Tentang AI: Siapa Mempelajari Siapa?
Teknologi | 2023-08-31 01:07:46
Pertanyaan ‘siapakah manusia' itu, telah berumur tua. Terhitung, semenjak kesadaran manusia telah mencapai tahap waskita-diri: bahwa kita, manusia, sadar jika memiliki kesadaran—sebuah reflective-consciusness.
Kematangan daya-berpikir yang membuat manusia mampu menciptakan berjuta tanya tersebut, berjalan beriringan dengan kemampuan kita menciptakan berbagai alat untuk bisa “mencurangi” alam.
Seperti manusia sejak era Yunani kuno, saat melihat burung-burung melenggang di udara, lalu terpintas angan untuk bisa turut terbang menjajaki angkasa. Kemudian, ribuan tahun setelahnya, Wraigt bersaudara menampakkan diri dalam sejarah. Mereka menciptakan “alat” yang mampu membawa manusia terbang di tahun 1903, dan disambut dengan gegap gempita, walau hanya melayang-layang selama 12 detik. Namun, penemuan itu telah membawa mitos ‘manusia bersayap' menjadi kenyataan—tentu saja, setelah melalui estafet kegagalan purwa-rupa yang begitu banyak dari para pendahulunya.
Pesawat Wright bersaudara adalah satu contoh, dari sekian penemuan besar manusia yang berawal dari mimpi yang nyaris mustahil.
Lalu, lewat kombinasi antara kepala dan tangan yang ajaib, yang sudah terebas sejak spesies hominid pertama kali berjalan dengan dua kaki—diperkirakan sekitar tujuh juta tahun yang lalu—segala mimpi nyaris mustahil itu bisa sedikit demi sedikit diwujudkan, meski tanpa jaminan berhasil.
Akan tetapi, dewasa ini, ada guncangan besar, ketika tangan dan kepala manusia yang selalu dielu-elukan itu, ternyata kelewat ajaib. Hingga mampu melahirkan “alat” yang sama sekali tidak berupa benda. Seperti parade hantu tanpa tubuh. Tetapi kita, manusia modern, begitu ketergantungan terhadapnya: sebuah kecerdasan buatan. Penemuan yang diawali dari gagasan Alan Turing dalam artikel Computing Machinery and Intelligence, yang karenanya, manusia mampu menciptakan rasionalitas di dalam mesin.
Lantas, di mana posisi manusia? Bukankah kecerdasan dan kerumitan bahasa yang kita miliki, adalah sesuatu yang selalu kita banggakan, dan membedakan kita dengan “yang lain”—seperti sangkaan Descartes? Bukankah karenanya juga, banyak di antara kita yang selalu tersinggung, jika dikatakan “salah satu jenis hewan” oleh Charles Darwin? Jika mesin mampu berbahasa, memecahkan masalah, mengingat ribuan kali lebih hebat daripada manusia, lantas, apa yang bisa manusia banggakan lagi?
Ini seperti pengulangan kisah dalam akademi Plato, bahwa manusia, sangka Plato, adalah makhluk berkaki dua yang tanpa bulu. Sebelum Diogenes datang, sambil membawa ayam yang telah digunduli. “Beri salam kepada manusianya Plato,” kata Diogenes. Lalu Plato merevisi lagi, “berkaki dua, gundul, dengan kuku kaki lebar!” tapi definisi Plato saat ini tidak begitu penting.
AI, hadir seperti ayamnya Diogenes. Ia seperti mesin yang meniru keunggulan manusia, namun dalam skala yang berkali-kali lipat lebih baik. Jika sebelum era AI manusia telah bernafas lega dengan bahasa dan kecerdasan sebagai pembeda, maka setelah kehadiran AI, manusia lantas disibukkan kembali untuk mendefinisikan diri sendiri.
Tapi kegundahan macam itu, kata Turing, hanyalah kerapuhan jiwa yang berangkat dari kepercayaan teologis. Rasa takut manusia, sebagai organisme, atas kemungkinan untuk kehilangan posisi puncak penguasaan.
Tapi toh, untuk menjalankan sebuah Artificial Intellegence, perancang memerlukan database informasi yang sangat-amat-banyak, penyimpanan keras yang sangat besar, dan suplai sumber daya energi yang sangat melimpah. Tentu aset yang begitu mahal. Coba bandingkan dengan, ambil saja contoh, mahasiswa pada salah satu kampus di Jogjakarta. Hanya dengan nasi dan ayam geprek seharga Rp. 10.000-an, mereka bisa hidup seharian tanpa kehilangan intellegence.
AI hanya perangkat lunak. Tetapi, ia bukan semacam jiwa yang bersemayam pada tubuh logam. Sambil menenteng senjata laser dan menembaki manusia secara membabi buta. Karena itu, ia tidak bisa menciptakan bencana global. Kecuali, ada manusia jahat yang memanfaatkan AI untuk kepentingan sendiri. Lagi-lagi, manusialah yang menjadi penentu.
Dengan demikian, apakah AI suatu tantangan, atau bahkan sebuah ancaman?
AI adalah tantangan generasi baru, untuk bisa mengisi ceruk yang tak mampu dikerjakan AI. AI juga ancaman, bagi mereka yang bisa digantikan peran dan posisinya di panggung peradaban. AI bisa jadi masa depan yang terang, tapi juga berpotensi membuatnya semakin remang. Kita hanya dihadapkan pada kemungkinan-kemungkinan.
Namun, yang paling jelas, kita tidak lagi spesies kesepian yang sendirian mempelajari Manusia: lewat antropologi, sosiologi, atau psikologi. Sekarang, ada AI yang hadir di sana, turut mempelajari kita lewat setiap klick pada beranda aplikasi, setiap ketikan jari di kolom mesin pencari, dan di setiap waktu yang habis untuk menatap segala simulasi. AI membentangkan peta, mencatat setiap pola, lalu seperti dukun, menebak kecenderungan kita terhadap apa pun.
Pada akhirnya, AI mempelajari kita lebih banyak, daripada kita mempelajari AI. Lalu, bisakan AI muncurangi penciptanya sendiri, manusia, seperti manusia mencurangi alam? Bisa jadi. Tapi beruntunglah mereka, seperti kata Ranggawarsita, yang eling lan waspada (tetap mengingat dan berhati-hati).
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.