Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Komunitas Ujung Pena

Krisis Pangan Melanda Dunia, Mampukah Indonesia Menghadapinya?

Info Terkini | Saturday, 09 Sep 2023, 23:15 WIB
Ari Nurainun, SE

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut ancaman krisis pangan sebagai dampak dari perubahan iklim bukan sekadar isapan jempol. Menurutnya, kencangnya laju perubahan iklim berdampak pada ketahanan pangan nasional akibat hasil panen menurun hingga gagal tanam.

Dalam acara Focus Grup Discussion (FGD) Perhimpunan Agronomi Indonesia Dwikorita mengatakan suhu atau temperatur bumi secara global saat ini naik 1,2 derajat celsius. Angka tersebut dipandang sebagai angka yang kecil, padahal itu adalah angka yang besar dan mematikan. Banyak fenomena ekstrem, bencana hidro-meteorologi yang diakibatkan pemanasan global.

Selain itu menurutnya, bencana kelaparan sebagaimana yang diprediksi organisasi pangan dunia FAO akan terjadi di tahun 2050 adalah ancaman nyata. Situasi ini bukan hanya menjadi ancaman bagi Indonesia atau terbatas negara-negara berkembang saja. Melainkan seluruh negara-negara dunia menghadapi ancaman yang sama jika tidak ada langkah kongkrit untuk mengatasi krisis iklim.

Tahun 2050 mendatang jumlah penduduk dunia diperkirakan menembus angka 10 miliar. Jika ketahanan pangan negara-negara di dunia lemah, maka akan terjadi bencana kelaparan akibat jumlah produksi pangan yang terus menurun sebagai dampak dari perubahan iklim.

Dwikorita menuturkan, tidak sedikit yang beranggapan bahwa ancaman perubahan iklim dan krisis pangan belum terlalu terlihat di Indonesia, karena ketersediaan sumber daya alam masih cukup melimpah dan kondisi geografis Indonesia yang memungkinkan produksi pertanian tetap berjalan sepanjang tahun.

Namun, kata dia, jika situasi iklim global saat ini tidak direspon secara serius maka Indonesia bisa terlambat untuk mengantisipasi bencana kelaparan pada tahun 2050. Ketahanan pangan nasional Indonesia, lanjut Dwikorita, dihadapkan pada tantangan besar berupa kenaikan populasi penduduk di tengah produksi pangan yang cenderung stagnan.

Strategi Pemerintah Menghadapi krisis pangan

Demi mencegah ancaman krisis pangan, Presiden Joko Widodo menggagas program Food Estate di berbagai wilayah, termasuk Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Nusa Tenggara Timur.

Food estate atau lumbung pangan merupakan salah satu Program Strategis Nasional 2020-2024 guna membangun lumbung pangan nasional pada lahan seluas 165.000 ha. Pada tahun 2020, dikerjakan seluas 30.000 ha sebagai model percontohan penerapan teknologi pertanian 4.0.

Komoditi prioritas yang dikembangkan dalam program food estate meliputi padi, jagung, kedelai, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, sorgum, buah-buahan, sayur-sayuran, sagu, kelapa sawit, tebu, dan ternak sapi atau ayam.

Namun, berbagai program Food Estate dinilai gagal. Berikut ini Catatan Merah Program Food Estate

1. Kalimantan Tengah (Komoditas: Padi dan Singkong)

Luas potensial di lokasi Eks-PLG sebesar 43.500 ha dengan fokus penanganan di Blok A 29.280 ha.

Dua tahun berjalan di Kalteng, Food Estate hasilnya gagal. Perkebunan singkong seluas 600 hektare mangkrak dan 17.000 hektare sawah baru tak kunjung panen.

2. Sumatra Utara (Komoditas: bawang merah, bawang putih, kentang)

Luas yang sudah dilakukan penanganan 1.000 ha, dengan luas efektif yang akan dikelola 748,6 ha.

Sejak penanaman tahap awal pada 2020 menuturkan, ratusan hektar lahan Food Estate dinyatakan telah ditinggalkan para petani lantaran tak sanggup lagi menanam usai gagal panen.

3. Nusa Tenggara Timur (Komoditas: Sorgum, Jagung, Tomat, Kacang Hijau)

Food estate NTT tersebar di 3 lokasi, yaitu:

a. Kabupaten Belu

• Luas potensial 365 ha, dan sudah ditanami 43,9 ha (3,3 ha

untuk Sorgum dan seluas 40,6 ha untuk Jagung).

b. Kabupaten Sumba Tengah

• Luas potensial 6.100 ha.

c. Kabupaten Sumba Timur

• Luas potensial 900 ha di Kec. Pandawai (400 ha) dan Kec. Umalulu (500 ha) untuk sorgum.

