Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Acep Mujib Ichlasul Amal

Dilema Armenia dalam Konflik Nagorno-Karabakh

Info Terkini | 2023-10-05 19:24:40
Ilustrasi Sebuah Kehancuran Sebuah Kota Akibat Konflik (pixabay.com)

Nagorno-Karabakh merupakan sebuah wilayah yang secara resmi diakui oleh dunia internasional sebagai bagian dari Azerbaijan. Wilayah tersebut memiliki persentase penduduk dengan mayoritas etnis Armenia di dalamnya. Dalam perkembangannya, mayoritas etnis Armenia yang berada di wilayah tersebut menuntut untuk mengambil alih pemerintahan yang pada akhirnya memutuskan untuk mendeklarasikan kemerdekaan dari Azerbaijan. Deklarasi tersebut dibarengi dengan keputusan mayoritas etnis Armenia yang akan bergabung dengan Armenia di masa depan.

Masalah etnis menjadi hal yang penting dalam perjalanan konflik ini. Dua etnis besar yang hidup di wilayah Nagorno-Karabakh yaitu etnis Armenia dan etnis Azerbaijan memiliki kepentingan masing-masing terhadap wilayahnya. Sebagai respon atas deklarasi kemerdekaan tersebut, pada tahun 1988 pecahlah perang antara Armenia dengan Azerbaijan.

Perang tersebut telah berlangsung lama dan memakan korban jiwa yang sangat besar di kedua belah pihak. Kepentingan Azerbaijan untuk mempertahankan wilayahnya dan Armenia membela etnisnya yang berada di Nagorno-Karabakh menjadi landasan bagi kedua belah pihak untuk saling bertempur memperebutkan hak atas wilayah tersebut. Dalam hubungan internasional, kepentingan nasional menjadi instrumen paling penting yang harus diraih oleh suatu negara dalam sistem dunia yang anarki. Maka dari itu, Nagorno-Karabakh menjadi isu penting yang perlu dicapai oleh kedua belah pihak yang tengah bertikai, yaitu Azerbaijan dan Armenia.

Pada tahun 1994, pada akhirnya tercapai gencatan senjata antara Azerbaijan dan Armenia yang mencoba mengakhiri pertikaian diantara kedua belah pihak. Meski demikian, beberapa bentrokan kerap terjadi antara kedua belah pihak yang menandakan bahwa gencatan senjata tersebut tidaklah berhasil. Rusia menjadi penengah dalam konflik tersebut dengan mengirimkan pasukan perdamaian di wilayah Nagorno-Karabakh.

Baik Armenia maupun Azerbaijan merupakan negara bekas pecahan Uni Soviet. Kedua negara tersebut mewarisi wilayah bekas pecahan Uni Soviet yang memperebutkan batas-batas negaranya masing-masing. Armenia kemudian tergabung dalam CSTO yang merupakan organisasi kolektif yang dipimpin oleh Rusia.

Berdasarkan aturan dalam organisasi tersebut, apabila salah satu negara anggota diserang, maka negara anggota yang lainnya memiliki kewajiban untuk ikut membantu negara yang diserang tersebut. Dalam Konflik Nagorno-Karabakh, Armenia yang merupakan anggota dari organisasi keamanan kolektif CSTO tidak pernah mendapatkan dukungan dan bantuan dari negara-negara anggota yang lainnya, termasuk Rusia.

Konflik yang telah berlangsung cukup lama tersebut menjadikan Armenia hanya berdiri sendiri tanpa bantuan dari negara-negara anggota CSTO. Hal inilah yang kemudian menjadikan Armenia dilema, apakah terus bergabung dengan aliansi CSTO yang tidak memberikan bantuan dalam menjaga keamanan negaranya, atau keluar dari organisasi tersebut dan mencari aliansi yang baru.

Perdana Menteri Armenia, Nikol Pashinian kerap memberikan kritiknya terhadap CSTO yang tidak memberikan bantuan kepada Armenia dalam menghadapi Azerbaijan terkait dengan Nagorno-Karabakh. Ia menuturkan bahwa Armenia menjadi pihak yang selalu sendirian dalam menghadapi konflik tersebut dan mulai mengindikasikan untuk keluar dari organisasi CSTO tersebut.

Dilema yang dihadapi oleh Armenia dalam konflik Nagorno-Karabakh, Armenia harus membuat keputusan secara cepat untuk menarik dukungan internasional dalam konflik Nagorno-Karabakh. Armenia sangat membutuhkan dukungan di sektor keamanan untuk membendung Azerbaijan yang memiliki kekuatan di atas Armenia. Secara tidak langsung, Armenia memiliki keinginan untuk keluar dari organisasi CSTO dan mulai menjalin kerjasama dengan pihak Barat, salah satunya Amerika Serikat. Hal ini terbukti ketika Armenia meminta Amerika Serikat untuk ikut terlibat dalam penyelesaian konflik Nagorno-Karabakh dan melakukan latihan militer bersama. Disisi lain, Armenia terus mendapat tekanan dari pihak Rusia untuk tidak melakukan tindakan macam-macam dan terus menuruti apa yang dilakukan oleh Rusia. Dalam hal ini, Armenia mengalami dua dilema besar, keluar dari CSTO dan bergabung dengan aliansi Barat yang berisiko memicu kemarahan Rusia yang akan berakhir menjadikan Armenia seperti Ukraina, atau tetap berada di CSTO dan menjalin kerjasama dengan Rusia namun ditinggalkan sendirian dalam konflik Nagorno-Karabakh.

Menghadapi dilema tersebut, menurut penulis Armenia harus memiliki keputusan yang berani yang mengedepankan kepentingan nasionalnya. Armenia harus menjadi aktor yang dapat “mendayung diantara dua karang” dengan tujuan untuk mendapatkan kekuatan yang dapat membendung Azerbaijan dalam konflik Nagorno-Karabakh. Armenia perlu menjalin hubungan yang baik dengan Amerika Serikat dengan harapan agar negara tersebut dapat membantu Armenia dalam konflik Nagorno-Karabakh. Disisi lain, Armenia juga perlu untuk menjaga hubungan baik dengan pihak Rusia untuk tetap menjaga negara tersebut agar tidak berakhir seperti Ukraina. Hal ini diharapkan agar Armenia dapat terus bertahan dalam menghadapi konflik Nagorno-Karabakh dengan Azerbaijan.***

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image