Fenomena Kidfluencer dan Penyiapan Generasi Era Digital
Agama | 2023-09-18 20:02:47“Kidfluencers” – Anak yang memiliki pengikut besar di media sosial – menyumbang sekitar $8 miliar dari industri periklanan di media sosial pada 2021. Sisi gelap fenomena ini adalah orangtualah yang memiliki kekuatan mengontrol konten dan pendapatan anak dengan melibatkan anak dalam aktivitas komersial. Keuntungan finansial yang menjanjikan ditopang iklim saat ini yang melihat materi sebagai standar keberhasilan, menjadikan anak seringkali ikut menikmati untuk tampil di media sosial, alih-alih dianggap ‘dipekerjakan’ oleh orangtua.
Menguak Sisi Negatif Kidfluencer
Sebuah film dokumenter BBC yang berjudul “Influencer: Bahaya dibalik popularitas di media sosial” mengungkap sisi negatif dampak influencer terutama bagi pelaku anak-anak, antara lain:
1. Algoritma Youtube berpihak pada akun yang produktif. Ini menyebabkan produksi konten harus kontinyu dilakukan. Saat konten ‘hiatus’ karena suatu hal, maka akan sangat berpengaruh terhadap kunjungan penonton. Kerja keras memproduksi konten dan tekanan traffic pengunjung bagi seorang anak dapat memicu kegalauan bahkan depresi.
2. Kebiasaan di depan layar menyebabkan anak kesulitan bergaul di situasi sosial dunia luar dan kesulitan berinteraksi dengan orang lain. Hal tersebut semakin menyebabkan anak menarik diri dari dunia luar dan tidak siap menghadapi masalah.
3. Karakter ciptaan yang tampak ‘serba baik-baik saja’ seringkali menyebabkan rasa inferior dan tidak percaya diri akibat karakter palsu yang diciptakan.
4. Interaksi dengan pengikut di media sosial seringkali adalah interaksi semu. Faktanya mereka bukanlah teman yang betul-betul bisa berada di sisi mereka dan membantu ketika mengalami masalah dan kesulitan. Padahal anak-anak/remaja membutuhkan komunitas yang mampu menciptakan iklim kebersamaan yang sesungguhnya.
5. Meningkatnya ‘mass narcissism’ yaitu kondisi dimana menganggap dirinya adalah yang terbaik, penting dan harus dikagumi. Seringkali membuatnya tidak siap dengan kritikan dan sangat mudah tersinggung. Mass narcissism dalam film dokumenter “Social Media Danger Documentary, Chilhood 2.0” dapat menyebabkan kegelisahan dan depresi, yang diduga meningkatkan kasus bunuh diri di era digital.
Mengapa Menargetkan Anak-anak?
Hasil penelitian di AS menunjukkan 81% orang tua membiarkan anak-anak di bawah umur 11 tahun menonton Youtube. Hal tersebut berdampak kepada keputusan konsumsi orang tua dan anak-anak. Kekuatan mempengaruhi seorang influencer, yang kadangkala memicu ‘trendsetter’ menyebabkan banyak pemilik bisnis menggandeng mereka untuk mempromosikan produknya, termasuk anak-anak. Semakin meningkatnya jumlah pengguna media sosial aktif, mengantarkannya menjadi media marketing produk yang berpeluang manggaet pasar lebih luas sehingga banyak dipilih. Sebuah studi menyebutkan bahwa membidik influencer sebagai marketer produk mendukung balik modal hingga 11 kali lebih besar dibandingkan media iklan yang lain. Inilah yang menjadikan segala usia akhirnya menjadi target demi meluaskan pengaruh penjualan, termasuk menjadikan anak-anak sebagai sasaran influencer sekaligus konsumen yang loyal.
Studi yang terpublikasi di jurnal Pediatrics yang mengamati konten channel kid-influencer di Youtube, menemukan bahwa produk minuman dan makanan sangat mendominasi, dengan 90% video mempromosikan produk tidak sehat. Konten bahkan telah dilihat hingga mencapai 1 milyar kali, mempengaruhi perilaku makan anak-anak (eating behaviors of children) dan berkontribusi besar terhadap meningkatnya obesitas di seluruh dunia.
Menurut Rudd Center for Food Policy and Obesity, perusahaan besar makanan dan minuman tengah mentarget Afrika, Amerika, dan Asia-Pasifik dalam pemasaran produknya melalui platform digital, termasuk meningkatkan kerjasama antara influencer dengan industri game. Pendapatan dari industri game di dunia mencapai lebih $120 miliar pada 2019. Youtube saat ini setidaknya memiliki lebih dari 200 juta penonton gaming videos per hari dengan total durasi gaming videos yang disetel mencapai lebih dari 50 milyar jam per tahun. Lebih dari 3/4 anak usia 10-12 tahun juga menyaksikan konten game online di Youtube dan situs populer lain. Analis industri melaporkan adanya peningkatan tajam penjualan video game dengan dukungan influencer. Roblox, sebuah 3D user-generated gaming yang popular di kalangan anak-anak, melaporkan peningkatan penggunaan produknya hingga 35% sejak Februari 2020. Produk tersebut berpartner dengan “influencers” melalui kanal Youtube, instagram, and platform media sosial lain.
