karakter Islami. Banyak sekolah Islam yang hanya menambahkan hafalan Qur'an atau pelajaran fiqih, namun tetap menjadikan kurikulum nasional (yang sekuler) sebagai rujukan utama. Akibatnya, nilai-nilai Islam tidak menjadi paradigma berpikir dan bertindak siswa.

Islam tidak cukup diajarkan sebagai pelajaran, melainkan harus menjadi asas pendidikan. Dalam perspektif Islam, pembentukan kepribadian (syakhsiyyah) adalah integrasi antara pola pikir Islami (aqliyah islamiyah) dan pola jiwa Islami (nafsiyah islamiyah). Hal ini hanya bisa terwujud jika seluruh aspek kurikulum dibangun dari akidah Islam.

Solusi Islam: Kurikulum Islam Berbasis Aqidah

Islam memiliki sistem pendidikan yang yang utuh, yang mencakup pembentuka akal, ruhiyah, dan akhlak secara bersamaan dan terbukti membentuk generasi unggul seperti para sahabat, tabi’in, dan ulama klasik. Dalam pandangan Taqiyuddin An-Nabhani, pendidikan Islam bertumpu pada pembentukan kepribadian Islam melalui penanaman tsaqafah Islam dan sains yang sesuai dengan pandangan hidup Islam. Anak-anak tidak boleh diajarkan tsaqafah asing sebelum mereka matang secara pemahaman Islam (An-Nabhani, Nizhamul Islam).

Di dalam sistem Islam, pendidikan dasar hingga setingkat SMA difokuskan pada penanaman tsaqafah Islam: aqidah, akhlak, fiqh, sirah, tafsir, hadits, dan bahasa Arab. Sains modern tetap diajarkan, tetapi dalam kerangka pandangan hidup Islam, bukan mengikuti pola pikir Barat yang memisahkan ilmu dari nilai – nilai keimanan. Dengan pendekatan ini, siswa tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki keteguhan iman dan moral.

Khilafah: Sistem Politik Penjamin Pendidikan Kaffah

Sistem Khilafah bukan sekadar sistem pemerintahan, tetapi institusi yang bertugas menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Dalam sejarahnya, Khilafah Islamiyah telah melahirkan ribuan ulama, ilmuwan, dan pemikir besar karena sistem pendidikannya berbasis Islam dan didukung penuh oleh negara.

Negara Khilafah menjamin pendidikan gratis dan berkualitas untuk seluruh warganya, tanpa diskriminasi. Kurikulumnya disusun berdasarkan aqidah Islam, bukan tekanan global atau tuntutan pasar. Guru dididik bukan hanya sebagai pengajar, tetapi sebagai murabbi (pembina ruhaniyah dan akhlak). Sistem ini terbukti berhasil membentuk generasi yang berani, jujur, dan mencintai ilmu, seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, Al-Ghazali, dan lain-lain

Urgensi Kebangkitan Intelektual Muslim

Sebagai kelompok yang memiliki akses pada ilmu dan wacana global, intelektual Muslim memegang peran penting dalam mengarahkan opini publik. Sudah saatnya mereka tidak lagi larut dalam narasi reformasi pendidikan sekuler, tetapi menjadi pionir kebangkitan pendidikan Islam kaffah. Hal ini menuntut keberanian untuk keluar dari jebakan pragmatisme dan liberalisme pemikiran.

Diskursus ilmiah dan advokasi tentang pentingnya sistem pendidikan Islam perlu dikembangkan dalam forum akademik, jurnal ilmiah, maupun ruang-ruang publik. Kesadaran ini juga harus dibarengi dengan upaya membangun basis intelektual dan politik yang mendukung tegaknya sistem Islam sebagai solusi sistemik.

Kesimpulan

Fenomena perundungan anak adalah cermin dari kerusakan sistemik dalam pendidikan sekuler yang telah lama mengabaikan peran agama sebagai asas pembentukan karakter. Gonta-ganti kurikulum tidak akan membawa perubahan fundamental selama asasnya tetap sekuler. Solusi Islam bukan sekadar alternatif, tetapi satu-satunya jalan yang menjamin lahirnya generasi mulia, tangguh, dan berkepribadian Islam. Penerapan kurikulum Islam kaffah dalam naungan Khilafah adalah keniscayaan bagi kebangkitan umat. Kini, saatnya intelektual Muslim mengambil peran strategis dalam menyuarakan dan memperjuangkannya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image