Pernikahan Dini Mengancam Mimpi Generasi
Pendidikan dan Literasi | 2023-09-23 16:41:07Oleh: Jainudin Abas (Direktur Utama Lembaga Pendidikan Mahasiswa Islam Cabang Yogyakarta Periode 2023-2024).
Sejatinya memang tidak ada yang salah dalam sebuah pernikahan. Pernikahan pada umumnya yang kita pahami adalah sebuah ibadah sekaligus tercipta-Nya suatu hubungan hukum suami istri. Namun, pernikahan dini yang terjadi pada peserta didik belakangan ini sudah seharusnya terus di gaungkan. Meskipun, usaha yang dilakukan pemerintah pusat maupun daerah belum membuahkan hasil yang maksimal. Setidaknya, ada upaya-upaya alternatif lain yang ditempuh dalam menimalisir terjadinya pernikahan dini lebih luas.
Hal ini, bisa kita lihat dari data Pengadilan Agama Negara (PA) atas permohonan dispensasi pernikahan usia anak yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Di tahun 2021 saja, tercatat 65 ribu kasus dan di tahun 2022 tercatat 55 ribu pengajuan. Selain itu data lain seperti di kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat 182 kasus pernikahan dini pada tahun 2022, sedangkan pada sepanjang tahun 2023 sebanyak 97 kasus pernikahan dini. Namun, tingginya pernikahan dini di gunungkidul tidak menutup kemungkinan akan di ikuti daerah kabupaten yang lain.
Berdasarkan data tersebut kita harus jujur bahwa pernikahan dini belum bisa teratasi di indonesia. Persoalan ini, jika tidak segera diatasi bisa jadi salah satu ancaman yang serius terhadap putusnya satu generasi di negara ini. Dalam hal ini menurunnya sumber daya manusia misalnya. Oleh karena itu, pernikahan dini tidak bisa kita anggap remeh (sepele). Ada apa dengan pernikahan dini?
Menyoal Ulang.
Penyebab peserta didik melakukan pernikahan dini, yakni dari kalangan keluarga dan lingkungannya. Diantaranya adalah kondisi ekonomi dari pihak (wanita) yang kurang baik, minimnya sosialisasi dari orang tua yang tinggal di pedesaan terutama peserta didik yang tidak mendapat akses pendidikan yang layak, kemudian internal orang tua yang takut anaknya berbuat zina (hubungan terlarang), serta ketidak kemampuan orang tua dalam menyaringkan konten internet dan media massa untuk anak, hingga hamil sebelum menikah, yang di mana edukasi seks sejak dini masih dianggap tabu bagi sebagian masyarakat Indonesia.
Padahal, kalau dilihat secara harfiah pernikahan dini lebih banyak dampak negatif daripada dampak positifnya. Dampak positifnya jika berdasarkan keinginan mereka sendiri tentu keduanya atas dasar “saling mencintai” namun ada lain hal yang dilupakan bahwa “cinta tak selamanya indah” yang artinya mengucapkan Ijab Kobul tidak se sakral mengucapkan I Love You (aku cinta kamu).
Sedangkan dampak negatifnya seperti menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak, baik secara biologis maupun psikologis. Dalam hal ini, kesehatan reproduksi (fisik remaja) dan kesehatan mental anak. Bukan hanya itu, pernikahan dini juga berdampak pada tercerabut nya hak anak-anak karena ia dipaksa memasuki dunia dewasa secara instan.
Selain itu, pernikahan dini sebenarnya mendorong ketidaksetaraan gender dalam masyarakat. Pada akhirnya dapat menyebabkan siklus kemiskinan yang berkelanjutan, peningkatan buta huruf, kesehatan yang buruk kepada generasi yang akan datang, dan merampas produktifitas masyarakat yang lebih luas, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Adapun nilai budaya dan doktrin agama secara tekstual juga menjadi penyebab dari pernikahan dibawa umur. Hal tersebut dikarenakan agama yang tidak membatasi usia dalam membangun keluarga harmonis. Sehingga, menyebabkan orangtua yang merasa khawatir ketika usia anak sudah memasuki masa balig, jika tidak segera di nikahkan akan melakukan perbuatan yang terlarang.
Untuk itu, pernikahan dini perlu ditangani dengan cepat. Di karenakan kecenderungan melakukan pernikahan di usia dini adalah tingkat pendidikan maupun pengetahuan anak yang masih rendah. Hal ini sejalan dengan data dari SUSENAS/BAPPENAS anak usia sekolah (7-18) yang tidak bersekolah mencapai 3.939.869 anak, pada tahun 2021. Sedangkan 2022 terdapat 4.07.288 anak yang tidak bersekolah. Sekaligus data tersebut menambah daftar panjang anak yang tidak sekolah di Indonesia.
Melihat fenomena tersebut, peran pendidikan untuk pembangun Indonesia dalam menyongsong kemajuan pembangunan sedang dipertanyakan hari ini. Sehingga, menentukan arah kemajuan bangsa yang merupakan bagian penting dari suatu pendidikan terstagnasi. Apakah pernikahan dini menjadi ancaman yang serius?
Mengancam Mimpi Generasi.
Indonesia di tahun 2045 memasuki usia emasnya. Pasalnya di masa tersebut Indonesia memiliki penduduk yang produktif. Penduduk produktif yang dimaksud adalah generasi terbaik yaitu anak muda diantara generasi Y, dan Z. Bayangkan saja, jika generasi terbaik tersebut berhenti sekolah akibat pernikahan dini. Kita ketahui sendiri bahwa pernikahan dini banyak terjadi di lingkungan sekolah dan kebanyakan yang terlibat adalah peserta didik. Bagaimana generasi indonesia menyambut bonus demografi (demographic dividend) nanti?, jika salah satu tantangan pendidikan indonesia harus mampu menyiapkan generasi emasnya di hiraukan.
Padahal, peran pendidikan kita sangat penting dan di butuhkan dalam membangun masyarakat terutama anak muda agar berpikir maju, bermoral, dan mampu bersaing dengan negara lain. Jika tidak di persiapkan dengan baik generasi emasnya, yang di dapatkan Indonesia bukan bonus demografi sebaliknya mala petaka demografi. Untuk itu, kita harus saling bahu-membahu menyiapkan generasi emas yang berkarakter, cerdas, kompetitif. Seperti kata (Buya Syafii Maarif) “Tidaklah mungkin orang yang punya mimpi dan bercita-cita besar hanya duduk berpangku tangan”.
Sehingga, pentingnya dalam meningkatkan peran pemerintah, organisasi serta lembaga dalam upaya pencegahan pernikahan dini lebih luas. Misalnya, menyediakan pendidikan formal yang memadai, mendorong sosialisasi tentang pendidikan seks di sekolah, memberdayakan masyarakat agar lebih paham akan bahaya pernikahan dini, serta mendorong tercipta nya kesetaraan gender.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.