Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ghiffari Akram

Dibawah Bayang-bayang Hagemoni Duniawi: Refleksi QS Ali Imran ayat 14 dalam Menghadapi Materialisme dan Konsumerisme

Agama | 2024-11-26 12:55:50
sumber : Generative AI

“Letakkan dunia cukup di tangan dan akhirat di hati agar dunia sedang dibagi-bagi dan akhirat bisa dibawa mati.” - Sayyid Muhammad Bin Alwi Al-Maliki .

Kecenderungan manusia terhadap kenikmatan duniawi adalah sifat alami mereka, di mana sebuah dorongan yang tertanam dalam jiwa mereka sudah ada sejak mula. konon, tuhan telah menanamkan katalis ini saat sebelum manusia dilahirkan. Sehari-hari, kita melihat bagaimana manusia terpesona oleh hal-hal yang memikat hati seperti; gemerlap harta, megahnya rumah mewah, prestise dari status sosial, luasnya tanah, dan berbagai kenikmatan materi lain-nya yang membuat mata berbinar. Seakan-akan manusia berada di padang pasir yang terik, dalam keadaan haus, dalam kejauhan ia melihat fatamorgana yang menggambarkan oasis sejuk yang menjanjikan kelegaan.

Fenomena yang terduga bukan anomali ini sebenarnya bukan lah hal baru, bahkan Al-Quran sudah mengingatkan akan kelezatan dunia yang mana manusia dambakan pada QS. (Ali-Imran ayat 14) sebuah ayat yang menyingkap kecenderungan manusia pada kecantikan dunia. Seperti desir angin yang menggoda dedaunan, begitu pula kenikmatan dunia memikat hati, membisikkan janji kebahagiaan yang seringkali menipu. Dalam ayat ini, Tuhan memberikan pesan cintanya tentang daya tarik kekayaan, pasangan, dan keturunan, seolah mengingatkan kita bahwa manusia, dalam perjalanan singkatnya di dunia, kerap terlena oleh ilusi.

Mencari Hikmah dari ayat ini bagaikan lentera, menerangi jalan bagi umat di era yang bergelimang harta dan kesenangan material. Di masa modern, saat media sosial menyingkap kemilau kehidupan orang lain, kita diingatkan untuk merenungi adakah kebahagiaan sejati dalam kenikmatan sementara ini? Atau hanya bayangan hampa yang menghilang begitu saja?

Potongan Ayat

QS. Surat Ali ‘Imran Ayat 14

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَاۤءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْاَنْعَامِ وَالْحَرْثِۗ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۗ وَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰبِ

Arti-nya: Dijadikan indah bagi manusia kecintaan pada aneka kesenangan yang berupa perempuan, anak-anak, harta benda yang bertimbun tak terhingga berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik.

Dalam Mufradat Alfaz Al-Qur'an, Al-Raghib Al-Asfahani menyingkap lapisan makna kata-kata dengan kedalaman yang menyelami bahasa wahyu, menjelaskan:

· زُيِّنَ (Zuyyina): Kata ini berakar dari ز-ي-ن, sebuah akar kata yang memancarkan makna "dihiasi" atau "dipercantik." Dalam bentuk pasifnya, kata ini mengisyaratkan sebuah dunia yang pesonanya telah disusun rapi sebagai ujian fana. Keindahan yang dirancang bukan sekadar keindahan alami, tetapi disusun oleh kehendak ilahi.

· حُبُّ (Hubbu): Artinya "cinta" atau "kecenderungan." kata ini berdenting kuat, seperti detak jantung yang mendesir dengan dorongan emosional. Ia menjadi penegas bagaimana keinginan terhadap dunia tertanam dalam lubuk hati manusia.

· الشَّهَوٰتِ (Asy-Syahawat): Bentuk plural dari شهوة (syahwah), sebuah kata yang mengandung makna "keinginan" atau "hasrat." Ia berbicara tentang nafsu yang membara, sebuah kerinduan fisik dan material, yang mengakar dalam jiwa manusia dan menyelimuti hatinya dengan daya tarik yang memikat.

