Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Cut Putri Cory

Untukmu Ibu Pekerja: Duduklah Tenang, Sebentar

Parenting | Sunday, 01 Oct 2023, 21:58 WIB

Ada jari jemari mungil yang senantiasa menanti genggaman tanganmu. Sekuat apapun kau mengecewakannya, mereka tetap menunggu kelembutanmu memeluk mereka. Sekuat-kuat kau merasakan kekosongan sejak membuatnya merasa terabaikan, mereka punya energi yang lebih kuat untuk memaafkan dan tetap memohon senyumanmu untuknya.

______________

Oleh: Cut Putri CorySekali waktu, duduklah sebentar. Rasakan emosi yang naik turun itu. Hayati betul rasa bersalah dan kepanikan demi kepanikan itu. Lihatlah dari tempat dudukmu itu, tadi saat pagi buta, matahari belum keluar dari selimut malam. Kau bergegas bahkan belum sempat kau berpikir, gerak badanmu mendahului akal. Kau bangkit dengan segudang aktivitas sebelum kemudian menceburkan diri dalam dunia kerja. Entah di kantor, di pasar, ada bekerja dari rumah, aktivitas itu tetap saja merenggut energi dan fokus.

Kadang kita merasa bisa melakukan banyak hal, dan memang fakta membuktikan kita berhasil melakukannya. Kita bisa menyiapkan makanan sebelum suami dan anak-anak beraktivitas, pun kita tetap sempurna menunaikan amanah dalam mencari pundi-pundi ekonomi. Bahkan setelah bekerja, kita bisa saja kembali memaksa badan untuk tersenyum dan menyempatkan berdiskusi dengan bocah-bocah kecil yang menunggu kita.

Tapi pertanyaannya, apakah kita bahagia?

Adakah lega dalam ketergesa-gesaan? Adakah ketenangan dalam kepanikan? Sebaik-baik kita merencanakan, namun kita tahu betul bahwa itu semua tak mudah untuk berjalan sempurna, sesempurna efek pada stabilitas rasa dan rasio kita. Sehingga tak ada yang minus, tak ada yang "terluka" karena tersia-sia atau terlupa.
Adakah kelembutan itu mulai terkikis perlahan?

Saat badan letih yang dipaksa bekerja ini meminta haknya untuk berbaring, namun masih ada setumpuk kewajiban yang belum ditunaikan tersebab kemubahan memakan waktu kita dengan porsi yang begitu besar di jam-jam produktif.

Ada, ada hati kecil yang terluka. Ada senyum mungil ikhlas yang terabaikan. Ada kalimatnya yang terlewat dari pendengaran. Ada perut lapar yang tertunda. Ada banyak lagi.. Banyak lagi.
Lihat, duduklah sebentar. Tenang. Sekarang tutup matamu. Rasakan dengan tarikan nafasmu, betapa kau dalam guyuran nikmat yang tak terhitung. Bahkan saat nafas itu kau hembuskan, nikmat itu tak meninggalkanmu.

Ada jari jemari mungil yang senantiasa menanti genggaman tanganmu. Sekuat apapun kau mengecewakannya, mereka tetap menunggu kelembutanmu memeluk mereka. Sekuat-kuat kau merasakan kekosongan sejak membuatnya merasa terabaikan, mereka punya energi yang lebih kuat untuk memaafkan dan tetap memohon senyumanmu untuknya.

Ada rumah tempat kenangan dan semua pengalaman bersama. Merasakan susah dan senang, dari hanya berdua sampai bersekian jumlah keluarga kecilmu. Ada memori indah yang selama ini luput kau syukuri. Sampai di sini, tetaplah duduk tenang, dan tetap bernafas sambil bersyukur.

Memang apa yang menjadi bebanmu itu tak mudah. Tapi satu hal yang harus kita pahami adalah bahwa kita dikondisikan oleh sistem kapitalisme yang hari ini dipakai untuk mengatur kehidupan. Kita terpola untuk menjadi seperti ini, karena memang kemiskinan sistemik begitu merebak, atau karena "gila mengejar karir".

Keduanya merupakan dampak sistemik.
Sekularisme yang menjadi ruh dari sistem ini menjadikan kita tak memandang penting nilai Ibu. Ya, Ibu tak lebih dari benalu yang tak produktif karena bukan penghasil rupiah. Padahal Islam begitu memuliakannya dan mendesain peran Ibu sebagai posisi strategis untuk pembangunan peradaban. Islam memandang tugas Ibu adalah tugas peradaban.

Kita harus sadari ini, kenapa? Karena di balik pertanyaan "apakah kita bahagia" itu terdapat jawaban yang terkait dengan sistem terapan hari ini. Islam tak melarang kita untuk bekerja, tapi dalam sistem Islam, kita bekerja semata untuk membagi ilmu dan menyalurkan hobi. Sedangkan sistem kapitalisme ini beda, bertentangan dengan mekanisme Islam memuliakan perempuan.

Sistem ini menjadikan kita bekerja karena kepayahan hidup, jika kita tak bekerja maka mahalnya hidup dalam sistem kapitalisme ini takkan mampu terbayar oleh kita. Alasan lain yang lebih parah dari itu adalah saat Ibu keluar meninggalkan rumahnya semata demi prestise, terpapar liberalisme yang menjadi ruh dari feminisme, atau semata untuk melayani hedonisme. Ini pun adalah juga dampak sistemik. Siapa korbannya? Kita, dan para bocah yang berada dalam naungan kita itu.

Sekarang coba tetap tenang dan tetaplah duduk sambil mengatur nafas. Akan kuberi tahu satu rahasia yang mungkin belum pernah kau mendengarnya. Pasang telinga dan perhatikan setiap kata-kataku. "Islam memuliakanmu, dan dia akan tegak sebagai sistem hidup yang akan menyelamatkanmu. Kau hanya perlu sedikit bersabar, bergabung dengan para Muslimah intelektual yang melayani Islam dengan dakwahnya. Terus pelajari Islam, dakwahkan Islam, dan lihatlah masa depan dengan kaca mata Islam. Kemenangan itu dijanjikan Allah sebagai milik kita. Apa ada celah ragu jika yang berjanji adalah Allah Rabb Penguasa Langit dan Bumi?"

Ini bisyarah namanya. Ini seperti air teduh di tengah terik. Inilah yang menghibur kita atas semua kebahagiaan semua yang selama ini kita kira merupakan yang hakiki. Bisyarah (kabar gembira) inilah yang merupakan jawaban dari semua kepayahan dan perjuangan kita selama ini.

Bertahanlah. Bertahan dalam dakwah dan terus mengkaji Islam kaffah, bertahan tetap di situ. Sungguh bersabarmu sebentar dan kita akan saksikan kemenangan sebentar lagi.
Anak-anak yang berada dalam naungan kita. Paksakan dirimu untuk mendidiknya, karena ini kewajiban yang kelak akan Allah pertanyakan. Memang kita tak sempurna, tapi Allah menyaksikan bagaimana kita menafikan letihnya badan demi mengajari mereka alif ba ta. Bersabarlah, Ibu Pekerja. Tetap bernafas, dan jaga rasionalitas. Jangan menghindari jamaah dakwah karena kesibukanmu, gigitlah akar pohon jamaah itu. Berpegangan yang kuat kepada jamaah, karena bersendirian kau takkan kuat.[]

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image