Larangan Jualan di Tiktok, Tepatkah?
Politik | 2023-09-24 22:05:21Baru-baru ini, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) memberikan sinyal bakal melarang TikTok Shop di Indonesia. Zulhas menjelaskan, seharusnya TikTok tidak merangkap media sosial dan social commerce.
Dia mengklaim dengan adanya social commerce di Indonesia, peredaran barang lokal atau UMKM kalah bersaing dengan produk impor. “Apakah kita larang saja ya atau gimana ya? Ini akan dibahas nanti,” kata Zulhas saat ditemui Tirto di Hotel Harris Vertu, Jakarta, Senin (11/9/2023).
Pengaturan soal masalah tersebut rencananya akan tertuang dalam revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020. Kendati demikian, Zulhas enggan membeberkan kapan revisi permendag tersebut akan dilakukan.
Dilansir Reuters, TikTok memiliki 325 juta pengguna aktif di Asia Tenggara setiap bulannya, dan 125 juta di antaranya berada di Indonesia. Menurut data dari konsultan Momentum Works, Indonesia menyumbang 52 miliar dolar transaksi e-commerce pada 2022. Dari jumlah tersebut, 5 persen terjadi di TikTok, terutama melalui fitur siaran langsung.
Sementara itu, Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki mengklarifikasi pernyataannya yang menyebut TikTok melakukan monopoli. Teten berdalih, ia hanya bermaksud membandingkan regulasi media sosial dan e-commerce dalam negeri dengan yang ada di Cina. “Saya bilang, di Cina itu ada aturan kebijakan platform digital tidak boleh monopoli. Di sana dipisah (antara media sosial dan e-commerce),” kata Teten kepada wartawan di Kantor KemenKop UKM, Jakarta, Kamis (14/9/2023).
Ia menekankan, Indonesia perlu mengikuti Cina soal regulasi tersebut. Kebijakan memisahkan media sosial dan e-commerce di Cina, membuat 90 persen ekonomi digital di negeri Tirai Bambu tersebut dikuasai pasar lokal.
Namun demikian, larangan tersebut akan berdampak buruk terhadap pelaku UMKM yang sudah beradaptasi dengan platform TikTok. Menurut Head of Communications TikTok Indonesia, Anggini setiawan, saat ini ada dua juta bisnis lokal di Indonesia yang terdaftar sebagai pengguna TikTok.
Oleh karenanya, jika dipisahkan platform media sosial dan e-commerce, bukan hanya menghambat inovasi, tetapi juga akan merugikan pedagang lokal yang jumlahnya cukup banyak.
Perlindungan UMKM
Pemerintah harus mengidentifikasi akar persoalan ini, sebab jika dilihat dari inovasi dan kemudahan orang berbelanja, platform medsos yang bergabung dengan e-commees justru memudahkan pembeli dan penjual. Sedangkan yang menjadi persoalan adalah banjirnya barang impor sehingga pelaku UMKM kalah bersaing.
Pemerintah dianggap kurang mampu melindungi produk lokal. Misalnya, proteksi barang UMKM yang begitu minim, sedangkan banyak perjanjian dagang internasional baik bilateral maupun multilateral menetapkan tarif impor 0%. Kondisi ini menjadikan harga barang lokal kalah bersaing dengan impor.
Harga lokal yang lebih mahal dari harga impor, salah satunya adalah akibat dari buruknya ekosistem bisnis di tanah air. Misalnya biaya pengiriman barang dari Sumatra ke Jawa jauh lebih mahal daripada pengiriman barang Cina ke Indonesia. Jika tarif impor 0% diberlakukan pada barang impor, tentu produk lokal akan kalah saing.
Belum lagi berbicara tentang akses modal yang sangat sulit. UMKM kesulitan berkembang sebab akses modal dikuasai oleh para pebisnis besar. Adapun alokasi dana dari pemerintah untuk UMKM sangatlah kecil, ditambah praktik KKN, semua itu menyebabkan penyaluran modal usaha tersendat, tidak merata, dan sangat minim.