· النِّسَاۤء (An-Nisaa): Perempuan, dalam kiasan ini, mewakili hubungan manusia, keinginan akan cinta, kedekatan, dan hasrat akan kehangatan. Lebih dari sekadar daya tarik fisik, ia mencerminkan kebutuhan mendalam akan keintiman dan kasih sayang yang mengisi relung jiwa yang hampa.

· الْبَنِيْنَ (Al-Baniin): Anak laki-laki, lambang kebanggaan dan kekuatan, simbol dari kelangsungan dan kejayaan keluarga. Di zaman Arab klasik, mereka adalah pilar yang menjaga kehormatan dan nama baik keluarga, warisan yang hidup, penuh harapan, menjaga kebesaran dari generasi ke generasi.

· الْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ: Tumpukan emas dan perak, lambang rasa aman yang dirindukan dan kekayaan yang berlimpah. Emas dan perak berkilau, memabukkan manusia dengan ilusi kekuasaan, kemewahan, dan kenyamanan abadi, sebuah simbol gemerlap dari keberhasilan duniawi.

· الْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ (Al-Khail Al-Musawwamah): Kuda-kuda yang indah, terlatih dan dihiasi megah. Di masa silam, mereka melambangkan kebesaran, kekuatan militer, dan prestise sosial. Kuda-kuda ini berdiri dengan anggun, mencerminkan kehebatan pemiliknya, bagaikan lambang tak tertandingi dari kemuliaan.

· الْاَنْعَامِ (Al-An‘ām): Binatang Ternak, unta, sapi,kambing dan ayam, menggambarkan kekayaan yang menghidupi, lambang produktivitas dan sumber daya. Dalam dunia agraris, mereka adalah jaminan hidup, simbol ketenteraman yang menopang kehidupan.

· الْحَرْثِ (Al-Ḥarth): Ladang yang hijau, hamparan yang melambangkan usaha manusia, sumber penghidupan, rezeki yang diperoleh dari keringat dan kerja keras. Ia adalah lambang kekayaan alam, hasil yang penuh berkah, menyuarakan kelangsungan dan kesejahteraan dalam harmoni dengan alam.

· مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا (Matā‘ Al-Ḥayāh Ad-Dunyā): Kesenangan hidup dunia yang sementara, seperti embun pagi yang segera menguapمَتَاع (matā‘)mengingatkan kita pada kefanaan, kenikmatan sekejap yang segera memudar.

· حُسْنُ الْمَاٰبِ (Ḥusnu Al-Ma'āb): Sebaik-baik tempat kembali. buah kata ini menggambarkan akhirat yang abadi, sebuah tujuan yang jauh lebih agung dan hakiki.

Pandangan Para Ulama

Dalam goretan pena Ibnu katsir memaparkan:

Allah menunjukkan berbagai kenikmatan dunia yang indah bagi manusia, seperti wanita dan anak-anak. Dalam sebuah hadits sahih, "Aku tidak meninggalkan fitnah yang lebih besar bagi kaum laki-laki selain wanita," wanita disebutkan pertama karena potensi fitnah yang lebih besar yang dapat ditimbulkan oleh wanita. Kecintaan terhadap wanita dengan tujuan mempertahankan kesucian wanita dan memperoleh keturunan sangat dianjurkan dan bahkan disunnahkan, seperti yang disebutkan dalam beberapa hadits tentang pernikahan dan memperbanyak keturunan. Rasulullah menunjukkan betapa pentingnya wanita dalam kehidupan dengan bersabda, "Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasannya adalah wanita shalihah." Seorang wanita yang taat kepada suaminya, menjaga dirinya sendiri, dan harta suaminya dianggap sebagai perhiasan berharga.

Namun, seperti yang dijelaskan dalam hadits yang menganjurkan untuk menikahi wanita yang dapat melahirkan banyak anak, "Kawinilah wanita yang banyak melahirkan, karena aku bangga dengan umat yang banyak pada hari kiamat," kecintaan terhadap anak juga sering dimaksudkan untuk memperbanyak keturunan yang akan mengabdi kepada Allah semata. Cinta harta benda juga memiliki dua sisi: itu bisa digunakan untuk kebanggaan, keangkuhan, atau untuk menindas orang lemah, yang tentunya tidak disukai dalam Islam. Namun, jika digunakan untuk memberikan nafkah kepada keluarga dan kerabat, mempererat silaturahmi, dan melakukan kebaikan, maka itu sangat terpuji. Para mufassir berbeda pendapat tentang arti "qinthar", tetapi seperti yang dijelaskan oleh adh-Dhahhak dan lainnya, kata itu pada dasarnya merujuk pada harta yang banyak.

