AI dalam Pilpres 2024, Navigasi Cerdas atau Lengkungan Tikus?
Lomba | 2023-08-31 22:44:40Pagi itu, sebelum berangkat kerja saya menonton tayangan olahraga di salah satu TV swasta. Ketika acara tersebut selesai dan akan berganti ke tayangan berita, tampak sebuah tayangan singkat yang menampilkan pernyataan Mao Zedong, seorang tokoh politik terkenal asal Tiongkok yang menyatakan bahwa: “Politik adalah perang tanpa pertumpahan darah, sedangkan perang adalah politik dengan pertumpahan darah”.
Membaca pernyataan tersebut, membuat saya teringat kembali akan hal-hal yang mewarnai kondisi Pemilihan Presiden (Pilpres) RI 2019. Dimana terjadi saling hujat, saling serang antara kubu pendukung masing-masing Capres, baik secara terang-terangan maupun di dunia maya.
Bahkan saat itu ramai istilah-istilah yang muncul di dunia maya, seperti Cebong, Kampret, Buzzer RP dan Kadrun. Istilah tersebut sering digunakan untuk saling menyerang bahkan menghujat antar pendukung atau simpatisan Capres saat itu, yaitu Jokowi dan Prabowo.
Salah satu institusi independen di Indonesia, Drone Emprit dan Media Kernels Indonesia, telah mencatat interaksi di media Twitter yang berkaitan dengan penggunaan kata “Cebong” dan “Kampret”.
Penelitian ini mengungkapkan bahwa kemunculan istilah “Cebong” sangat berkaitan dengan para pendukung Jokowi yang dimulai sejak bulan Juni 2015. Sementara itu, penggunaan istilah “Kampret” yang mengacu pada pendukung Prabowo pertama kali muncul pada Oktober 2015. Hal ini bisa dianggap sebagai respon terhadap panggilan “Cebong” yang ditujukan kepada para pendukung Jokowi.
Pemilihan Presiden Indonesia telah menjadi landasan penting bagi proses demokrasi yang berkembang di negara ini. Seiring dengan perkembangan teknologi, Pemilu juga mengalami transformasi signifikan, khususnya dengan masuknya kecerdasan buatan (AI) ke dalam ekosistem politik.
Meskipun potensi teknologi AI untuk memperkuat berbagai aspek pemilihan umum sangat menjanjikan, namun di sisi lain, penggunaan AI juga membawa ancaman dan tantangan yang serius terhadap integritas dan keberlanjutan demokrasi. Sehingga tidak menutup kemungkinan hal-hal serupa di Pilpres 2019 akan kembali mewarnai Pilpres tahun 2024 mendatang.
Navigasi Cerdas dalam Pilpres
Dalam era di mana kecerdasan buatan (AI) semakin mengintegrasikan diri ke dalam berbagai aspek kehidupan kita, keberadaan AI telah membawa perubahan besar dalam cara kita berinteraksi dan berkomunikasi secara online. Kemampuannya untuk menganalisis data secara cepat, mengenali pola, dan menghasilkan konten yang menarik telah memungkinkan perang informasi mencapai tingkat yang lebih tinggi.
Indonesia, sebagai salah satu negara terbesar di dunia dengan populasi yang beragam dan sistem politik yang dinamis, selalu menarik perhatian saat memasuki tahun-tahun Pemilihan Presiden. Dalam pelaksanaan Pemilihan Presiden 2024, ada dimensi baru yang memberikan navigasi dalam bentuk kecerdasan buatan (AI) dalam mempengaruhi konstelasi politik dan mengubah cara kita memahami serta melibatkan proses demokrasi.
Salah satu aspek yang menarik adalah bagaimana AI digunakan sebagai sebuah alat yang menjadi navigasi cerdas dalam membantu menganalisis pola dan sentimen yang berkembang di media sosial dan platform daring.
Dalam konteks Pilpres 2024, AI memiliki potensi besar untuk mengubah cara kampanye politik dilakukan dan bagaimana pemilih berinteraksi dengan kandidat. AI dapat digunakan untuk menganalisis data pemilih, mengidentifikasi tren, dan memprediksi preferensi pemilih. Hal ini memungkinkan kandidat dan partai politik untuk menyesuaikan pesan mereka dengan lebih efektif, memahami isu-isu yang penting bagi pemilih, dan membangun strategi kampanye yang lebih canggih.
AI juga dapat digunakan untuk menghasilkan kampanye yang lebih personal dan relevan. Dengan menganalisis data pengguna, kampanye dapat mengoptimalkan pesan dan strategi kampanye berdasarkan preferensi dan karakteristik individu. Ini memiliki potensi untuk meningkatkan keterlibatan pemilih dan memungkinkan kampanye untuk lebih efektif mempengaruhi pandangan politik mereka.
Selain itu, AI juga dapat membantu memperkuat sistem demokrasi dengan meningkatkan partisipasi politik dan pemberdayaan masyarakat. Penerapan teknologi seperti chatbot dan analisis data dapat memfasilitasi dialog politik yang lebih inklusif dan memungkinkan publik untuk memberikan masukan langsung kepada para pemimpin.
Mengutip dari laman futurism.com, adalah Synthetic Party yang merupakan sebuah partai politik di Denmark yang memanfaatkan AI berupa AI chatbot bernama Leaders Lars sebagai aktor utama dan wajah publik partai yang telah dilatih dan dirancang untuk merefleksikan nilai-nilai dari 20 persen warga Denmark yang tidak memilih dalam pemilu.
