Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Czar Daffa Al Farisi

Survivre et Rester Coinc: AI, Dasein dan Krisis Eksistensial

Lomba | 2023-08-31 08:17:17
Gambar 1. AI, Dasein dan Bayangan Kematian

Dentuman Besar Modernitas

AI telah menjadi dentuman besar modernitas. Modernitas adalah sebuah perjanjian, kita semua menandatangani perjanjian ini sejak hari kita dilahirkan.[1] Modernitas menawarkan berbagai kemungkinan luar biasa bagi umat manusia, dan memberikan kepada ‘kita’ sebuah kesempatan baru untuk terlibat langsung menjadi “Tuhan”. Tuhan yang dimaksud disini adalah Tuhan tanda kutip, kita hanya sedang bermain menjadi Tuhan. Rekayasa biologi, senjata kimia, nuklir hingga yang saat ini trend yakni ‘artificial intelligence’ adalah ciptaan manusia-manusia modern. Orang-orang laboratorium menjadi angkuh, dan berani menghidupkan ‘ada’ dari ketiadaan.

Maka AI atau artificial intelligence itu sendiri telah menjadi dentuman besar realitas modern. Lebih dari nuklir, AI membuat potensi laten yang sulit diprediksi. Jika bom nuklir jelas dalam hal kerusakannya bagi umat manusia, ancaman AI begitu bias dan absurd. Kita senantiasa membutuhkannya untuk mempercepat dan mendigdayakan peradaban, di lain sisi AI juga membuat kekhawatiran besar. Salah satu kekhawatiran yang ingin penulis paparkan dalam artikel ini berketerkaitan dengan krisis eksistensial manusia terhadap keberadaan artificial intelligence.

Apa yang Membuat Kita Berbeda?

Kemunculan AI tidak semata-mata mendobrak relung-relung pemikiran mendalam manusia tentang dirinya. Semua orang mengatakan bahwa AI akan menggantikan banyak pekerjaan manusia. Atau mungkin, banyak juga yang berfantasi bahwa AI akan menjadi sebuah entitas ‘serba bisa’ dan ‘serba belajar’, sebuah proses menjadi tahu yang katanya bersifat unik dan hanya dimiliki manusia. Kita menjadi shock, urat-urat syaraf kita menegang. Jika AI bisa berpikir lebih baik, belajar lebih baik, dan jauh bisa memberikan keputusan-keputusan logis yang lebih tepat dibandingkan manusia, apa yang membuat kita berbeda dengannya?

Pertanyaan itulah yang menjadi dasar tulisan ini, bahwa keberadaan AI sebagai puncak dari kecerdasan buatan jauh memberikan dampak eksistensial terhadap manusia. Bagi Heidegger manusia adalah dasein, diambil dari kata seindes yang berarti mengada.[2] Dasein itu sendiri berarti yang ada di sana. Karena manusia tidak sekedar ada, namun berada disana, di dunia atau in-der-welt-sein. Maka keberadaan teknologi sekelas AI yang seakan-akan diciptakan untuk menjadi “kecerdasan buatan” ini memberikan dampak yang sangat besar terhadap eksistensi manusia. Muncul pertanyaan mendasar yang jarang disadari orang yakni “apakah AI juga mengada untuk menanyakan ada?

Kebertubuhan dan Seruan Autentisitas

Berakar dari permasalahan filosofis tersebut, dengan terpaksa kita harus menjangkarkan diri kepada suatu pegangan yang kokoh. Penulis setuju dengan Merleau-Ponty, ia mengatakan bahwa tubuh adalah jangkar eksistensi manusia di dunia.[3] Tubuh biologis menjadi benteng satu-satunya bagi kita dalam memahami dunia. Dengan tubuh dan ‘kesadaran’, menjadikan kita pemilik kuasa atas ‘diri’ untuk menyebut ‘aku’ mengada yang menanyakan ada. Realitas kesadaran ‘ada’ jauh lebih bisa dipahami dengan keberadaan tubuh. Lebih jauh lagi, perbedaan AI dengan manusia adalah potensi-potensi manusia yang tidak dimilikinya. Apakah potensi itu berkaitan dengan sifat perasa seperti yang dikatakan banyak orang? Tentu tidak, dalam dimensi ontologis, yang paling mendasar untuk menjadi pembeda antara manusia dengan AI adalah kemungkinannya untuk ‘mati’.

Karena toh, kita sudah sepatutnya menyerah pada fakta bahwa AI jauh lebih logis daripada manusia. AI dapat mengolah jutaan data dengan sangat cepat, sementara manusia tidak. Manusia malah seringkali membuat pilihan dan keputusan yang melahirkan penderitaan (agony).[4] Namun, kesalahan-kesalahan yang kita buat menjadi bukti bahwa kita insan yang subjektif. Subjektif tidak hanya bermakna ‘kebenaran adalah yang partikular’ semata, subjektif berarti menjadi subjek itu sendiri. Karena itulah, yang dapat diandalkan manusia sekarang adalah senantiasa terus menjadi autentik. Kita sudah kalah jauh dalam berbagai hal dengan AI. Bisa jadi, sekarang orang-orang di laboratorium itulah yang menjadi ‘kesadaran setingkat kucing’ di depannya. Patokan untuk menjadi subjek bukan kecerdasan, namun otentisitas diri dan kemungkinan untuk mati.

Survivre et Rester Coincé

Pada akhirnya kita tahu bahwa apa yang menjadi keunikan manusia dan sandaran atas keberadaan kita adalah sesuatu yang menyedihkan. Kematian telah membudaya, disadari atau tidak kematian akan datang. Manusia mengalami survivre et rester coincé, bertahan dan terjebak. Kita mungkin membangun benteng yang sangat tinggi, namun kita terkepung oleh lautan pasukan musuh. Tak ada jalan keluar, solusi yang ditawarkan para penggila modernitas seperti Yuval Noah Harari dirasa kurang tepat. Jika kita mengatasi kematian dan menjadi cyborg, disaat itu pula kita kehilangan pegangan atas kemanusiaan. Saat ini, yang diharapkan oleh manusia adalah sebuah jaminan, agar AI dapat benar-benar melestarikan peradaban manusia dan menjadi sahabat lama yang saling melengkapi.

Daftar Referensi :

[1] Yuval Noah Harari, Homo Deus : Masa Depan Umat Manusia, 7th ed. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2020).

[2] Fransisco Hardiman, Heidegger Dan Mistik Keseharian, 4th ed. (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2020).

[3] Thomas Hidya Tjaya, Merleau-Ponty Dan Kebertubuhan Manusia, 1st ed. (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2020).

[4] Thomas Tjaya, Kierkegaard Dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, 4th ed. (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2019).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image