Dalam hal kecintaan terhadap kuda, ada tiga hal yang dapat diambil. Pertama, cinta terhadap kuda untuk tujuan jihad fi sabilillah—yang akan memberikan pahala besar bagi mereka yang melakukannya—kedua, untuk keperluan sehari-hari dan kebutuhan yang sah, tanpa melupakan hak Allah atas pemanfaatan kuda. Firman Allah menyebutkan "al-musawwamah" sebagai hewan ternak yang diberi tanda khusus, seperti kuda atau unta yang memiliki ciri khas tertentu. Sedangkan “al-harth” Sawah ladang. "Yakni tanah yang digunakan untuk bercocok tanam dan bertani. Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits yang mengatakan bahwa harta yang terbaik adalah kuda yang banyak beranak atau pohon kurma yang banyak berbuah.

Dalam Tafsir Jalalain menjelaskan:

(Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada syahwat) yakni segala yang disenangi serta diingini nafsu sebagai cobaan dari Allah atau tipu daya dari setan (yaitu wanita-wanita, anak-anak dan harta yang banyak) yang berlimpah dan telah berkumpul (berupa emas, perak, kuda-kuda yang tampan) atau baik (binatang ternak) yakni sapi dan kambing (dan sawah ladang) atau tanam-tanaman. (Demikian itu) yakni yang telah disebutkan tadi (merupakan kesenangan hidup dunia) di dunia manusia hidup bersenang-senang dengan hartanya, tetapi kemudian lenyap atau pergi (dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik) yakni surga, sehingga itulah yang seharusnya menjadi idaman dan bukan lainnya.

Syekh Wahbah Zuhaili mengaitkan konteks fiqih sosial dalam tafsir ayat ini dengan tradisi kaum sufi:

Ayat ini merupakan celaan dan kecaman terhadap kaum yang hidup pada masa Nabi Muhammad saw. yang dipalingkan dari mengikuti dakwah Islam oleh hawa nafsu dan keinginan-keinginan duniawi. Oleh karena itu, barang siapa yang ingin selamat dari siksa Allah SWT kelak di hari kiamat, ia harus menjauhi perangkap-perangkap syahwat dan hawa nafsu yang terlarang. Sebab, mengikuti syahwat dan hawa nafsu dapat membinasakan seseorang dan menjerumuskannya ke dalam neraka.

Imam Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik r.a. "Surga dilingkupi oleh hal-hal yang tidak menyenangkan, sedangkan neraka dilingkupi oleh syahwat (hal-hal yang menyenangkan)." Maksudnya, surga tidak dapat diraih kecuali dengan sikap sabar melewati hal-hal yang tidak menyenangkan, sedangkan keselamatan dari neraka tidak bisa diraih kecuali dengan meninggalkan syahwat dan hawa nafsu.

Asy-syahwat yang dimaksudkan pada ayat ini adalah syahwat yang dilakukan secara berlebihan atau yang dapat menyebabkan seseorang teledor dan lalai dalam menjalankan kewajiban-kewajiban agama. Namun, jika dilakukan secara wajar dan dalam batas-batas yang proporsional, hal itu diperbolehkan dan tidak menjadi bencana bagi seseorang. Bahkan, hal tersebut bisa menjadi sumber pahala dan bertambahnya kebaikan jika dilakukan dengan tujuan yang baik, seperti menjaga diri dari hal-hal yang tercela serta digunakan di jalan Allah SWT.

Para ulama berkata, "Allah SWT menyebutkan empat jenis harta kekayaan, setiap jenisnya menjadi sumber atau lambang kekayaan sekelompok orang:

Emas dan perak menjadi sumber atau lambang kekayaan para pedagang.

