Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syarifah Lestari

Setelah Delapan Tahun

Sastra | Monday, 04 Sep 2023, 18:26 WIB

“Mbak, saya bisa tanya-tanya nggak?”

“Tanya apa, Bu?” Mai mendekat sedikit, pada ibu yang menyapanya.

“Agama.”

“Oh, maaf. Ilmu saya sedikit,” tolaknya halus.

“Nggak berat kok, Mbak. Kalau dilihat dari jilbabnya, Mbak pasti bisa jawab.”

“Ya deh, mudah-mudahan. Kalau nggak bisa jangan kecewa, ya, Bu. Insyaallah saya cari tahu dulu ke yang berilmu.”

Si ibu mengangguk cepat.

“Apa hukumnya memukul suami?”

“Hah?”

“Iya, Mbak. Saya sering memukul suami, karena dia yang mukul saya duluan.”

Mai masih terdiam. Apanya yang nggak berat?

“Sudah delapan tahun kami nikah. Setiap marah, suami selalu memukul. Kalau tidak saya balas, habislah saya.” Pelan-pelan ada air menggenang di matanya.

“Ibu bertahan demi anak?”

“Kami belum punya anak. Itu juga yang membuat dia sering marah ke saya. Katanya saya mandul!”

“Kenapa tidak diceraikannya saja?”

“Saya nggak mau.”

Ingin mengumpat, tapi Mai menahan lidahnya mati-matian.

“Iya, Mbak. Saya bodoh. Semua orang akan berpikir begitu. Sekarang yang perlu saya tahu, apa hukumnya memukul suami?”

“Saya nggak tahu, Bu. Saya cari tahu dulu ke guru saya, ya. Minta nomor WA Ibu, insyaallah nanti saya kabari.”

Mereka pun bertukar nomor Whatsapp, kemudian berpisah dengan janji akan saling mengabari.

Mai langsung pulang. Ia bertemu Bu Nana, yang tadi bertanya, di sebuah acara pemberdayaan UMKM. Mai sendiri bukan pelaku UMKM, ia hanya perempuan kurang kerjaan yang tengah menghabiskan waktu. Cari ilmu murah, kalau perlu gratis, ke sana kemari.

Hanya karena jilbab lebar, tiba-tiba seorang ibu dengan mudah membeberkan aib rumah tangga padanya. Dan sekarang, siapa guru Mai?

Hukum memukul suami, Mai mengetik di kolom pencarian Google.

Semua artikel di halaman pertama tidak sesuai dengan masalah yang dihadapi Bu Nana. Mai beralih ke Youtube, hasilnya lebih kurang sama.

“Tanya siapa lagi?” bisiknya pada ponsel.

Tiba-tiba seperti ada bohlam menyala di kepalanya, Mai segera mengirim pesan pada Bu Nana.

Besok saya jemput ya, Bu. Kita konsultasi ke ahlinya.

Saya tunggu jam 4 sore di tempat kemarin ya, Mbak. Jangan di rumah, nanti ketahuan suami!

Mai memberi reaksi tanda setuju.

Sore, ketika matahari musim kemarau masih enggan turun. Mai melaju dengan mobil peninggalan suaminya, menuju tempat yang disepakati bersama Bu Nana. Sebelum ke sana, ia sudah lebih dulu menjemput Novi, seorang aktivis perempuan yang dikenal Mai kerap memberi konseling pada korban KDRT.

“Nanti dia kita arahkan untuk lapor polisi, ya. Biar berkurang bodohnya.”

“Sembarangan! Kita kejar kesehatan mentalnya dulu. Mau ke polisi atau nggak, itu hak dia.” Novi mengoreksi Mai.

“Padahal bagusnya si laki digebukin penghuni penjara yang lain.”

“Maumu!”

Mobil berhenti di parkiran gedung, tempat yang sebelumnya dijadikan lokasi berkumpulnya perwakilan UMKM. Mai dan Novi celingukan. Sepi.

Mai segera melakukan panggilan, telepon biasa dan Whatsapp bergantian. Tidak ada jawaban. Novi masih menyapu pandangan, memastikan tak ada yang terlewat. Nihil, tidak ada perempuan yang cirinya sama dengan yang digambarkan Mai.

“Coba kita susul ke rumahnya, katanya di dekat sini.” Mai menyalakan mesin mobil.

“Ada petunjuk lokasi tepatnya?”

“Nggak. Kita muter-muter aja dulu, siapa tahu ada hasil.”

Mobil bergerak pelan, menuju permukiman terdekat. Kemacetan menyambut mereka.

“Ada orang meninggal, mungkin ini yang bikin Bu Nana gak bisa keluar,” tebak Mai.

“Balik lagi aja ke gedung tadi. Mungkin dia terlambat.”

Mai menurut.

“Sepertinya yang meninggal keluarga polisi.” Novi ikut menebak.

Mai berhasil putar balik, meninggalkan keramaian di belakangnya.

Bendera kuning di gerbang perumahan melambai-lambai, garis polisi melingkar di rumah Bu Nana.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image