Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Harsa Permata

Relasi antara Pengalaman, Rasio, dan Pengetahuan Agama

Sinau | Thursday, 28 Sep 2023, 21:36 WIB
Sumber: https://asset-2.tstatic.net/manado/foto/bank/images/Cerita-Alkitab-Musa-Membela-Laut-Teberau-dan-Berjalan-di-Tengah-Lautan-Bersama-Bangsa-Israel.jpg

A. Pendahuluan

Pengalaman dan rasio adalah dua sumber pengetahuan yang menjadi dasar pengetahuan ilmiah. Selain itu, pengalaman dan rasio juga bisa digunakan untuk memverifikasi kebenaran suatu pengetahuan. Pengalaman lewat metode korepondensi, yaitu, suatu pernyataan pengetahuan adalah benar jika berkesesuaian dengan kenyataan. Misalnya jika ada pernyataan bahwa "Telah terjadi tsunami di pantai", maka untuk membuktikan kebenaran pernyataan tersebut, dibutuhkan sebuah penginderaan langsung, lewat melihat langsung ke tempat terjadinya peristiwa.

Sementara untuk membuktikan kebenaran suatu pernyataan pengetahuan lewat rasio, adalah dengan mencocokkan pernyataan tersebut dengan pernyataan lainnya. Misalnya jika ada pernyataan pengetahuan yang terkait dengan peristiwa sejarah yang sudah lama berlalu, maka untuk membuktikan kebenarannya haruslah melalui cara mencocokkan kesaksian masing-masing pelaku sejarah. Jika pernyataan salah satu pelaku sejarah cocok dengan lainnya, maka pernyataan tersebut adalah benar.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Peter Anthony Bertocci, yaitu bahwa kesimpulan sebuah pemikiran/penalaran logis tidak hanya bersandar pada hubungan antarpremis, melainkan juga bergantung pada fakta kongkrit. Menurut Bertocci, sebuah penalaran memang memiliki nilai penting dalam menguji hubungan antar ide, tetapi untuk mengambil sebuah kesimpulan tidak bisa hanya bersandar pada penalaran (Bertocci, 1956 : 55).

Kombinasi antara keduanya, baik rasio maupun pengalaman, dapat menghasilkan sebuah pengetahuan yang benar dan kebenarannya dapat dipertanggung jawabkan. Akan tetapi, sebuah pengetahuan yang berasal dari pengalaman, rasio, maupun kombinasi antara keduanya tetap mempunyai kemungkinan untuk salah.

Sesuai dengan prinsip relativitas khusus Einstein, yaitu "Hukum-hukum fisika memiliki bentuk yang sama pada semua kerangka acuan inersial” (Karina Dwi Adistiana, 2018, www.blog.ruangguru.com, akses 1 November 2018). Prinsip ini menimbulkan konsekuensi yang disebut sebagai dilatasi waktu, yaitu “saat dua orang yang bergerak dengan pergerakan relatif antara satu dengan yang lainnya, individu lain terlihat bergerak lebih lambat, begitu juga sebaliknya” (Intan Kirana, 2017, www.kincir.com, akses 1 November 2018).

Arti dari prinsip ini adalah bahwa sebuah pernyataan pengetahuan akan berlaku relatif pada setiap orang, tergantung pada ruang dan waktu tempat dia berada. Dalam dunia modern, sebuah pengetahuan akan dipahami jika menggunakan dasar pengalaman dan rasio. Bagaimana posisi pengetahuan agama? Apakah pengetahuan agama bisa dijelaskan lewat sumber pengetahuan pengalaman dan rasio? Apakah pengetahuan agama bisa diverifikasi dengan menggunakan pengalaman, dan rasio? Pertanyaan-pertanyaan ini akan coba dijawab pada bagian berikutnya.

B. Pengetahuan Agama, Pengalaman, dan Rasio

Pengetahuan agama adalah sebuah pengetahuan yang bersifat transendental. Artinya pengetahuan agama adalah terkait dengan hal-hal yang rohaniah. Konsep-konsep dalam agama, seperti Tuhan, malaikat, surga, neraka, hari kiamat, dan lain-lain, adalah bersifat abstrak, dan tidak semua orang bisa melakukan verifikasi empiris terhadap konsep-konsep ini.