Kuda al-musawwamah menjadi sumber atau lambang kekayaan para raja.

Binatang ternak menjadi sumber atau lambang kekayaan para penduduk lembah atau pedalaman.

Sedangkan sawah ladang menjadi sumber atau lambang kekayaan para penduduk desa."

"Itulah kesenangan kehidupan dunia yang bersifat sementara," mengandung anjuran kepada manusia agar bersikap zuhud terhadap dunia, penjelasan bahwa dunia adalah remeh dan hina, serta ajakan untuk lebih mengedepankan akhirat.

Ibnu Majah dan yang lainnya meriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,

"Sesungguhnya dunia tidak lain hanyalah kesenangan, dan tidak ada sesuatu dari kesenangan dunia yang lebih utama dari wanita salihah."

Ibnu Majah meriwayatkan hadis sahih lainnya yang berbunyi:

"Berzuhudlah terhadap dunia, maka Allah SWT akan mencintaimu."

Maksudnya, tinggalkanlah kesenangan dunia berupa kedudukan dan harta yang melebihi kadar yang dibutuhkan.

Tirmidzi meriwayatkan dari al-Miqdam bin Ma’dikarib bahwa Rasulullah saw. bersabda,

"Tidak ada bagi anak Adam hak (hajat atau kebutuhan) kecuali dalam beberapa perkara berikut: sebuah rumah tempat tinggal, pakaian untuk menutupi auratnya, roti tanpa lauk, dan air.”

Ayat, "Dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik," mengandung isyarat akan remeh dan tidak berharganya dunia serta seruan untuk meraih tempat kembali yang baik di sisi Allah SWT kelak di akhirat.

Kontekstualisasi ayat

Pada konteks akhlaq, ayat ini mengajarkan agar kita memiliki sikap zuhud, yaitu keadaan hati yang tidak terikat oleh dunia, Zuhud bukan berarti meninggalkan harta dunia, melainkan meletakkan dunia cukup di tangan dan akhirat di hati agar dunia sedang dibagi-bagi dan akhirat bisa dibawa mati, serta menjadikannya sarana beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah swt. Menurut imam Al-Gazali zuhud dibagi menjadi 3 tingkatan:

1. Zuhud orang awam: yaitu meninggalkan hal-hal duniawi yang haram.

2. Zuhud orang sholeh: yaitu meninggalkan hal-hal duniawi yang berlebihan atau tidak diperlukan agar menjaga hati tetap bersih dari kecintaan dunia.

3. Zuhud orang arif: yaitu tidak merasa gembira ketika mendapatkan dunia dan tidak merasa sedih ketika kehilangan dunia karena hatinya tertuju pada Allah.

Mencintai dunia yang berlebihan memiliki dampak buruk dan berpotensi menjadi penyakit hati, seperti:

1. Tamak

2. Iri hati

3. Bangga diri

4. Lalai dari akhirat

5. Kerasnya hati

6. Kecemasan dan ketakutan yang berlebihan

Pada Era Revolusi Industri 4.0 Sebaiknya kita memiliki sikap zuhud, karena Era ini memberikan kemudahan akses pada kesenangan duniawi dan gaya hidup konsumtif. Sikap zuhud membantu seseorang untuk tidak terjebak dalam materialisme dan konsumerisme serta mengigat bahwa kehidupan dunia hanyalah sementara.

Pada konteks akidah, ayat ini menjelaskan bahwasannya segala kesenangan di dunia bersifat sementara. Kehidupan dunia hanyalah persinggahan yang penuh dengan ujian, baik berupa nikmat maupun cobaan. Contoh ujian berupa kenikmatan seperti, Kehidupan modern ini yang menempatkan kesenangan duniawi, seperti; harta, status sosial dan pencapaian materi sebagai tujuan utama sehingga membuat manusia lalai dari mengingat Allah swt. Dalam ayat ini kita bisa memahami bahwa tujuan manusia bukan lah kesenangan dunia, melainkan kehidupan akhirat yang kekal. Allah menegaskan pada akhir ayat bahwa disisi nya lah sebaik baiknya tempat kembali.