Tanaman Jagung di lahan Food Estate di Kabupaten Belu, Provinsi NTT, mati hanya berselang satu bulan setelah ditanam Presiden Joko Widodo pada April 2022 lalu. Alasannya ialah sistem irigasi sprinkle yang dibangun Kementerian PUPR melalui Satuan Kerja (Satker) Balai Wilayah Sungai (BWS) NTT tidak berfungsi dengan baik dan bahkan mubazir.

Kebijakan Salah Sasaran

kebijakan Food Estate tidak akan mampu mengatasi krisis pangan. Pasalnya kebijakan ini tak lepas dari paradigma kapitalis sekuler, yaitu meningkatkan produksi pangan untuk target bisnis korporasi.

Padahal permasalahan krisis pangan dunia, termasuk di Indonesia saat ini adalah timpangnya akses masyarakat terhadap pangan. Pendapatan masyarakat tidak cukup untuk membeli dan memenuhi kebutuhan pangan bergizi.

Selama ini negara hanya menjalankan peran sebagai regulator bukan pelayan rakyat. Di tambah lagi fokus regulasi pemerintah adalah untuk pertumbuhan ekonomi. Pangan dipandang sebagai komoditas bisnis para kapital bukan hajat hidup rakyat yang harus dipenuhi negara.

Selain itu kajian kebijakan ini tergolong premature dan patut dipertanyakan. Karena fakta sejarah menunjukkan proyek dengan model food estate sudah dimulai dari zaman Soeharto hingga SBY , dan semuanya terbukti gagal. Kenapa rezim Jokowi masih ngotot mengulanginya lagi?

Padahal, anggaran untuk Food Estate sangat besar, yaitu Rp1,2 triliun pada 2021—2022 oleh Kementan. Bahkan, pada 2023 ini disiapkan Rp2,3 triliun.

Hal yang tampak menonjol dalam program ini justru menyiapkan infrastruktur untuk investor. Bukan untuk pemerataan kebutuhan pangan rakyat. Jadi, narasi Food Estate untuk mengatasi krisis pangan hanya gimik.

Perubahan Paradigma

Untuk mengatasi krisis pangan dan mewujudkan ketahanan pangan harus terjadi perubahan paradigma berfikir. Dari paradigma kapitalis sekuler menjadi paradigma Islam.

Ada tiga poin utama untuk menyelesaikan persoalan krisis pangan dengan sudut padang Islam.

Pertama, Islam memandang masalah pangan adalah hajat hidup rakyat yang harus dipenuhi negara karena negara adalah pelayan rakyat. Negara harus memastikan individu per individu rakyat terpenuhi kebutuhan pangannya bukan rata-rata. Sehingga negara harus menyiapkan lapangan kerja bagi seluruh rakyat, terutama bagi laki-laki yang sudah baligh.

Termasuk di dalamnya adalah pemberian tanah-tanah milik negara kepada petani seluas yang mampu ia kelola. Dengan konsep ini tidak ada warga negara yang pengangguran sehingga memiliki pendapatan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Jika ada yang tidak mampu bekerja seperti cacat, janda dan sejenisnya, maka negara menyiapkan anggaran kebutuhan pangan mereka dari kas baitul mal.

Kedua, arah pembangunan Islam dalam hal pangan adalah mewujudkan negara mandiri, kuat dan terdepan. Pangan harus diproduksi secara mandiri bukan impor. Fokus utamanya adalah terpenuhinya kebutuhan rakyat khilafah baik muslim maupun non muslim. Jika ada kelebihan,hasilnya bisa diekspor

Jika pertanian butuh bantuan bibit, pupuk dan sejenisnya untuk intensifikasi, maka negara akan memberikan bantuan (subsidi) dari anggaran baitul mal. Begitu juga di sektor peternakan, perikanan dan lain sebagainya.

Ketiga, dalam pengelolaan lahan, laut atau hutan untuk memenuhi kebutuhan pangan juga memperhatikan aspek lingkungan. Tidak mengejar eksploitasi industri dan korporasi seperti saat ini yang mengejar target produksi, sehingga memprovokasi masyarakat untuk melakukan konsumerisme. Islam memandang pemenuhan kebutuhan pangan adalah salah satu upaya agar badan setiap muslim bisa tetap sehat untuk beribadah kepada Allah dan menyebarkan Islam (dakwah) sehingga kebutuhan pangan setiap individu tidak berlebihan. Hanya dengan kebijakan inilah krisis pangan akan dapat teratasi. Wallahu'alam bi showab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image