Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Anidah

Artificial Intelligence dan Prinsip Keadilan Ekonomi

Teknologi | 2023-08-30 14:53:02

Artificial Intelligence dan Prinsip Keadilan Ekonomi

“Dunia telah berubah secara dramatis, berkali-kali, bukan hanya karena adanya AI”, demikian kutipan kalimat Sam Altman, CEO OpenAI, perusahaan di balik ChatGPT yang fenomenal, pada sebuah acara di Jakarta pada Juni 2023 lalu.

Ya benar, kehidupan manusia memang telah berubah, salah satunya karena Teknologi. Jauh sebelumnya kehidupan manusia dimulai dengan berburu, lalu bercocok tanam, hingga era industrialisasi hadir. Penggunaan tenaga manusia pun digantikan oleh mesin, kemudian proses mesin diotomatisasi, hingga akhirnya mesin dilatih agar “cerdas”. Inilah era Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence/AI.

ChatGPT adalah satu dari perwujudan AI. Chatbot dari OpenAI ini dinilai sangat canggih karena dapat berinteraksi dan memberi respon yang sangat natural layaknya manusia. Hingga kini AI telah banyak diterapkan dalam berbagai bidang, diantaranya teknologi, industri, pendidikan, kesehatan, keuangan, dan transportasi. Secara sadar atau tidak AI telah hadir dalam bentuk yang sangat dekat dengan keseharian masyarakat. Penggunaan fitur pengenal wajah di media sosial, rekomendasi pada belanja daring, adalah beberapa diantaranya. Banyak hal menjadi lebih mudah dengan kehadiran AI, meski tak semua dari kita mengerti proses dibaliknya.

Kemudahan bagi banyak orang ternyata tidak sama mudahnya bagi sebagian yang lain. Alih-alih untuk menikmati kemudahan yang ditawarkan, bahkan penghidupan mereka terancam diambil alih. Survey yang dilakukan World Economic Forum (WEF) bertajuk Future of Jobs Survey 2023 menyebutkan 83 juta pekerjaan akan hilang dan tergantikan oleh AI. Memang sebagai gantinya tercipta 69 juta pekerjaan baru, masih menurut survey yang sama. Namun tentu dengan kualifikasi yang hanya bisa dipenuhi oleh mereka yang melek internet, komputasi, dan AI. Bagi sebagian yang terbatas pada skill konvensional peluangnya semakin sempit.

Kontradiksi tersebut dipotret dalam sebuah dialog K-drama berjudul Start Up. Seorang sekuriti yang berdemo karena terancam PHK ketika Perusahaan berencana menyuntikan teknologi AI pada CCTVnya. Perusahaan berharap AI mampu menggantikan fungsi petugas keamanan berbekal analisis data video CCTV. Setelah mengetahui putranya juga menjadi pengembang teknologi AI tersebut, dia pun bereaksi di luar dugaan. Penolakannya bukan ditujukan pada teknologi AI. Penolakannya ditujukan agar perubahan tidak berjalan terlalu cepat, sehingga ada waktu untuk bisa beradaptasi secara perlahan.

Mereka inilah gambaran sebagian Masyarakat yang perlu waktu untuk beradaptasi, karena sepanjang hidupnya bisa jadi mengalami keterbatasan akses pada literasi digital. Kesenjangan digital inilah yang menjadi jurang pemisah. Pada 2021 saja World Bank mencatat 49% Masyarakat Indonesia belum dapat mengakses internet, karena belum tersedianya jaringan secara merata. Padahal internet adalah hal basic yang mutlak tersedia dalam era digital. Kesenjangan itu melahirkan lapisan generasi yang tertinggal dalam mempelajari dan mengadopsi AI. Mereka tak mampu menyesuaikan dengan cepat, hingga akhirnya hanya menjadi penonton dan penggembira, hingga berdampak pada ketidakadilan secara ekomoni. Sekalipun mereka terlibat, namun sebatas menjadi end user atau “mitra kerja” dengan sistem upah yang jauh dari standar kelayakan sebagai pekerja.

Banyak dari kita yang menjadi konsumen platform on demand untuk kebutuhan transportasi, pesan-antar makanan, delivery barang, dan lainnya. Kita dihubungkan dengan “mitra driver” dan “mitra restoran” oleh Perusahaan teknologi, dan transaksi pun berjalan serta ekomoni berputar. Namun apakah sudah memenuhi unsur keadilan secara ekonomi? Sayangnya belum. Melalui data pelanggan yang dimiliki, Perusahaan mampu mengekstraksi dan menganalisis data menggunakan AI untuk kepentingan ekonomi yang lebih besar. Membaca kecenderungan transaksi, memodelkan konsumen berdasarkan preferensi belanja, dan lain sebagainya. Berbekal itu semua bahkan Perusahaan mampu menarik dana investasi melalui penjualan saham dan suntikan dana investor luar negeri. Namun apakah ada pengaruhnya terhadap pendapatan para mitra mereka, jawabnya tidak ada. Bahkan permintaan perubahan status dari mitra menjadi karyawan pun tidak sanggup dipenuhi. Padahal beban gaji salah satu Perusahaan teknologi tersebut mencapai Rp.3,59 triliun per Maret 2022, dengan total karyawan sebanyak 9.141 orang dari dalam dan luar negeri. Jika dibagi rata gaji dan imbalan yang diterima karyawan mereka mencapai Rp.32,7 Juta/bulan. Luar biasa ketimpangannya.

Pun demikian maraknya e-commerse untuk belanja daring, tak menjamin kebanyakan UKM mempu bersaing dengan pedagang raksasa, produk mereka tenggelam dibawah perang harga dan promo lainnya. Sebatas itulah AI berperan bagi sebagian besar Masyarakat kita.

Jika AI tak mampu merangkul semua, lalu untuk siapakah AI diciptakan? Teknologi seharusnya menyejahterakan bersama, tanpa meninggalkan seorangpun di garis akhir. Manusia bukan hidup di dunia hewan yang memenangkan Sang punya kuasa, manusia hidup di tengah manusia lainnya dengan diliputi rasa kebersamaan. Pemerintah wajib memastikan AI mampu diadopsi secara luas, dengan memudahkan akses dan pembekalan soft skill.

Tentu saja teknologi niscaya akan terus berkembang sepanjang manusia terus bertumbuh. Bahkan perkembangan itu adalah syarat kehidupan terus berlangsung. Siapapun tak bisa menolaknya. Teknologi, termasuk AI harus dipandang sebagai bagian dari sarana menjalani kehidupan agar lebih memudahkan. Hal-hal sederhana atau yang dapat diautomatisasi bisa didelegasikan pada mesin tanpa harus mengorbankan waktu dan upaya yang besar. Sementara itu potensi kognitif dan kreatif manusia dapat digunakan untuk melahirkan sesuatu yang baru, yang lebih berdampak kuat untuk kehidupan. Untuk mendukungnya tentu sumber daya manusia mau tak mau harus disiapkan agar mampu segera mengembangkan dan mengadopsinya, melalui edukasi dan regulasi yang mendukung.

#hutrol28 #lombanulisretizen #republikawritingcompetition

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image