Dalam konteks filsafat, ayat ini menegaskan bahwa kebahagian sejati tidak terletak pada kesenangan duniawi seperti pencapaian materi, status sosial dan gaya hidup konsumtif. Sebaliknya, kebahagian yang sejati diperoleh dengan kedamaian batin, kontemplasi dan kebijaksanaan. Hal ini melibatkan pencarian makna hidup yang lebih dalam dan memenuhi nilai-nilai spiritual yang abadi. Pandangan ini sejalan dengan beberapa tokoh dan aliran dalam filsafat. Seperti Marcus Aurelius dalam stoikisme mengajarkan bahwa, kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai dengan menemukan kebijaksanaan, mengendalikan respons terhadap hal-hal di luar kendali dan hidup selaras dengan alam. Selain itu, pemikiran Søren Kierkegaard seorang filsuf Eksistensialisme menekankan pentingnya menjalani kehidupan secara otentik, yaitu kehidupan yang sesuai dengan panggilan Eksistensial individu. Namun, bagi Kierkegaard hidup yang otentik tidak hanya berkaitan dengan kebebasan individu, tetapi hubungan yang mendalam dengan tuhan.

Pada konteks sosiologi, Keinginan manusia terhadap kekayaan, keturunan, dan prestise merupakan dorongan alami yang berfungsi menjaga kelangsungan hidup serta reproduksi sosial. Dalam konteks ini, bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga atau membangun status sosial dianggap membantu menciptakan keteraturan dan keberlangsungan sistem masyarakat. Namun, jika dorongan tersebut berlebihan, cinta terhadap harta benda dan status sosial dapat memicu persaingan tidak sehat yang berujung pada ketimpangan antar kelas. Obsesi terhadap materialisme cenderung memperkuat hierarki sosial, di mana kelompok yang memiliki akses kekayaan mendominasi dan mengeksploitasi mereka yang kurang beruntung. Dalam perspektif sosiologi konflik, hal ini mencerminkan hegemoni ekonomi yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan.

Sementara itu, dalam pendekatan fungsionalisme, agama dipandang sebagai mekanisme kontrol yang berfungsi membimbing individu agar tidak terjebak dalam obsesi terhadap materialisme. Dengan cara ini, agama membantu meredam potensi konflik sosial yang disebabkan oleh ketimpangan ekonomi dan persaingan sumber daya. Agama juga memberikan kritik terhadap sistem kapitalistik dan budaya konsumerisme, yang sering kali memperlebar kesenjangan sosial. Sebagai alternatif, agama menawarkan panduan moral untuk menyeimbangkan distribusi kekayaan dan mengarahkan manusia agar tidak hanya mengejar kesenangan duniawi, tetapi juga mementingkan nilai-nilai spiritual yang lebih tinggi.

Kesimpulan

QS Ali Imran ayat 14 ini memberikan rafleksi yang mendalam tentang kecenderungan manusia terhadap kenikmatan dan kesenangan duniawi yang seringkali membuat kita lupa akan kebahagian yang sejati, kecenderungan manusia terhadap kekayaan, keturunan, prestise dan kenikmatan dunia bukan lah sesuatu yang salah, melainkan dorongan alami yang berfungsi menjaga keberlangsungan hidup serta reproduksi sosial. Namun, hal ini bisa berdampak buruk bila kita terlalu mencintai kenikmatan dan kesenangan duniawi. Sejalan dengan beberapa tokoh sufi dan filsuf, menekankan kebahagian sejati terletak diluar teratorial materialisme dan konsumerise, melainkan melampaui batasan-batasan tersebut. Kebahagian sejati mengharuskan kita untuk mengarahkan hati kepada nilai-nilai yang lebih luhur dan abadi.

Maka dari itu, sudah sepatut nya kita menjadikan ayat ini sebagai pijakan untuk menyeimbangkan upaya duniawi dan persiapan menuju akhirat yang abadi, Hanya dengan cara ini kita dapat keluar dari bayang-banyag hegemoni duniawi dan menemukan cahaya kebahagian sejati, yang bersumber dari keimanan dan kesadaran akan hakikat kehidupan sesungguhnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image