Bintang di Puncak Bukit
Sastra | 2024-12-15 23:38:23Oleh Trafalgar D. Law
Malam itu dingin. Angin dari puncak bukit berembus kencang, menggoyangkan dedaunan dan memecah kesunyian dengan gemerisik lembut. Di atas bukit, seorang pria muda bernama Jaka berdiri, memandang ke arah langit yang penuh bintang. Tangannya gemetar, bukan karena dingin, tetapi karena emosi yang sulit ia ungkapkan.
Ini adalah puncak pertama yang ia daki dalam hidupnya.
"Jaka! Ayo cepat, bawa sini nasinya!" suara Bayu memanggil dari dekat api unggun kecil yang mereka buat. Jaka tersentak dari lamunannya, lalu berjalan mendekati Bayu yang sedang sibuk menyiapkan kopi di atas api.
"Nih, masih hangat," kata Jaka sambil menyerahkan nasi bungkus yang ia bawa.
Bayu menyeringai. "Tahu nggak, Jak? Kalau kita nggak capek begini, makanan biasa jadi terasa kayak hidangan restoran mahal."
Jaka tertawa kecil, lalu duduk di samping Bayu. "Kalau gitu, kenapa nggak tiap hari aja kita capek? Supaya makan enak terus."
Bayu menggeleng sambil menyesap kopinya. "Capeknya cuma enak kalau ada hasil, Jak. Lihat ini." Ia menunjuk ke arah langit malam yang dipenuhi bintang. "Ini hasilnya. Nggak semua orang bisa menikmati pemandangan kayak gini. Kamu tahu nggak, waktu aku pertama kali mendaki gunung, aku hampir menyerah di tengah jalan."
"Kamu? Menyerah? Nggak mungkin." Jaka melirik Bayu, setengah tidak percaya.
"Iya, beneran. Waktu itu, aku pikir buat apa susah-susah naik ke tempat tinggi cuma buat capek-capek. Tapi tahu nggak, pas aku sampai puncak dan lihat awan di bawahku, semua rasa capek itu hilang. Aku sadar, ada hal-hal dalam hidup yang cuma bisa kita nikmati kalau kita mau berjuang sedikit lebih keras."
Jaka terdiam sejenak, merenungi ucapan Bayu. "Aku tahu apa maksudmu. Rasanya aneh, ya. Aku nggak pernah berpikir bisa sampai di sini. Tapi sekarang aku di sini, rasanya kayak aku bisa lebih dari ini."
Bayu tersenyum lebar. "Itu namanya kemenangan kecil, Jak. Setiap puncak yang kamu capai, sekecil apapun, bakal bikin kamu sadar kalau kamu bisa lebih besar dari rasa takut atau ragu kamu sendiri."
Jaka memandang Bayu dengan mata penuh rasa ingin tahu. "Kamu selalu ngomong kayak gitu. Tapi apa nggak pernah ada momen di mana kamu benar-benar nggak yakin sama diri sendiri?"
Bayu menghela napas. "Sering, Jak. Hidup ini nggak selalu gampang. Tapi setiap kali aku ragu, aku cuma ingat satu hal—aku lebih baik mencoba dan gagal daripada nggak mencoba sama sekali."
Mendengar itu, Jaka tersenyum kecil. "Kalau begitu, aku juga mau terus mencoba. Mungkin suatu hari nanti, aku bisa sampai ke puncak yang lebih tinggi."
Bayu menepuk bahu Jaka. "Itu baru namanya sahabatku. Tapi inget, Jak. Pendakian itu bukan cuma soal sampai ke puncak. Nikmati juga perjalanannya, semua langkah dan perjuangan yang kamu lewati. Karena itu yang bikin puncak terasa lebih berarti."
Jaka mengangguk pelan, lalu memandang ke langit. "Bayu, menurutmu, kalau aku bisa mendaki gunung yang lebih tinggi, apa itu artinya aku bisa mencapai apa pun yang aku mau dalam hidupku?"
Bayu tersenyum bijak. "Bisa, Jak. Selama kamu percaya sama dirimu sendiri, nggak ada yang nggak mungkin. Tapi satu hal yang harus kamu ingat, kadang puncak tertinggi itu bukan yang ada di depan mata. Kadang, itu ada di dalam hati kita sendiri."
Mereka terdiam sejenak, menikmati kehangatan api unggun dan keindahan bintang-bintang di langit. Angin malam berembus, membawa serta mimpi-mimpi baru ke hati Jaka.
Malam itu, ia tidak hanya menemukan puncak bukit, tetapi juga keberanian untuk terus mendaki, dalam hidup dan dalam mimpi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.