Masyarakat Denmark dan bahkan internasional, bisa langsung berinteraksi dengan Leader Lars menggunakan aplikasi Discord untuk menyapa dengan “!”. Chatbot AI tersebut dapat memahami bahasa Inggris tapi akan menanggapi dengan bahasa Denmark.
Ancaman Lengkungan Tikus
AI bagaikan dua sisi mata uang, selain memberikan dampak positif dalam pelaksanaan Pilpres 2024, kehadiran AI juga menimbulkan keprihatinan yang serius terhadap integritas Pilpres. Salah satu tantangan terbesar adalah risiko manipulasi dan disinformasi yang dapat dengan mudah disebarluaskan melalui platform digital.
Algoritma AI yang canggih dapat digunakan untuk menciptakan konten palsu yang sulit dibedakan dari informasi yang sah, mengaburkan batas antara fakta dan fiksi. Pemilih dapat dengan mudah tertipu oleh informasi palsu ini, mengarah pada keputusan yang salah dalam pemilihan mereka.
Teknologi AI dapat digunakan untuk membuat konten palsu yang sangat meyakinkan dan sulit dibedakan dari informasi asli. Hal Ini membuka pintu bagi kampanye palsu, pernyataan palsu dari kandidat, dan informasi yang menyesatkan. Pemilih yang terbiasa mengandalkan berita dan informasi digital dapat dengan mudah tertipu oleh konten palsu ini, mengarah pada keraguan dan ketidakpastian dalam proses pemilihan.
Salah satu fenomena yang muncul adalah apa yang dikenal sebagai "lengkungan tikus AI", yang mengacu pada penggunaan algoritma AI untuk mempengaruhi hasil pemilu dengan cara yang lebih halus daripada manipulasi tradisional.
Istilah "lengkungan tikus" merujuk pada fenomena dalam konteks politik yang sering disebut sebagai "Ratfucking." Ratfucking merupakan istilah slang Amerika untuk sabotase politik atau trik kotor, terutama yang berkaitan dengan pemilihan.
Istilah tersebut diperkenalkan pertama kali oleh Bob Woodward dan Carl Bernstein dalam bukunya yang menceritakan laporan investigatif mereka tentang Watergate Scandal, All the President's Men (1974). Hal itu dapat merujuk pada berbagai tindakan, seperti penyebaran informasi palsu, manipulasi media, dan kampanye hitam yang bertujuan untuk mengacaukan atau merusak proses politik lawan atau sistem pemilihan umum.
Lengkungan tikus AI berfokus pada manipulasi suara pemilih dengan cara-cara yang tidak selalu mudah terdeteksi. Hal Ini dapat mencakup analisis mendalam terhadap data pemilih, opini publik, dan tren sosial untuk mengidentifikasi kelompok pemilih yang rentan untuk dipengaruhi. Setelah kelompok ini diidentifikasi, pesan-pesan yang disesuaikan dapat disebarkan melalui media sosial, iklan online, dan platform lainnya untuk membentuk persepsi dan pandangan pemilih.
Mengutip dari electionhouse.org, praktik lengkungan tikus dapat dicontohkan di Pemilu 2019, dimana banyak disinformasi dalam bentuk video. Misalnya video amatir seseorang yang terkesan membuktikan ada kecurangan dalam Sistem Informasi Penghitungan atau Situng KPU.
Bahkan ada juga video amatir rekaman rapat tentang server KPU berada di Singapura. Saat ini, yang beredar adalah video yang dibuat seolah-olah seperti liputan berita, yang tentunya untuk mengedit dan memanupulasi video tersebut bisa dengan menggunakan bantuan AI.
Contoh penggunaan AI sebagai ancaman adalah penggunaan deepfake, di mana pengguna dapat “menempelkan” wajah seseorang ke dalam video yang sama sekali berbeda. Sehingga pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab menggunakan teknologi tersebut untuk memanipulasi konten politik yang dapat merugikan beberapa pihak.
Contoh lainnya adalah penipuan dengan menggunakan tiruan suara yang diciptakan oleh AI, dimana AI biasanya memerlukan rekaman suara target untuk membuat simulasi suara. Menurut Matthew Wright, Direktur ilmu komputer dari Rochester Institute of Technology, menyebutkan bahwa kecerdasan buatan tidak memerlukan sampel suara yang panjang untuk membuat tiruan suara.
Atas tantangan dan ancaman dalam penggunaan AI di agenda Pilpres 2024, tentunya perlu langkah dan strategi yang tepat untuk menghadapinya. Pertama dengan meningkatkan pendidikan dan kesadaran publik tentang penggunaan teknologi AI dalam politik, termasuk potensi penyalahgunaan dan dampaknya terhadap integritas pemilihan.
Kedua, Diperlukan regulasi yang ketat dan transparan dalam penggunaan teknologi AI dalam Pilpres. Regulasi ini harus mencakup penggunaan dan pengawasan terhadap penggunaan AI untuk mencegah penyebaran informasi yang menyesatkan.
Ketiga, perlu adanya Kerjasama antara pihak berwenang dan platform media sosial untuk mengidentifikasi dan menghapus konten palsu yang disebarkan selama pemilihan presiden.
Keempat, memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan teknologi AI dalam pemilihan presiden. Hal ini termasuk pengungkapan penggunaan AI oleh kandidat dan kampanye politik serta pemantauan yang ketat terhadap penggunaan teknologi AI.
#hutrol28 #lombanulisretizen #republikawritingcompetition
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.