Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image jok

Dari Demokrasi ke Duitokrasi

Politik | Tuesday, 19 Sep 2023, 06:54 WIB
Politik uang menjadikan demokrasi berat di ongkos. Sumber gambar: dok medcom via metrotvnews.com

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan [Menko Polhukam], Mahfud MD, pernah mengatakan bahwa hampir 92 persen calon kepala daerah yang tersebar di seluruh Indonesia dibiayai oleh cukong. Menurut Mahfud, setelah terpilih, para calon kepala daerah ini akan memberi timbal balik berupa kebijakan yang menguntungkan para cukong.

Hal tersebut dibeberkan Mahfud MD dalam diskusi bertajuk “Memastikan Pilkada Sehat, yang juga sempat disiarkan melalui akun Youtube milik Pusat Studi Konstitusi [Pusako] Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, beberapa waktu silam.

Apa yang dikatakan Mahfud MD tersebut tampaknya semakin menegaskan bahwa di negeri ini politik dan uang merupakan dua hal yang saling terkait.

Lantas, kita pun bertanya-tanya, apa sesungguhnya yang menjadi pendorong utama para politikus kita berlomba-lomba memperebutkan kursi kekuasaan. Apakah mereka benar-benar mau mengabdi kepada bangsa dan negara? Apakah mereka sungguh-sungguh tulus hendak mensejahterakan rakyat?

Bukan lagi rahasia bahwa ongkos untuk meraih dan atau mempertahankan kekuasaan di negara kita saat ini tidaklah murah.

Faktanya, untuk bisa ikut serta dalam kontestasi pemilu dibutuhkan dana yang tidak sedikit. ongkos untuk meraih dan atau mempertahankan kekuasaan di negara kita saat ini tidaklah murah. Dana yang harus dimiliki para kandidat untuk menjadi kepala daerah tingkat II saja sebesar Rp 20-30 miliar. Adapun untuk gubernur harus memiliki dana Rp 100 miliar. Hal tersebut pernah diungkap Alexander Marwata, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK] saat menyampaikan sambutan dalam acara bertajuk “Politik Cerdas Berintegritas [PCB] Terpadu 2022”, yang digelar Gedung Pusat Edukasi Anti Korupsi [ACLC] KPK, Jakarta, beberapa waktu lampau.

Jumlah duit yang besar itu diperlukan untuk biaya operasional, seperti antara lain untuk biaya sosialisasi, kampanye, belanja iklan politik, membayar para saksi di tempat pemungutan suara [TPS] maupun membayar para konsultan politik -- atau bahkan membayar dukun politik.

Ongkos yang harus dirogoh dari kocek bisa bertambah gemuk tatkala ada mahar politik yang harus dikeluarkan. Istilah mahar politik merujuk kepada uang yang mesti disetorkan kepada partai politik oleh seorang bakal calon yang hendak maju dalam kontestasi pemilu. Mahar politik dibutuhkan agar sang bakal calon mendapat rekomendasi dan dukungan penuh dari partai politik bersangkutan.

Dugaan adanya mahar politik dalam setiap proses pencalonan dalam kontestasi pemilu di negeri ini memang masih sulit untuk dibuktikan. Yang paling tahu mengenai praktik pemberian mahar politik ini tentu saja adalah individu serta partai politik yang terlibat dan sama-sama memiliki kepentingan. Cuma, mengingat ongkos politik yang tidak murah selama ini, tak menutup kemungkinan praktik-praktik mahar politik itu memang lazim terjadi.

Selain mahar politik, aktivitas bagi-bagi uang menjelang pemilu juga kerap terjadi dalam apa yang diistilahkan sebagai “serangan fajar”. Uang diberikan kepada warga agar mereka memilih kandidat tertentu di hari pemungutan suara.

Tidak menguntungkan

Duit modal untuk maju dalam pemilu tentu saja tidak melulu berasal dari kantong pribadi para calon. Sebagian datang dari sponsor atau pemilik kapital. Di sinilah peran para cukong politik bermain.

Sudah barang tentu, tingginya ongkos politik di negeri ini sama sekali tidak menguntungkan bangunan demokrasi kita. Demokrasi yang sejatinya adalah kedaulatan di tangan rakyat dipaksa menjadi kedaulatan di tangan orang-orang berduit. Prinsip demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan demi rakyat berubah menjadi dari mereka yang berduit, oleh mereka yang berduit dan demi mereka yang berduit. Pada titik ini, demokrasi telah berubah wujud menjadi duitokrasi.

Mereka yang memiliki integritas, kompetensi, dan kapabilitas mumpuni namun tak memiliki duit atau tak memiliki dukungan dari cukong politik bakal lebih sulit untuk bisa maju ikut kontestasi dalam perebutan jabatan-jabatan publik.

Repotnya, apabila duit telah mendominasi, maka yang ada hanyalah perhitungan untung dan rugi. Di sinilah politik rente dan tranksaksional terjadi. Maka, didorong demi meraih keuntungan-keuntungan jangka pendek, praktik-praktik tak terpuji, mulai dari suap, gratifikasi hingga korupsi kebijakan, akhirnya dilakukan. Prinsip-prinsip etika dan moralitas dicampakkan.

Kita sama sekali tidak ingin aktivitas politik di negeri ini dijadikan ladang perjudian bisnis dari para cukong politik. Ongkos politik yang mahal di negeri ini harus mulai diakhiri.

Partai politik dan para pelaku politik mesti berani mencari cara-cara brilian untuk turut memangkas ongkos politik kita agar tidak semakin membumbung tinggi. Praktik semacam mahar politik, yang pada akhirnya menyuburkan praktik-praktik korupsi, harus pula dihindari karena sudah jelas-jelas tidak sejalan dengan Undang-Undang Pilkada.

Pada saat yang sama, regulasi dan prosedur terkait dengan pemilu perlu terus disempurnakan, -- termasuk juga kemungkinan penerapan e-voting -- yang mana salah satu tujuan pokoknya adalah membuat ajang pesta demokrasi di negeri ini tidak semakin berat di ongkos.***

--

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image