Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Furqan Jurdi

La Nyalla dengan Agenda Kembali Ke UUD 1945

Politik | Friday, 29 Sep 2023, 20:41 WIB
Furqan Jurdi :Ketua Umum Perhimpunan Pemuda Madani (dok.pribadi)

Penulis: Furqan Jurdi
Republika.co.id - Kita patut memuji La Nyalla Mahmud Mattalitti, ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) itu. Prinsipnya untuk kembali Ke UUD 1945 yang asli tidak surut meskipun sebagian besar pimpinan lembaga-lembaga negara masih apatis tentang konsep kembali ke UUD 1945.

Dalam semua agendanya La Nyalla konsisten untuk mendorong kembali ke UUD 1945 yang disempurnakan dengan adendum. Dalam pidato Resmi kenegaraan 17 Agustus 2023, dalam pertemuan dengan PP Muhammadiyah, ketika menerima forum doktor di Gedung Parlemen, menerima perwakilan berbagai masyarakat dan berbagai kegiatan lainnya, La Nyalla tegas mengatakan tekadnya kembali ke UUD 1945. Kita patut memuji itu, meskipun masih banyak perdebatan dan perbedaan pendapat.

Kenapa harus dipuji? Bukankah amandemen UUD 1945 adalah bagian dari cita-cita reformasi? Apakah kita mau mundur kembali ke rezim otoriter? Apakah kita ingin mengembalikan kedaulatan di tangan Majelis Pemusyawaratan Rakyat? Apakah kita ingin menghapus lagi pasal-pasal tentang Hak Asasi Manusia? Apakah kita ingin masa jabatan Presiden tidak terbatas? Apakah kita ingin mengembalikan pemilihan Presiden ke tangan MPR?

Pertanyaan-perntanyaan itu sebenarnya tidak terlalu sulit untuk di Jawab. Sebab sudah banyak argumentasi yang berkembang di komunitas aktivis senior, para akademisi, kaum intelektual yang mengkaji secara konsisten mengenai konsep kembali ke UUD 1945. Kembali Ke UUD 1945 adalah mengembalikan seluruh naskah aslinya yang dirumuskan oleh BPUPK dan PPKI yang disahkan pada 18 Agustus 1945 dan kembali berlaku setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Tidak ada yang bahaya dari konsep kembali ke UUD 1945, sebab UUD yang berlaku sekarang ini Menurut Prof Jimly Asshiddiqie (Hukumonline.com: 2000) tidak boleh lagi disebut UUD 1945, melainkan harus disebut UUD 2000. Kenapa? Karena UUD itu telah diubah lebih dari 90 persen. Artinya naskah Asli UUD 1945 itu hampir seluruhnya diubah.

Naskah UUD 1945 itu adalah spirit proklamasi kemerdekaan Indonesia dengan semangat menghapus penjajahan dan membentuk negara sendiri yang merdeka dan berdaulat. Naskah Kemerdekaan itu seharusnya tetap otentik, tidak boleh di rubah dan diganti, hanya boleh disempurnakan.

Betul bahwa UUD 1945 memberikan kewenangan kepada MPR untuk melakukan Amandemen (Perubahan) UUD 1945 melalui pasal 37. Kewenangan inilah yang digunakan oleh MPR tahun periode 1999-2004 untuk melakukan perubahan konstitusi seluruhnya.

Apakah itu keliru? Tentu akan banyak perdebatan keliru atau tidaknya. Tetapi substansi perubahan UUD 1945 itu seharusnya untuk terwujudnya cita-cita Indonesia Merdeka yang diinginkan oleh perumus UUD 1945 itu. Artinya amandemen yang dimaksud adalah menyempurnakan bukan merubah dan mengganti klausul dalam Naskah Aslinya sepeti yang terjadi tahun 1999-2002 itu.

