Media Sosial dan Isu Privat
Agama | 2023-09-11 20:27:29
Isu privat beberapa kali menempati trending topik dan viral di media sosial, seperti perselingkuhan, perceraian, KDRT, hingga poligami. Bahkan perbincangan penuh dengan pengungkapan aib hingga mengorek identitas pelaku. Di era digital saat ini, sebuah informasi atau isu dapat dengan mudah tersebar dan menjadi bola liar yang bisa ditangkap oleh siapa saja lalu dilemparkan kembali sesuka hati. Isu yang memancing emosi, isu kontroversi, isu yang melibatkan publik figur selalu mudah memancing netizen untuk merespon. Semakin banyak yang merespon maka semakin luas dan liar persebaran isu tersebut. Disamping itu, daya tarik dan ketidakjelasan dari isu yang beredar yang meningkatkan rasa penasaran netizen, semakin meningkatkan intervensi kegaduhan, terutama di media sosial.
Persebaran Isu Privat di Media Sosial
Personalisasi konten adalah salah satu dampak penggunaan artificial intelligence (AI) di media sosial, yaitu konten yang muncul adalah apa yang paling dicari, dilihat atau disukai untuk ada dalam jejaring dan feed user. Ini yang membuat keterikatan pada medsos semakin kuat (engaging) hingga bisa kecanduan dan dapat memicu escaping, yaitu mengalihkan diri dari realitas, misalnya phubbing (berkumpul tapi tetap fokus di layar HP), lebih suka berinteraksi di media sosial dibandingkan dunia nyata, dan mengetahui perbincangan apa yang menarik di media sosial. Termasuk isu yang mudah viral, diantaranya isu privat.
Media sosial yang awalnya merupakan panggung pengungkapan diri (self-disclouser), selanjutnya membentuk fenomena dimana user jujur berlebihan di media sosial, termasuk hal yang sangat privat. Fenomena berbagi privasi diri hingga curhat berlebih di media sosial disebut juga dengan istilah hyperhonest. Hyperhonest adalah fenomena curahan hati yang berlebihan dimedia sosial, dimana banyak yang menggunakan media sosial dengan mudah mengutarakan isi hatinya melalui status, yang kemudian masalah pribadi tersebut menjadi konsumsi publik. Termasuk isu privat.
Psikolog Henni Andini mengatakan bahwa ada tiga faktor utama dimana seseorang terdorong untuk curhat di media sosial. Pertama adalah memberikan rasa gembira dan senang. Ketika seseorang membagikan cerita tentang dirinya akan mempengaruhi pelepasan hormon endorphin yang memberikan perasaan senang. Kedua, adalah kebutuhan untuk didengarkan. Sebuah riset yang dilakukan oleh New York Times menemukan sebanyak 81% alasan orang-orang membagikan cerita pribadinya di media sosial karena ingin berinteraksi dan menyebarkan pendapatnya sehingga didengarkan oleh publik dan mendapatkan respon. Ketiga, kebutuhan untuk dikenal, dikagumi sekaligus dipuji dan mendapatkan pengakuan atas status sosial dari banyak orang. Terakhir yang juga jadi fenomena adalah kepentingan bisnis. Mendapatkan perhatian, kasusnya viral, menjadi terkenal lalu diliput di berbagai media dan menjadi artis dadakan.
Peran media sosial berbasis AI mendukung persebaran isu menjadi viral karena memungkinkan siapapun bisa berinteraksi dan merespon. Semakin banyak yang merespon sekalipun hanya view maka perbincangan bisa menyebar ke jagad maya, karena AI akan merekomendasikan isu yang ada dalam jejaring pertemanan user dan yang menjadi perhatian dalam jejaring tersebut, sekalipun user sebelumnya tidak mengetahui tentang isu tersebut. Isu menjadi semakin liar ketika masuk ke media-media digital yang aktif memanfaatkan isu viral untuk meningkatkan viewer.
Refleksi Sikap Seorang Muslim dalam Aktivitas Daring
Islam mengatur wilayah kehidupan umum dan kehidupan khusus, dan ruang media sosial berada dalam pengaturan wilayah kehidupan umum. Maka segala hukum kehidupan umum yang berlaku di ruang nyata, juga berlaku di ruang maya. Seperti tidak mengumbar kehidupan pribadi, menutupi aib diri dan keluarga, menjaga interaksi, tidak mempertontonkan aurat dst. Ketikapun ada lingkaran jejaring kita yang membicarakan isu privat kita tidak terpancing untuk ingin tahu, terlebih akhirnya merespon, karena bisa terlibat dalam persebarannya di dunia maya. Membatasi diri untuk membagikan informasi identitas pribadi, karena sekali lagi media sosial adalah ranah publik, terlebih lepas sama sekali dari kontrol negara dalam melindungi data pribadi. Termasuk yang wajib dihindari adalah merekam aktivitas seseorang lalu menyebarkannya tanpa ijin yang bersangkutan, yang sekarang jamak dilakukan netizen. Tentu juga tidak boleh terlibat dalam menyebarkan berita hoaks.
Islam membolehkan pemanfaatan perangkat teknologi yang tidak bertentangan dengan hukum syara. Maka boleh memanfaatkan media sosial untuk kepentingan dakwah, dan menyebarkan kebaikan. Baik dalam konten maupun sikap. Tidak terpancing pada kegaduhan yang tidak bermanfaat, tidak mudah ikut arus dalam tren populer yang tidak produktif dan tidak terjebak pada isu sekedar viral namun tidak berdampak pada kepentingan umat. Sesungguhnya aktivitas bermedia sosial juga kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Selanjutnya adalah membawa isu fenomena digitalisasi ini kepada umat dengan pembahasan komprehensif, karena tidak cukup hanya dengan memberikan tips-tips seputar bermedia sosial dengan aman. Faktanya arus digitalisasi telah dikendalikan oleh industri berskala global yang saat ini bahkan tidak bisa dikontrol oleh kekuatan negara. Karena dalam iklim kapitalisme, kekuatan negara dibawah kendali oligarki digital, yang akhirnya tak bisa diharapkan untuk melindungi kepentingan umat, termasuk menjaga umat dari penjajahan budaya melalui industri digital. Termasuk tren curhat berlebihan di media sosial, prank, mengumbar privasi, dan konten-konten yang sekedar demi mengejar cuan, viewer dan follower.
Referensi
Radja Erland Hamzah dan Citra Eka Putri. Analisis Self-Disclosure pada Fenomena Hyperhonest di Media Sosial. Jurnal Pustaka Komunikasi, Volume 3, No. 2, September 2020, 221-229
Dewi Novianti & Siti Fatonah.Budaya Literasi Media Digital pada Ibu-Ibu Rumah Tangga. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, Vol. 21 No. 02, Desember 2019
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
