Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dimas Muhammad Erlangga

Hukum Harus Jadi Panglima yang Mengendalikan Politik dan Ekonomi

Politik | Tuesday, 03 Oct 2023, 11:11 WIB

Politik Indonesia sejak pemilu 2019 mengalami polarisasi sangat tajam. Kondisi itu makin diperparah oleh Pilkada DKI Jakarta 2017.

Dalam batas tertentu, polarisasi politik itu wajar, sepanjang berkompetisi untuk kemajuan Indonesia. Namun, jika polarisasi itu mengarah kompetisi yang saling merusak dan mengancam persatuan nasional, tentu itu sudah di luar batas wajar.

Sementara di sisi lain, bangsa ini tengah berhadapan dengan banyak tantangan. Mulai dari soal ketimpangan sosial-ekonomi, penurunan daya beli rakyat marhaen, dan pemenuhan hak dasar.

Kondisi nasional tidak terlepas dari pengaruh ekonomi politik global. Pergantian kepemimpinan di beberapa negara, seperti di Amerika Serikat dan Eropa, telah merubah kebijakan politik negara ke kondisi “ekstrem”.

Dalam suasana itu percaturan Indonesia berada dan mempengaruhi kondisi ekonomi politik nasional. Suasana pra pemilu serentak 2024 telah terasa. Memang blok politik menjadi suatu keniscayaan. Polarisasi kekuatan politik turut mewarnai konfigurasi politik yang bersifat dinamis. Apalagi dalam politik kepartaian saat ini, seluruh pendulum perubahan selalu bermuara dari partai politik.

Problem bangsa saat ini adalah, pertama, leadership para penguasa. Dalam arti nilai kepemimpinan yang berwatak Indonesia. Yaitu seorang pemimpin yang cinta Tanah Air, pejuang, memahami nilai sosial budaya bangsa, jujur, dan amanah.

Kedua, penerapan Dasar Negara, Pancasila, yang tidak konsisten ke dalam aspek kehidupan bernegara (ekonomi, sosial, politik, dan budaya). Praktek ekonomi tidak Sosialisme Pancasila. Lebih ke paham liberalisme-kapitalisme. Padahal sistem ekonomi Pancasila lebih dekat ke paham sosialisme. Oleh Mohammad Hatta disebut sosialisme religius, karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama.

Ketiga, struktur ekonomi dan penguasaan aset masih diskriminatif dan tidak adil sehingga menyebabkan ketidakadilan dan kemiskinan struktural menjadi hal krusial bangsa.
Keempat, problem suku, agama, ras, antar golongan (SARA) masih menjadi taken for granted bangsa yang berpotensi menjadi faktor potensial konflik inheren. Cara mengelola dan membuat program praksis harus memperkuat integrasi nasional.

Kelima, membangun watak masyarakat Indonesia yang unggul dalam menghadapi kompetisi global melalui jalur pendidikan dan kebudayaan yang memcerdaskan.

Di DPR tidak ada kekuatan oposisi. PKS, dan Partai Demokrat, meskipun tidak masuk di partai politik pendukung pemerintah, namun tidak dapat dikatakan sebagai kekuatan oposisi di parlemen. Karena, pertama, seluruh anggota DPR menjalankan fungsi pengawasan. Justru di beberapa kasus parpol pendukung pemerintah mengkritik keras kebijakan pemerintah. Alasannya sebagai tanggungjawab agar clean and clear goverment. Kedua, mekanisme kontrol di parlemen bersifat tematis/komisional.

Kelemahan mendasar bagi parpol di luar pemerintahan bahkan diluar parlemen adalah tidak solid dan tidak sistematis menjalankan fungsi pengawasan. Bahkan kurang kencang menyuarakan gak gak dasar masyarakat. Kekuatan oposisi bisa dibangun atas dasar kepentingan.

sikap wisdom, berbesar hati dan penuh kearifan oleh pimpinan parpol adalah kunci utama membangun komitmen kebangsaan. Hukum harus sebagai panglima yang mengendalikan politik dan ekonomi. Artinya proses ekonomi, politik, dan kebangsaan harus berjalan di atas rel hukum. Hukum harus adil. Jika hukum dibawah ketiak politik atau ekonomi, maka jalan terjal demokrasi akan kita lalui tanpa ujung.

Indonesia harus menjadi bangsa bermartabat, kuat, dan mampu membangun peradabannya yang unggul. Rakyat Indonesia adalah manusia unggul. Makanya perlu pengembangan watak dan kepribadian Indonesia sesuai Cita Cita Trisakti Sukarno.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image