Dunia Digital dan Peran Orang Tua terhadap Penyiapan Generasi
Problem negatif kidfluencer agaknya wajib menjadi perenungan bagi para orangtua, terutama bagi seorang muslim. Menjadikan seorang anak berpengaruh bukan dalam hal agama dan kebaikan, dan hanya demi rupiah adalah sebuah kedzaliman. Orangtua muslim wajib menanamkan pada anak-anak rasa percaya diri dan keteguhan sikap yang kuat, terutama dalam menyampaikan kebenaran. Terlebih dalam era dimana ajaran agama wajib dipegang teguh ditengah gempuran pemikiran yang menyerang dari berbagai sisi.
Hj. Emmi Khaerani dalam sebuah webinar kidfluencer mengatakan bahwa dalam konsep islam, teknologi merupakan hasil rekayasa manusia terhadap pemanfaatan kadar-kadar materi ciptaan Allah SWT untuk memudahkan urusan manusia. Teknologi dikembangkan sejatinya untuk membawa kemaslahatan bagi kehidupan manusia, bukan digunakan untuk bermaksiat kepada Allah.
Konsep islam juga bicara terkait dengan hak dan kewajiban anak maupun orangtua. Bahwa anak adalah amanah dan orangtua berkewajiban memastikan anak terdidik dengan pemikiran islam dan memenuhi segala hak-hak mereka. Hak untuk mendapatkan ASI, hak untuk mendapatkan nafkah yang halal, hak untuk mendapatkan pengasuhan dan hak untuk mendapatkan pendidikan yang baik dengan mempersiapkan mereka menjadi manusia terbaik. Profil manusia terbaik yang takut kepada Allah dalam kondisi sembunyi maupun terang-terangan hendaknya diajarkan kepada anak-anak, agar memiliki keteguhan sikap ditengah gempuran era digital yang tak terkendali.
Teknologi digital sekalipun merupakan produk teknologi yang bebas nilai, maka hendaknya para orang tua tetap mengawal anak-anak dalam pemanfaatannya. Jangan sampai demi mengejar materi membuat terabaikannya hak anak-anak apalagi sampai membuat mereka rusak bahkan menyebarkan kerusakan.
Drs. Adriano Rusfi menyatakan gambaran strategi penyiapan generasi era digital penting dilengkapi dengan memahami aspek psikososial tumbuh kembangnya, agar sebagai pendidik dan orangtua tidak terjebak pada ambisi pribadi yang mengabaikan kebutuhan utamanya. Ketidakpahaman aspek psikososial tumbuh kembang anak seringkali menyebabkan anak menjadi generasi yang rapuh dan gagal menjadi harapan masa depan umat. Baligh tanpa disertai kesiapan aqilnya. Siap secara fisik, namun tidak siap mentalnya. Layu sebelum berkembang. Sebuah film dokumentasi “Social Media Dangers Documentary: Chilhood 2.0” dan “Psychological Effect Being Kidfluencer by CBS” menunjukkan bagaimana anak-anak yang tereksploitasi sejak dini, termasuk para kidfluencer mengalami banyak masalah psikososial yang mengerikan. Mereka tumbuh menjadi anak-anak yang mudah baper, tidak siap dengan kritikan, tidak siap menghadapi masalah, tidak mampu berinteraksi dengan dunia luar, narsisme masal, terjebak pada karakter palsu, kecemasan berlebihan, bahkan diduga kuat dapat memicu depresi dan bunuh diri.
Penting membekali pendidik dan orangtua cara cerdas menghadapi era digital, agar mampu mengambil manfaat tanpa mengorbankan masa depan anak-anak. Tidak menjadikan orangtua khawatir berlebihan sehingga menarik diri sama sekali, atau justru menjadi korban eksploitasi dunia digital. Mampu memanfaatkan dengan bijaksana, tidak adiksi, kehilangan fokus atau bahkan bersifat toksik. Sebaliknya, mampu mengambil sebanyak manfaat yang diberikan untuk kepentingan umat.
Referensi
L. Admojo, Pilar B. P., Yessi O. W., Umi D. Kidfluencer dan Tantangan Orang Tua Era Digital: Tinjauan fiqh islam, aspek psikologis anak dan literasi digital untuk generasi masa depan peradaban. Kidfluencer Online Survey Report. Departemen Media dan Dakwah Digital, Institut Muslimah Negarawan. Riset Semester II. Desember 2021. https://www.imune.id
Dokumenter youtube berjudul “Social Media Dangers Documentary — Childhood 2.0”.
Dokumenter BBC Indonesia. Influencer: Bahaya di balik popularitas di media sosial. 2019
Emmi Khaerani. Kidfluencer: tinjauan fiqh islam dan penyiapan generasi era digital. Webinar Kidfluencer seri 1. 1 Januari 2022. Institut Muslimah Negarawan.
Adriano Rusfi. Kidfluencer: antara tantangan psikologis dan potensi pemberdayaan anak era digital. Webinar Kidfluencer seri 2. 16 Januari 2022. Institut Muslimah Negarawan.
Mukhamad Ikhsan. Menggali Potensi Benefit Dunia Digital Ramah Anak. Webinar Kidfluencer seri 3. 23 Januari 2022. Institut Muslimah Negarawan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.