Akan tetapi menurut Peter Anthony Bertocci, Koherensi empiris adalah sebuah hubungan yang konsisten antara penalaran dan pengalaman, semua klaim pengetahuan (baik itu pengetahuan ilmiah, estetika, moral, atau agama) tidak bisa dikatakan benar atau salah tanpa berlandaskan pada sebuah koherensi empiris” (Bertocci, 1956:58). Artinya walau bagaimanapun, kebenaran sebuah pengetahuan harus ditentukan oleh korelasi antara pengalaman dan rasio. Hubungan yang konsisten antara pengalaman dan rasio ini disebut olehnya sebagai “koherensi empiris”. Pertanyaannya kemudian, bagaimana kita bisa menguji kebenaran pernyataan-pernyataan dalam pengetahuan agama secara empiris dan rasional?

Secara rasional, sebenarnya sudah ada filsuf abad pertengahan yang mencoba membuktikan keberadaan Tuhan. Thomas Aquinas mengemukakan prinsip yang dinamakan theologia naturalis, yaitu bahwa dengan akal, manusia dapat mengenal Allah, tahu bahwa Allah itu ada, dan juga beberapa sifat-sifat Allah. Pembuktian tentang adanya Allah menurut Thomas Aquinas, hanya dapat dilakukan secara a posteriori, yaitu setelah manusia mengajukan pertanyaan tentang dunia, dan dirinya sendiri (Hadiwijono, 1990 : 106).

Ada 5 bukti tentang adanya Tuhan, menurut Thomas Aquinas, pertama, adanya gerak di dunia, oleh karena itu maka penggerak pertama harus ada, inilah Tuhan. Kedua, adanya hukum sebab-akibat di dunia, untuk itu maka harus ada penyebab pertama (causa prima), penyebab pertama adalah Tuhan. Ketiga, segala sesuatu di dunia bersifat relatif, oleh karena itu maka harus ada sesuatu “yang mutlak”, yang tak tergantung pada apapun, inilah Tuhan. Keempat, ada beragam nilai di dunia, dari mulai yang paling buruk, sampai paling baik, benar, dan salah, untuk itu maka harus ada penyebab semua yang baik, benar, dan mulia, itu adalah Tuhan. Kelima, segala sesuatu memiliki tujuan/arah, oleh karena itu maka harus ada yang mengarahkan, itulah Tuhan (Hadiwijono, 1990 107-108).

Selain itu ada juga usaha untuk merasionalkan pernyataan pengetahuan agama dari Said Nursi, seorang sarjana, aktivis, dan pendiri gerakan Nurcu di Turki. Nursi mencoba untuk menafsirkan ayat-ayat Al Qur'an secara ilmiah. Seperti firman Allah SWT, dalam surat Saba ayat 12, yang berisi, bahwa Tuhan menjadikan angin berada di bawah kendali Sulaiman a.s, supaya bisa melintasi jarah jauh dalam waktu singkat. Menurut Nursi, ini adalah sebuah prediksi penemuan pesawat terbang (sistem penerbangan modern). Contoh lain adalah mukjizat Nabi Musa a.s, yang bisa mengeluarkan air dari bumi, seperti disebutkan dalam surat Al Baqarah ayat 60. Menurut Nursi, isi ayat ini, adalah sebuah prediksi mengenai perkembangan teknik pengeboran modern untuk menggali bahan-bahan tambang, seperti minyak, air mineral dan gas alam (Kalin dalam Peters dkk, 2006 : 112).

