Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Prof. Dr. Budiharjo, M.Si

Kedaulatan Rakyat Atas Tanah

Politik | 2023-09-18 21:28:52
Hak Milik adalah hak turun temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah.

Sejak merdeka 78 tahun silam, Indonesia berkomitmen untuk menyejahterakan rakyatnya, khususnya di bidang agraria. Oleh sebab itu, lahir UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. UU ini pun populer dengan sebutan UU Pokok Agraria (UUPA). Ada tiga hal mendasar dari tujuan UU ini.

Pertama, meletakkan dasar-dasar bagi penyusun hukum agraria nasional, yang akan menjadi alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur. Kedua, meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan. Ketiga, meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Ironisnya, seiring berjalannya waktu, UU yang berusia lebih dari 60 tahun itu tidak lagi menjadi payung dalam penyelenggaraan kesejahteraan rakyat atas tanah. Pada awalnya, UUPA disyukuri oleh semua kalangan karena menjadi jawaban dari perlawanan terhadap kolonialisme Belanda atas penguasaan dan kepemilikan tanah di Indonesia.

Sayangnya, Pemerintah Indonesia sendiri yang kemudian melahirkan UU baru yang justru berlawanan dengan semangat UUPA tersebut. Banyak peraturan setingkat atau di bawah undang-undang yang sebenarnya bertentangan. Di antaranya adalah UU Pertambangan dan Kehutanan yang sudah mengalami pembaharuan. Keduanya menjadikan UUPA bukan lagi UU induk dalam pertanahan melainkan sektoral.

Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mencatat izin pengelolaan lahan dan hutan yang dikeluarkan oleh Pemerintah lebih membela para pemodal (investor) dibandingkan rakyat. Dalam hal kepemilikan hutan, cara pandang Pemerintah masih terlihat dalam domein verklaring (pernyataan pada zaman Belanda yang menyatakan bahwa barang siapa yang tidak memiliki hak atas tanah, maka tanah tersebut akan menjadi milik negara).

Akibatnya, hal ini mengorbankan kehidupan masyarakat pedesaan, adat, nelayan dan lainnya yang sebenarnya sudah menetap di kawasan tertentu secara turun temurun. Ini tentu bertabrakan dengan cara pandang yang disajikan dalam UUPA di mana penguasaan negara tidak ditafsirkan sebagai pemilik yang berhak menentukan secara mutlak. Artinya, dalam mengatur, mengurus dan mengawasi hak-hak atas tanah, negara tidak boleh melampaui batas hak keperdataan individu atau kelompok masyarakat.

Hak perdata masyarakat merupakan hak yang melekat dan dimiliki oleh individu. Hal itu karena mereka punya hak untuk hidup, menikmati kekayaan alam yang telah dianugerahkan Tuhan kepada seluruh makhluknya.

Secara eksplisit perkataan "dikuasai" dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA, bukan berarti dimiliki, akan tetapi adalah pengertian yang memberi wewenang kepada Negara untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat secara adil.

Bagi masyarakat yang telah mendiami suatu tanah secara turun temurun, maka bagi mereka berlaku hukum kodrat. Teori hukum ini mengilhami lahirnya konsepsi hak milik sebagai hak kebendaan yang sempurna, turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki semua orang. Ini tentu selaras dengan Pasal 570 KUH Perdata, Pasal 36 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Pasal 28H ayat (4) Amandemen Keempat Tahun 2002 UUD 45. Semuanya menyepakati bahwa setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun.

Lebih kuat lagi Pasal 20 ayat (1) UUPA menyebutkan, "Hak Milik adalah hak turun temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 UUPA."

Apa yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia terkait dengan konflik tanah sebenarnya pengulangan saja. Oleh sebab itu, Pemerintah tidak bisa serta merta memaksakan kehendak atas nama Negara di suatu wilayah. Tanah merupakan hal yang sensitif di mana peranan hukum adat kadang lebih berpengaruh. Dari sisi keperdataan timbul konsep bahwa hukum bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk mencapai tujuan. Hukum diharapkan dapat menciptakan harmonisasi antara Negara dan masyarakat. Tentunya dengan menjadikan rakyat sebagai pihak yang berdaulat atas kepemilikan tanah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image