Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Doni Apriyanto

Fenomena AI: Tantangan dari New Big

Lomba | 2023-08-30 17:11:43

“Small is the new big”, ungkapan tersebut rasanya bisa menjadi nasihat yang singkat dan mendalam jika kita menengkok serangkaian catatan historis dunia. Begitu banyak imperium besar –apakah itu dalam bentuk kekuasaan, pengaruh ataupun bisnis– yang awalnya terkesan sangat mustahil untuk dijatuhkan, namun pada akhirnya harus terjatuh juga setelah ditumbangkan oleh hal-hal yang sebelumnya dianggap kecil. Kekalahan BlackBerry terhadap Android hingga jatuhnya Konstantinopel ke tangan Muhammad al-Fatih menjadi sederet bukti nyata bahwa fenomena “small is the new big” bukan sekali atau dua kali ini terjadi dalam sejarah.

Munculnya AI (kecerdasan buatan) hari ini yang secara fenomenal mendapatkan sorotan positif maupun negatif oleh publik agaknya menjadi sebuah pertanyaan besar bagi kita semua, apakah AI akan menjadi the next new big? Pasalnya angka persentase penggunaan aplikasi berbasis AI oleh masayarakat Indonesia sendiri dirasa terus meningkat. Dalam survey yang dilakukan oleh Populix pada April 2023 lalu misalnya, didapatkan data bahwa hampir setengah (45%) pekerja atau pengusaha di Indonesia telah menggunakan aplikasi berbasis AI (sumber: databoks.katadata.co.id).

Akan tetapi, meskipun sekarang kita sudah hidup di era 4.0 dimana inovasi teknologi semisal big data, internet of things, robotika, blockchain dan AI menjadi bagian dari kehidupan manusia, namun tidak bisa dipungkiri bahwa penentangan terhadap kemajuan teknologi itu tetaplah ada. Penentangan tersebut umumnya lahir dari beragam ketakutan ataupun kecemasan masyarakat luas terhadap anggapan-anggapan yang saat ini beredar, seperti: AI akan menghilangkan banyak pekerjaan manusia, AI akan disalahgunakan sebagai alat untuk tujuan yang membahayakan, atau alasan-alasan lainnya.

Terlepas dari anggapan negatif tersebut kita sejatinya perlu memahami bahwa tidak ada sebuah proses perubahan tanpa hadirnya sebuah resiko maupun penolakan, karena itu merupakan hal yang lumrah. Seperti halnya selalu akan ada sudut pandang postif maupun negatif yang menyertai lahirnya sebuah gagasan baru. Meski begitu, kesiap-siagaan kita dalam menyikapi kemunculan AI sesungguhnya sangatlah perlu untuk mulai dibangun sedari sekarang, mengingat tuntutan perubahan zaman biasanya tidak pernah bertanya apakah kita siap ataukah tidak.

Source: Canva

Kita tentu masih ingat saat Covid 19 menghantui dunia beberapa tahun lalu. Tidak ada seorang pun yang bisa memprediksi bahwa bencana itu akan berimbas pada badai krisis global serta perubahan besar-besaran gaya hidup manusia. Orang-orang yang sebelumnya terbiasa beraktifitas di luar ruangan (offline) secara tiba-tiba “dipaksa” untuk berkegiatan di dalam ruangan secara daring (online), hingga secara tidak langsung hal itu berimbas pada meningkat-pesatnya trend aktivitas online di masyarakat (dari aktivitas kerja hingga aktivitas berbelanja online). Kita pun secara tiba-tiba dituntut untuk melakukan vaksinasi serta menggunakan masker untuk meminimalisir kemungkinan terjangkit virus mematikan tersebut.

Dalam kondisi kemelut perubahan yang drastis demikian, apakah ada orang yang menentang serta bersilang pendapat dalam menyikapi perubahan darurat itu? Jawabannya tentu ada. Namun, apakah penentangan itu lantas akan menghentikan angka korban jiwa yang terus berjatuhan? Jawabannya tidak juga. Ada atau tidak ada penentangan, korban jiwa terus berjatuhan dan laju penyebaran virus tetap tak terbendung. Maka tidak heran jika dalam kondisi seperti itu justru mereka-mereka yang siap-siaga serta cepat beradaptasi-lah yang berhasil survive melalui bencana.

Oleh karenanya, membangun sebuah kesiap-siagaan terhadap AI sedari sekarang sebetulnya merupakan suatu bentuk ikhtiar kita yang paling masuk di akal dalam menghadapi kemajuan sekaligus tantangan zaman ke depan. Masyarakat kita memang memiliki haknya untuk menolak dan membendung hadirnya “produk” kemajuan teknologi ini, namun yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah sampai kapan itu bisa terus bertahan? Sebagaimana yang disampaikan Arif Rahman (2011:48) dalam bukunya, “Negara yang kita tinggali saat ini cenderung liberal. Di negara liberal, kecenderungan masyarakatnya adalah individualis, mereka memprioritaskan diri untuk keselamatannya. Hanya produk yang marketable-lah yang akan berbicara banyak di era ini, nilai norma dan agama yang tidak menjual akan hilang tereliminasi.”

Potongan kutipan tadi mungkin saja mengusik kenyamanan perspektif masyarakat kita, namun jika sama-sama kita cermati, perkataan tersebut ada benarnya juga. Jika AI benar-benar menjadi the next new big dan kita tidak mempersiapkan diri untuk hidup berdampingan dengannya, maka mungkin saja nanti kita tidak terselamatkan dan tertinggal. Peran serta pemerintah dalam merancang kebijakan guna menyambut hadirnya AI pun memang diperlukan agar fenomena teknologi ini tak menjadi “simalakama” bagi masyarakat. Namun lagi-lagi hal ini (peran pemerintah) rasanya tetap tidak bisa untuk dijadikan sandaran satu-satunya, karena pada akhirnya tetap kesiap-siagaan kita sendiri-lah yang menjadi modal terbaik dalam menghadapi new big ini.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image