Bagaimana dengan pembuktian empiris tentang pernyataan pengetahuan agama? Bagaimana verifikasi empiris bisa diimplementasikan dalam menguji pernyataan-pernyataan agama? Untuk ini, secara ilmiah sudah ada penelitian untuk menjelaskan mengenai pernyataan Musa a.s membelah laut dalam Al Qur'an. Para ilmuwan yang berasal dari National Centre for Atmosphere Research di Calorado Amerika Serikat, seperti yang tertulis di Daily Mail, Rabu 22 September 2010, menemukan bahwa air laut yang tersibak dalam kisah Musa a.s membelah laut itu adalah akibat gerakan angin. Seperti yang dikatakan oleh ketua tim peneliti, Carl Drews, "Membelahnya laut bisa dipahami melalui dinamika fluida. Angin menggerakkan air dengan cara yang sesuai dengan hukum fisika -- menciptakan jalan aman dengan dinding air di dua sisi -- lalu air itu runtuh dan menenggelamkan jalan itu." (Forum.vivanews.com, diakses tanggal 28 Desember 2011, jam 00.17 WIB).

Pertanyaannya kemudian kalaupun itu memang akibat gejala alam atau adanya angin yang membelah laut. Mengapa pada saat itu ada angin? Apakah hanya kebetulan, ataukah sudah ada pengetahuan Musa a.s tentang hal itu sebelumnya, sehingga dengan itu, ia bisa menyelamatkan Bani Israil dari serangan balatentara Fir'aun. Kalau dikatakan sebagai suatu peristiwa yang bersifat kebetulan, mengapa peristiwa kebetulan itu menguntungkan Musa dan Bani Israil, bukan Fir’aun dan balatentaranya?

Selain frase natural selection, dari teori evolusi Charles Darwin, yaitu bahwa Musa dan Bani Israil bisa lolos adalah karena perjuangan mereka sendiri untuk lolos dalam proses seleksi alam. Selain itu argumentasi yang masuk akal terkait dengan kejadian Musa a.s membelah laut, adalah adanya bimbingan dari Tuhan pada Musa a.s, dan Bani Israil untuk membebaskan diri dari kejaran balatentara Fir’aun.

Bimbingan ini tertulis dalam Al Qur’an surat Asy Syua'araa ayat 63, yang berbunyi, "Maka kami wahyukan kepada Musa bahwa pukullah laut itu dengan tongkatmu, lalu laut itu terbelah, dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar" (Adlany dkk, 1999 : 712-713). Surat Asy Syua’araa menjelaskan bahwa Musa a.s dan Bani Israil tidak berjuang sendirian, melainkan dengan panduan Tuhan.

Dalam ayat 61 disebutkan bahwa pengikut Musa a.s yaitu Bani Israil mengira bahwa mereka akan tersusul oleh balatentara Fir’aun, karena mungkin jaraknya begitu dekat dari mereka. Akan tetapi dalam ayat 62 disebutkan bahwa, “Musa berkata, ‘Sekali-kali tidak, sesungguhnya Tuhanku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk padaku” (Adlany dkk, 1999 : 712). Ayat 62 menjelaskan bahwa Musa a.s, telah mengetahui bahwa Tuhan akan menolongnya, pengetahuan ini adalah berdasarkan keyakinan yang dimilikinya.

Ada satu ayat yang terkait dengan perkembang biakan tumbuh-tumbuhan, yaitu penyerbukan melalui angin. Ayat tentang ini adalah Q.S Al Hijr ayat 22 yang berbunyi, “Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya” (Daradjat dkk, 1984 : 26). Secara ilmiah ayat ini telah dijelaskan lewat ilmu biologi, yaitu penyerbukan dengan perantara angin yang disebut sebagai anemogami (

Ada sebuah peristiwa penting dalam sejarah agama Islam, yang secara akal sehat mungkin susah untuk diterima. Peristiwa tersebut adalah Isra’ Mi’raj, yaitu sebuah perjalanan malam hari (Isra’) yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Pada perjalanan ini, Nabi menempuh jarak Mekkah dan Baitul Maqdis, Masjidil Aqsha, hanya dalam beberapa jam. Dari Baitul Maqdis, Nabi naik ke langit menuju ke tempat yang maha tinggi (Mi’raj) (Pamungkas, 1991 : 24).

