Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Mohamad Fadhilah Zein

Cerpen: Anies, Apakah Kamu Meninggalkanku?

Sastra | 2023-09-05 17:22:40
Ketika kita digelapkan oleh asmara, apakah air yang putih berasa arak?

Di tahun 80an, surat cinta adalah penantian rindu tiada berkesudahan. Sepasang kekasih yang dimabuk asmara, menuliskan kata-kata indah di dalamnya. “When you fall in love you will become a poet”, begitu kata orang bule. Ketika kita jatuh cinta, maka kita akan menjadi pujangga. Asmara yang tertulis bisa membangkitkan gairah. Lebih dahsyat dari pelukan kekasih. Membacanya di kamar yang temaram, melahirkan sensasi fantasi percintaan. Tapi, bagaimana jika surat yang dinantikan itu tak kunjung tiba? Membuat hati syak wasangka. Itulah yang terjadi padaku kini.

Sudah lima bulan ini, Anies Surya Saputra tidak mengirim surat kepadaku. Aku menunggu tukang pos menyampaikan kabar gembira. Tapi, tetap saja yang ditunggu-tunggu, tak kunjung datang. Biasanya, kami berbalas surat satu bulan sekali. Jarak yang jauh tidak memupuskan harapan kami untuk mengukir mahligai cinta. Satu-satunya cara kami melepas rindu adalah berkirim surat. Begitulah.

Dia insinyur perminyakan yang bekerja di Timur Tengah. Sudah dua tahun di negeri orang. Anies bekerja di lepas pantai salah satu negara penghasil minyak terbesar di dunia. Gajinya fantastis, gaya hidupnya pun modis. Naik pesawat terbang adalah hal biasa, di mana rakyat biasa hanya bisa menatapnya di langit yang tinggi. Anies sudah menikmatinya bersama burung-burung yang mengepakkan sayapnya.

Pertemuanku pertama kali dengannya terjadi di kampus ternama di Jakarta. Kami memang kuliah di tempat yang sama, tapi beda jurusan. Benih-benih cinta tumbuh karena dia ganteng, populer dan sosok pemimpin organisasi mahasiswa. Tubuh tegap, aktif, komunikatif dan yang penting, senyumnya selalu menawan. Dia selalu dipercaya dosen untuk membantunya mengajar. Memang cerdas orangnya. Tidak heran jika selepas kuliah, Anies mudah mendapatkan pekerjaan. Tidak main-main, pekerjaan prestisius dengan bayaran yang membius. Semua orang rela melakukan apa saja untuk mendapatkan posisi itu, tapi tidak mudah tentunya.

Kami tidak sengaja saling tatap saat di kantin kampus. Dia mahasiswa tingkat akhir di jurusan geologi, sementara aku adalah calon guru. Darahku terkesiap menatap hitam bola matanya. Tatapan tajam tapi teduh. Mata elang, sebutannya. Akupun cepat-cepat tertunduk, hingga pipi merona merah. Tak disangka, dia justru menghampiriku. Akupun kian kikuk.

“Hai, aku Anies,” katanya sambil tersenyum.

Aku tidak menyangka dia benar-benar menyapaku. Dua sahabatku senyum-senyum kecil saling pandang. Merekapun perlahan menyingkir seolah mempersilakan Anies mendekatiku. Aku berusaha menahan keduanya, tapi apa daya, mereka lebih cepat. Aku tercekat dalam diam. Bingung mau apa. Akhirnya, aku hanya menyedot es teh manis yang memang sudah habis.

“Lho, kok bengong?”

“Eh, iya. Apa ya?” Aku terkesiap.

Secara tidak sengaja, kami kembali saling pandang. Aku merasakan pipiku kian membara. Semakin merah. Ah, aku ngga kuat. Aku kembali menunduk menahan rasa malu.

“Kamu jurusan apa?”

“Oh, di keguruan,” kataku singkat.

Gunung es yang membeku di hatiku mulai meleleh perlahan. Rasa dingin mulai menghangat. Yang awalnya canggung, kini malah tak terbendung. Tak membutuhkan waktu lama, kami akhirnya bisa bercakap-cakap cukup lama. Diselingi tawa dan canda. Bahkan, ketika kantin mulai sepi, kami berdua masih asyik berbincang. Sejak saat itu, kami semakin akrab. Anies pun mulai berani datang ke rumah. Berkenalan dengan papa dan mama.

‘Kamu tinggal dimana?” Papaku bertanya.

“Di Paseban, Om.”

“Wah, lumayan jauh dong.”

“Sekali naik metro, om.”

Papaku mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan menyelidik. Dia paling ngga suka kalau ada teman laki-laki datang ke rumah. Tapi, Anies berbeda. Dia bisa membawa diri. Sehari dua hari, papa masih sedikit galak menyambutnya. Namun, setelah kami jadian setahun belakangan, papa dan mamaku mulai membiarkan kami jalan berdua. Apalagi, Anies sosok yang bisa menjagaku. Mamaku senang aku punya pacar yang ganteng dan dewasa.

“Coba kamu tanya, kapan dia mau melamar?” tanya mamaku suatu saat.