Selain itu, ekosistem bisnis yang buruk, praktik predatory pricing dengan “bakar uang” kerap dilakukan platform digital asing yang memiliki banyak modal. Sedangkan pemerintah sendiri tidak memiliki regulasi untuk menghentikan praktik “bakar uang” tersebut, padahal praktik tersebut tentu merugikan para pebisnis kecil.
TikTok Hanya Inovasi
Strategi TikTok menggabungkan media sosial dan e-commerce, sebenarnya hanya inovasi teknologi. Justru yang harus dilakukan oleh pebisnis adalah beradaptasi dengan inovasi tersebut agar bisnis lancar. Misalnya, para penjual baju di tanah abang yang sepi dari pengunjung, kini terbantu dengan berjualan online.
Begitu pun yang seharusnya dilakukan pemerintah, tidak boleh menafikan banyaknya pedagang yang merasa terbantu dengan adanya jual beli di TikTok. Namun, pemerintah harus mampu melihat akar persoalannya sehingga regulasi yang ditetapkan bisa tepat. Banyaknya barang impor yang masuk dan mengalahkan produk lokal, inilah yang harus menjadi fokus.
Daripada menetapkan kebijakan larangan TikTok berjualan, seharusnya pemerintah memperbaiki ekosistem bisnis demi melindungi produk lokal.
Begitupun akses modal, tarif impor 0%, pajak tinggi, semua ini menjadikan UMKM kesulitan. Andai pemerintah fokus memperbaiki ekosistem usaha dalam negeri, niscaya apa pun inovasi teknologinya, maka kesejahteraan UMKM akan terjamin.
Solusi Islam
Jika melihat dari sudut pandang Islam, maka Islam sangat memberi ruang terhadap perkembangan teknologi sebab inovasi akan memudahkan urusan hidup manusia, tentu selama hal tersebut tidak bertentangan dengan hukum syariat. Adapun solusi Islam terkait masalah ini adalah:
Pertama, Islam menjadikan negara sebagai pihak sentral dalam seluruh urusan rakyatnya sehingga pemerintah akan menjamin kesejahteraan rakyatnya, baik dengan mekanisme ekonomi, yaitu memudahkan seseorang untuk bekerja maupun menciptakan ekosistem bisnis yang baik. Juga dengan mekanisme nonekonomi, seperti pemberian bantuan, sebab tidak semua kepala rumah tangga mampu memenuhi kebutuhan keluarganya sendiri.
Kedua, Islam mempersilakan perdagangan komoditas di luar kebutuhan dasar berjalan sesuai dengan mekanisme pasar sempurna. Yaitu semata karena penjual dan pembeli saling ridha atas transaksi mereka.
Ketiga, negara akan sangat adaptif terhadap inovasi dan menstimulus anak bangsa untuk terus menjadi yang terdepan dalam inovasinya. Dengan demikian, platform digital, baik media sosial ataupun e-commerce, ciptaan anak bangsa tidak akan kalah bersaing dengan milik asing.
Keempat, negara memiliki regulasi yang sesuai dengan syariat dan memihak rakyat. Misalnya larangan ghabn fahisy, yaitu penipuan dengan cara menaikkan atau menurunkan harga barang secara keji (jauh dari harga pasar). Predatory pricing adalah praktik yang mirip dengan ghabn fahisy sehingga pelakunya harus ditindak dan diberi sanksi.
Selain itu negara dalam Islam, akan membangun visi industri mandiri yang berlangsung, di atas prinsip politik industri berat. Inilah kunci bagi terwujudnya kemandirian negara di bidang industri dan tidak bergantung kepada negara lain. Hal ini juga meniscayakan negara memiliki kapasitas memadai untuk secara mandiri memenuhi kebutuhan rakyat dalam negeri.
Demikianlah mekanisme pasar dalam Islam yang jauh dari praktek hegemoni perusahaan besar swasta maupun asing.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.