Ketika Nabi menceritakan peristiwa ini pada penduduk Mekkah, hampir semuanya menertawakan Nabi, dan mengatakan bahwa Nabi sudah tidak waras. Akan tetapi ketika Nabi menggambarkan secara detil kondisi Baitul Maqdis, Masjidil Aqsha, dan puing-puing rumah suci yang dibangun oleh Nabi Sulaiman a.s. Seorang sahabat yaitu Abu Bakar r.a mempercayai cerita itu, karena ia sudah pernah pergi ke Baitul Maqdis, dan ia tahu kondisi sebenarnya di Baitul Maqdis, yang sangat sesuai dengan deskripsi Nabi tentang Baitul Maqdis (Pamungkas, 1991 : 25).

Peristiwa Isra’ Mi’raj, dan percayanya Abu Bakar terhadap pernyataan pengetahuan agama Nabi Muhammad SAW, adalah suatu bentuk uji korespondensi sebuah pengetahuan agama. Deskripsi detil Nabi terhadap kondisi Batitul Maqdis, dan verifikasinya oleh Abu Bakar r.a, menjelaskan bahwa sebuah pernyataan pengetahuan agama bisa dibuktikan secara empiris.

Di sinilah hubungan antara pengetahuan agama dengan sumber pengetahuan pengalaman dan rasio. Agama berdasarkan pada keyakinan, untuk meyakini sesuatu, di zaman modern ini, butuh alasan rasional yang kuat, dan bukti-bukti empiris yang memadai. Sebuah agama yang tidak mendasarkan ajarannya pada pengalaman dan rasio, lama-kelamaan akan ditinggalkan oleh pengikutnya.

C. Penutup

Pengalaman dan rasio adalah sumber pengetahuan utama, dan merupakan dasar dari pengetahuan ilmiah. Sebuah pengetahuan tidak akan memenuhi kriteria ilmiah, jika tidak berdasar pada pengalaman empiris, dan penalaran yang logis. Obyektivitas sebuah pengetahuan, ditentukan oleh konsep-konsep internal yang bisa diuji baik secara empiris, maupun secara rasional.

Pengetahuan agama bersifat otoritatif, yaitu berdasarkan atas kesaksian seorang Nabi yang menerima dan menyebarkan wahyu yang berasal dari Tuhan. Walaupun begitu, pada abad pertengahan sudah ada filsuf yang mencoba memberikan dasar rasional pada konsep Tuhan dalam pengetahuan Agama. Thomas Aquinas, mencoba memberikan lima bukti rasional dari keberadaan Tuhan, sebagai konsep dalam pengetahuan agama.

Pada era modern, yang ditandai dengan antroposentrisme, dan logosentrisme. Usaha untuk melakukan verifikasi empiris terhadap konsep pengetahuan agama, sudah dicoba dilakukan oleh beberapa ilmuwan. Peristiwa Nabi Musa yang membelah laut untuk menciptakan jalan penyelamatan Bani Israil dari kejaran Fir’aun, dulunya dianggap mistis dan tak masuk akal. Akan tetapi setelah penelitian, ditemukan bahwa peristiwa itu memang ada, dan sebuah bukti empiris dan rasional. Peristiwa ini ternyata bisa dijelaskan dengan hukum fisika.

Di sisi lain, agama Islam secara sistemik adalah agama yang bersifat empiris, dan rasional. Ini bisa dilihat dalam ayat-ayat Al Qur’an yang menjadi rujukan utama pengetahuan agama Islam. Hal ini disebabkan oleh kondisi kemasyarakatan Arab secara umum, atau Mekkah khususnya yang memiliki karakter tidak mudah mempercayai sesuatu jika tidak ada bukti empiris yang menyertainya.