Betul, salah satu tuntutan reformasi adalah amandemen UUD 1945. Tetapi UUD 1945 adalah naskah Indonesia Merdeka tidak lahir untuk sekedar mengakomodir tuntutan reformasi. Karena reformasi hanyalah kebaruan (pembaharuan) yang dalam hukum perubahan itu pasti akan terjadi. Berbeda dengan kemerdekaan, merdeka adalah keluar dari segala macam kegelapan, kesengsaraan, kemeralatan, perbudakan menuju pada cahaya kemajuan, kemakmuran, dan kebebebasan.

Dari konteks itu perubahan (atau reformasi) bisa dilakukan melalui sirkulasi kekuasaan (elit), pembaharuan hukum, bukan mengganti. Berbeda dengan kemerdekaan hanya bisa dicapai dalam perjuangan hidup dan mati, seperti seorang Ibu yang melahirkan anak, bahwa kelahiran anak itu ada konsekuensi yang harus di terima, antara ibu itu mati anaknya hidup, anaknya mati ibunya hidup, dan atau dua-duanya mati dan atau dua-duanya hidup. Jadi kemerdekaan lahir satu kali dan tidak akan terulang kembali. Dalam kelahiran itulah konstitusi dibuat, sebagai petunjuk bagi seorang anak untuk berjalan kedepan.

Landasan dan pedoman menjalankan Indonesia merdeka itu yang dirubah total pada periode tahun 1999-2002. Periode amandemen UUD 1945 menjadi UUD 2002. Tidak ada yang menyangka bahwa perubahan itu justru menjadi problem yang cukup serius pasca reformasi.

UUD 2002 telah melucuti kewenangan MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang didesain oleh pendiri bangsa melalui falsafah “kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.

Kata Hikmat mengandung makna: pemahaman dan pengetahuan yang mendalam tentang fenomena dan orang. Permusyawaratan itu adalah konsep kekeluargaan, bahwa orang yang bermusyawarah memiliki pemahaman, pengertian dan pengetahuan antara masing-masing mereka.

Kata Hikmah maupun Hikmat dalam bahasa Arab secara Etimologi berasal dari kata Hakamat, yang berarti tali kekang, yang dapat mengontrol kuda dan mencegahnya berlari secara brutal. (Lisanul Arab: 246). Begitu juga makna Hikmah berasal dari kata Hakamah, yaitu melarang dan menghalangi (Hidayatullah.com: 2017)

Kalau dikontekskan dalam makna sila keempat, yaitu permusyawaratan, maka permusyawaratan itu untuk mencegah, menghalangi dan mengontrol orang-orang dizalim atau yang berpotensi berbuat kedzaliman berkuasa di Indonesia.

Dalam makna yang paling baru, Hikmat itu untuk mencegah para tiran, para despotik, para kleptokrat berkuasa. Mencegah orang-orang populer karena pencitraan untuk mengambil panggung kemudian diberi jalan memimpin tanpa pengalaman, tanpa Leadership, hanya bermodal ketenaran dan pencitraan.

Dalam pendekatan Daniel Zibblat dan Steven Levitsky (How Democracy Die?: 2016) “Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan itu” sebagai “penjaga Gerbang” agar orang-orang populer yang miskin nurani seperti Hitler di Jerman, Mussolini di Italia, Hugo Chavez di Venezuela tidak memperoleh kekuasaan. Demokrasi tidak bisa mencegah itu, hanya bisa dicegah dengan cara bermusyawarah dengan hikmat dan kebijaksanaan.

Perubahan UUD 1945 ke UUD 2002 telah menyerahkan segalanya pada pemilihan massa (pemilihan langsung). Sehingga esensi dari “kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawatan Perwakilan” diserahkan sepenuhnya pada massa. Pemilihan Massa Menurut Robert Michael (Political Parties: 1987) adalah sesuatu yang tidak mungkin. Menyerahkan pemilihan pada massa secara langsung akan menimbulkan kekacauan dan anarkisme.

Pemilu 2019 adalah kegagalan sistem pemilihan langsung, selain memakan korban jiwa, Lebih 500 orang mati kelelahan, juga membuat bangsa ini terbelah cukup serius. Rakyat berkelahi tentang orang yang tidak mereka kenal. Dan perkelahian itu membuat anak bangsa saling curiga. Ini sangat membekas dan berbahaya bagi keutuhan NKRI.

