Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dimas Muhammad Erlangga

Bahaya Skeptisisme Terhadap Dunia Politik

Politik | Wednesday, 06 Sep 2023, 14:53 WIB

Citra DPR memang sudah terlanjur ambruk. Beberapa saat setelah DPR Terpilih 2019-2024 dilantik 1 Oktober 2019, DPR sudah menjadi produsen produk produk kontroversial : Omnibus Law, salah satunya. Begitu buruknya citra yang melekat di DPR, sehingga semua partai politik di DPR pun tak satupun yang lepas dari gambaran negatif.

Buruknya citra politisi atau partai politik, sekalipun banyak fakta yang menunjukkan begitu, tidak bisa juga dilepaskan dari agenda politik kaum neoliberal. Salah satu agenda politik kaum neoliberal adalah melakukan proses depolitasi. Agenda tersebut dijalankan, sekalipun bukan satu-satunya, dengan menggunakan media massa dan LSM/NGO.

Selain itu, hampir semua partai politik di Indonesia saat ini berakar dari tradisi politik tradisional-kanan garis keras sejak tahun 1966. Sebagian besar partai-partai tersebut, sekalipun ada individu yang baik dan bersih, dibesarkan oleh politik klientalisme, korupsi-kolusi-nepotisme (KKN) dan Oligarki. Begitu mereka diberi kesempatan berkuasa, maka insting politiknya adalah memperkaya diri, membangun klik kekuasaan, memperlebar jaringan bisnis, dan lain-lain.

Begitulah, dari pemilu ke pemilu, rakyat marhaen tidak pernah melihat perubahan. Mereka hanya melihat harapan, tetapi tidak pernah bertemu dengan kenyataan. Oleh karena itu, skeptisisme terhadap politik harus pula dipandang sebagai sebuah penolakan terhadap bentuk politik tradisional kanan garis keras.

Akibatnya, kita sekarang ini hidup di tengah sebuah gelombang naik skeptisisme terhadap partai politik dan politik itu sendiri. Dalam situasi yang seperti itu, lembaga-lembaga politik yang sudah kehilangan kredibilitas itu terus-menerus melahirkan ratusan hingga ribuan kebijakan yang menindas. Sementara rakyat marhaen, karena sudah terlanjur kehilangan alat politiknya, tidak bisa melakukan perlawanan yang sifatnya signifikan.

Lebih parah lagi, sebagian besar kebijakan menindas itu, meskipun diputuskan melalui DPR, tetapi digodok begitu lama oleh kelompok di luar partai politik—biasanya kelompok bisnis, konsultan politik, dan kaum prefosional. Ole karena itu, ada kecenderungan bahwa proyek depolitisasi berarti menyingkirkan para politisi—orang-orang yang berhubungan dengan konstituen—dalam proses perumusan dan pengambilan kebijakan.

Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa depolitisasi merupakan gaya berpolitik dari kelas dominan sekarang ini. Sebuah cara yang ditujukan untuk mempersingkat pengambilan kebijakan, tanpa melalui perdebatan para politisi dan tanpa melibatkan partisipasi rakyat marhaen.

Pada aspek lain, ketika para politisi sudah tidak lagi dipercaya atau sudah rusak secara moral, maka kelas dominan akan memasukkan “kaum profesional” atau teknokrat sebagai pengganti politisi ini. Untuk diketahui, sebagian besar kaum professional ini adalah orang-orang cerdas tanpa moral kerakyatan sedikitpun; Mereka dididik rasionalisme pasar dan logika profit berpuluh-puluh tahun di negeri-negeri imperialis-kolonialis; mereka sangat anti terhadap nasionalisme dan populisme. Para teknokrat atau professional ini, lebih buruk dari para politisi yang digantikannya, memutuskan kebijakan hanya dengan angka statistik, peta buta, dan pertimbangan-pertimbangan ekonomis.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image