Sisi ilmiah ajaran agama Islam, bisa dilihat terutama dari wahyu pertama, yang turun pada bulan Ramadhan, yaitu Q.S Al Alaq ayat 1-5, yang berbunyi, “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang pemurah. Yang mengajari manusia dengan perantaraan kalam (tulisan dan bacaan sebagai kunci pengetahuan agama). Dia mengajari manusia apa yang belum diketahuinya” (Adlany, 1999 : 1256). Peristiwa turunnya wahyu pertama ini kemudian diabadikan dalam Q.S Al Qadr, malam turunnya wahyu pertama ini kemudian disebut sebagai lailatul Qadr, yaitu malam yang lebih baik daripada seribu bulan (Amstrong, 2006 : 87).

Kata Iqra’ atau bacalah adalah sebuah ajakan untuk menggunakan rasio dalam memahami sebuah konsep. Mengapa begitu? Karena membaca adalah sebuah proses memahami sesuatu dengan melibatkan akal pikiran (rasio). Seseorang yang melakukan aktivitas membaca, secara tidak langsung telah menggunakan indera penglihatan, rabaan, dan akal untuk memahami tiap kata dan kalimat yang dibacanya. Dalam ayat keempat juga disebutkan bahwa Tuhan mengajarkan manusia dengan perantaraan kalam, yang berarti bahwa sebuah proses pembelajaran dengan menggunakan tulisan dan bacaan. Ini lebih maju dari ajaran agama yang hanya mendasarkan diri pada aktivitas mendengar, atau melihat belaka.

Proses penciptaan manusia yang disebutkan dalam wahyu pertama adalah sesuai dengan konsep biologi tentang reproduksi manusia. Menurut biologi, manusia diciptakan dari perpaduan antara dua sel, yaitu sel sperma dan sel telur, yang kemudian menjadi sebuah embrio atau segumpal darah, seperti yang disebutkan dalam surat Al Alaq ayat 2.

Ajaran agama Islam adalah bersifat empiris dan rasional. Setiap orang yang memeluk agama Islam seharusnya menggunakan rasionya baik untuk memahami ajaran Islam, maupun untuk melaksanakan ajaran Islam. Dalam Islam juga dikenal konsep ijtihad, yaitu aktivitas mencari hukum apabila tidak ditemukan hukum yang jelas tentang sesuatu. Ijtihad menggunakan pengalaman dan rasio. Caranya adalah dengan membandingkan, dan meneliti ayat-ayat dan hadis yang bersifat umum, setelah itu dipertimbangkan dan disesuaikan dengan peristiwa yang telah terjadi. Kemudian diqiaskan dengan hukum yang sudah ada, yang berdekatan dengan peristiwa tersebut (Rasjid, 1986 : 5). Maka dari itu adalah sangat disayangkan jika ada orang atau kelompok yang mengaku beragama Islam, tetapi tidak menggunakan rasionya dalam bertindak, dan mengedepankan cara-cara kekerasan dan tidak rasional ketika berhadapan dengan kelompok lain.

Daftar Pustaka

A. Buku

Adlany, Nazri dkk., 1999, Al Qur’an Terjemahan Indonesia, PT. Sari

Agung, Jakarta.

Armsrtong, Karen, 2006, Muhammad: Prophet For Our Time, Penerbit

Mizan, Bandung.

Bertocci, Peter, Anthony, 1956, Introduction to The Philosophy of Religion,

Prentice-Hall, Inc, USA.

Daradjat, Zakiah, 1984, Dasar-Dasar Agama Islam, Buku Teks Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi Umum, Bulan Bintang, Jakarta.

Hadiwijono, H., 1980, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, Kanisius, Yogyakarta.

Pamungkas, Ismail, 1991, Riwayat Nabi Muhammad 2, Dari Madinah

Menaklukkan Mekkah, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.

Peters, Ted dkk., 2006, Tuhan, Alam, Manusia, Perspektif Sains dan

Agama, Penerbit Mizan, Bandung.

Rasjid, Sulaiman, 1986 Fiqh Islam, Sinar Baru Algensindo, Bandung.

B. Situs Internet

Forum.vivanews.com, akses tanggal 28 Desember 2011.

www.blog.ruangguru.com, akses tanggal 1 November 2018.

www.kincir.com, akses tanggal 1 November 2018.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image