Kita telah menyuruh rakyat memilih langsung pemimpinnya tanpa mengetahui siapa pemimpin itu, darimana dia berasal, apa yang telah dia lakukan, apa kemampuan yang dimilikinya. Hanya bermodalkan ketenaran dan pencitraan seseorang dapat menjadi apa saja, cukup dengan uang dan media, meskipun tidak memiliki pengalaman kepemimpinan untuk memimpin bangsa dan negara.

Ketidaktahuan rakyat inilah yang dimanfaatkan oleh para politisi untuk menggunakan uang lewat bandar-bandar politik dengan hubungan timbal balik, yaitu politisi menggunakan kekuasaan untuk merawat oligarki dan oligarki merawat kekuasaan dengan uang. Kompensasinya “bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara” dan digunakan oleh negara untuk kepentingan oligarki.

Fenomena itulah yang terjadi di Sulawesi Tenggara, di Gorontalo, di Rampang Kepulauan Riau, di Kalimantan, di Papua dan di tempat-tempat lain. Dimana konflik agraria begitu banyak terjadi belakangan ini, dan begitu banyak korban dalam konflik itu. Yang menyedihkan dari konflik selalu antara rakyat dan pengusaha. Sedihnya lagi, negara melalui aparat, menjaga pengusaha dengan menggempur rakyat yang mempertahankan tanah san tempat tinggal mereka.

Selain itu, pemilihan langsung memiliki biaya yang cukup besar, 76,8 Triliun Rupiah anggaran dibutuhkan untuk pemilihan umum 2024. Belum tentu yang dipilih itu bekerja untuk rakyat. Menghabiskan uang sebesar itu hanya melahirkan pemimpin yang menyusahkan rakyat tentu adalah kebodohan. Korupsi, kolusi, nepotisme merajalela hari-hari ini. Mereka itu orang yang dihasilkan dari pemilu yang mahal itu.

Sampai disini saya sepakat 100 persen dengan harapan La Nyalla bersama aktivis-aktivis Senior, akademisi dan tokoh masyarakat, tokoh Agama, yang mendukung kembali ke UUD 1945. Mengutip la Nyalla, bahwa “kita tidak bisa menyalahkan siapapun termasuk Presiden Jokowi atas apa yang kita alami sekarang ini, kita harus kembalikan sistem negara dan pemerintahan menurut UUD 1945, bukan UUD 2002.”

Lalu bagaimana cara kembalinya? apakah dengan dekrit? Apakah dengan menggunakan kewenangan MPR atau dengan jalan apa kembali ke UUD 1945 itu? Bagi saya kembali ke UUD 1945 yang lebih aman adalah menggunakan MPR sebagai jalan konstitusionalnya. Karena hanya dengan itu cara yang paling mungkin.

Apakah tidak akan dirubah UUD 1945 itu setelah ditetapkan? Tentu tidak dirubah, tetapi menambah klausul baru, misalnya mengenai jabatan Presiden dan hal-hal lain yang perlu di atur. Contohnya Amerika Serikat, bahwa konstitusi Amerika Tahun 1787 sudah di Amendemen 27 kali tanpa merubah origanalitas teks konstitusi 1787, melainkan menambah klausul dengan cara adendum. Ini seharusnya yang dilakukan oleh MPR tahun 1999-2002 itu.

Untuk membuktikan tekad kembali ke UUD 1945, La Nyalla berkomitmen: “ Kasih saya waktu, kita akan kembali ke UUD 1945” kata La Nyalla di depan para Doktor dan Peofesor yang hadir itu. Kapan waktunya untuk kembali ke UUD 1945 yang Asli? Kita akan menunggu waktu sembari merumuskan langkah kembali itu yang paling aman dan konstitusional seperti pesan PP Muhammadiyah kepada La Nyalla Ketua DPD RI itu saat berkunjung ke Kantor PP Muhammadiyah.


*Penulis Adalah Ketua Umum Perhimpunan Pemuda Madani

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image