“Ah, mama. Aku kan malu nanya begitu,” pungkasku.

“Ya, normal toh. Kamu sudah lulus kuliah, dia sudah bekerja. Apalagi yang ditunggu?”

Aku hanya terdiam. Seorang perempuan tentu dianggap tidak sopan bertanya kapan dirinya akan dilamar. Toh, memang laki-laki yang seharusnya datang. Dalam sanubari terdalam, aku memang berharap bisa mengakhiri kesendirianku. Pertanyaan “kapan nikah” menjadi teror tersendiri. Jengah rasanya ditanya begitu terus. Mulai dari papa mama hingga tanteku yang jumlahnya banyak. Kalau ada acara keluarga besar, aku menghindar mencari alasan dan kesibukan lain. Hingga waktu yang ditunggu itu datang ketika aku dan Anies menghabiskan waktu ke Pasar Senen.

“Tidak terasa sudah setahun lebih kita jadian. Bagaimana menurutmu?” Anies memulai percakapan.

“Apanya yang bagaimana?” tanyaku.

“Apa kita tidak ingin ke jenjang yang lebih serius?”

“’Terserah saja. Aku kan perempuan, aku ikut kamu.”

“Kamu mau ngga menikah sama aku?”

Aku terdiam seribu bahasa. Hanya bisa menatap matanya yang teduh. Ditanya seperti itu, seperti ada petir yang menyambar di atas kepala. Pertanyaan will you marry me?, yang hanya aku dapatkan ketika membaca novel-novel percintaan. Biasanya, pria berlutut kepada wanita sambil memasangkan cincin di jemari manisnya. Kini, pertanyaan itu ditanyakan kepadaku, meski tanpa cincin.

“Kok diam?”

Dalam hati aku ingin teriak “aku ingin”, tapi tetap saja tak ada kata-kata yang keluar. Anies menggenggam jemari tanganku. Perlahan dia mengecup keningku. Angin sore yang berhembus sedikit kencang memainkan rambutku. Aku terpejam dan menikmati betapa syahdunya kecupan pria yang kukagumi itu. Dia paham bahwa diamnya diriku adalah setuju.

“Aku akan ke papa dan mama untuk menyatakan lamaran ya,” katanya.

Aku pun kembali membisu sambil menatap matanya. Ada sungai mengalir dari kedua mataku. Air mata bahagia.

*******

“Kantorku mengirimku ke Kuwait,” Anies memulai perbincangan.

“Kenapa?” tanyaku.

“Ada kontrak untuk eksplorasi minyak di sana?”

“Berapa lama?”

“Tiga tahun”

“Lama sekali? Lalu hubungan kita bagaimana?”

“Jangan khawatir. Kita tetap pada rencana semula, aku akan mengirim surat kepadamu sebulan sekali.”

Itu adalah ucapannya sebelum dia benar-benar berangkat. Aku mengantarnya ke Kemayoran menuju pesawat yang tidak terlalu penuh penumpang. Saat itu masih pagi ketika ruang tunggu masih sepi. Aku menyaksikan langkahnya menuju pesawat. Tangga pesawat menjadi saksi ketika dia melambaikan tangannya kepadaku. Dari kejauhan akupun membalas lambaiannya. Tiga puluh hari kemudian, surat pertamanya penuh dengan mutiara yang puitis. Dia menepati janjinya untuk mengirim surat sebulan sekali. Tulisan tangan bertinta biru di atas secarik kertas putih yang diberi parfum. Aku menciumnya berkali-kali membayangkan parfum yang biasa disemprotkan ke tubuhnya.

Cintaku, apa yang engkau tahu tentang jarak?

Ketika kita digelapkan oleh asmara, apakah air yang putih berasa arak?

Memabukkan dan menggelorakan syahwat

Kita memang berjauhan, tapi itu kisah kita yang bercorak

Suaraku memanggilmu, entah dalam keheningan atau dalam sorak.

Cintaku, tanganku bergetar menuliskan kata-kata hingga meja berderak

Dalamnya lautan, tidak sedalam pantai. Tapi, percayalah awan di langit tetap mengarak

Benar kata pepatah, ketika seseorang jatuh cinta, maka dia akan menjadi pujangga. Anies mampu menyusun kata-kata puitis yang memabukkan. Suratnya masih aku terima hingga bulan keenam. Aku menyimpan semuanya di lemari. Namun, pada bulan ketujuh, surat yang kutunggu tidak juga datang. Padahal, aku senantiasa membalasnya, tapi tentunya tidak puitis. Aku selalu berdiri di pintu depan rumah berharap tukang pos menyebut namaku. Namun, tidak juga datang yang diharapkan. Papa dan mamaku merasakan kekhawatiranku.

Di dalam kamar, aku hanya bisa menangis. Mataku nanar pandanganku gelap. Aku bertanya apa yang terjadi dengan pria yang kusayangi. Mengapa tiada kabar, tiada berkirim surat seperti biasanya. Dalam pembaringan, aku memeluk salah satu suratnya. Mengapa Anies? Apakah kamu meninggalkanku? Apakah kamu melupakanku? (*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image