LGBT: Ancaman Nyata dan Serius
Khazanah | 2023-08-29 09:05:19Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) menjadi salah satu isu yang terus memicu perdebatan dan kontroversi di banyak negara, termasuk Indonesia. Seiring berjalannya waktu, akronim ini kemudian berkembang menjadi LGBT+ dan LGBTQ+, dengan tambahan queer dan orang-orang yang masih mempertanyakan identitas seksual mereka. Seolah tak pernah habis, berita tentang LGBT+ dan LGBTQ+ dengan semua problemnya, terus saja muncul ke permukaan. Media sosial dan akses internet yang semakin luas, memungkinkan penyebaran informasi dan pandangan yang beragam di tengah masyarakat terkait LGBT+ dan LGBTQ+.
Umat Islam di Indonesia sesungguhnya memiliki pandangan yang kuat terhadap LGBT. Islam mengajarkan bahwa hubungan seksual hanya boleh terjadi antara suami dan istri yang sah. Homoseksualitas dan transgenderisme adalah pelanggaran terhadap hukum Allah dan nilai-nilai agama yang dijunjung tinggi. Perilaku ini adalah sebuah kekejian yang pernah dilakukan oleh kaum Nabi Lūṭ. Beberapa ayat Al-Qur’an menggambarkan kekejian tersebut dan gambaran azab (hukuman) yang ditimpakan kepada mereka, seperti pada Q.S. a-Anbiyā’: 74, Q.S. al-Syu’arā’: 173-175, Q.S. al-Naml: 54-58, Q.S. al-Hijr: 72-77, dan lainnya. Dalam hadis, Nabi juga mengingatkan dalam sabdanya,
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي عَمَلُ قَوْمِ لُوطٍ
“Sesungguhnya yang paling aku takuti (menimpa) umatku adalah perbuatan kaum Lūṭ.” (Musnad al-Imām al-Aḥmad bin Hanbal, 23:317: 15093, Mu’assah al- Risālah, 1431 H)
Para fukaha telah sepakat terhadap keharaman perilaku menyimpang ini, khususnya homoseksual (liwāṭ), namun berbeda pendapat tentang jenis hukuman bagi pelakunya. Sebagian berpendapat, dihukum dengan hukuman had pada pelaku zina, yaitu dalam bentuk hukuman rajam (jika pelakunya berstatus muhṣan atau telah menikah) dan dicambuk dan diasingkan (jika pelakunya berstatus gairu muhṣan atau belum menikah). Sedangkan sebagian lainnya berpendapat dihukum dengan ta’zīr (jenis hukuman yang diserahkan kepada pemerintah atau hakim).
Dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 57 Tahun 2014 tentang Lesbian, Gay, Sodomi, dan Pencabulan, juga dengan tegas difatwakan bahwa sodomi (liwāṭ) baik oleh lesbian maupun gay, hukumnya adalah haram dan merupakan bentuk kejahatan, dikenakan hukuman ta’zīr yang tingkat hukumannya bisa maksimal yaitu sampai pada hukuman mati. Demikian juga dalam hal korban dari kejahatan (jarīmah) homoseksual, sodomi, dan pencabulan adalah anak-anak, pelakunya juga dikenakan pemberatan hukuman hingga hukuman mati.
Meski hukumnya telah jelas, akan tetapi, di dunia Internasional yang mengadopsi liberalisme dan kebebasan dalam konsep hak asasi manusia, dan juga tidak sedikit di Indonesia, LGBT justru kerap mendapat dukungan kuat. Bahkan di sebagian negara/tempat, LGBT telah berkembang menjadi gaya hidup.
Populasi LGBT pun dilaporkan terus bertambah. Dikutip dari laman Statista (2023), sebuah survei global yang dilakukan pada 2021 di 27 negara mengungkap bahwa hanya 70 persen responden yang tertarik secara seksual kepada lawan jenis. Artinya, terdapat kurang lebih 30 persen yang lebih memilih homoseksual, baik itu gay atau lesbian. Bagaimana dengan Indonesia? Sebuah studi yang dilakukan oleh Manik et al. (2021), memaparkan data peningkatan kelompok LGBT di Indonesia, khususnya kalangan gay di daerah perkotaan seperti Bali, Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta. Mereka tersebar di hampir semua daerah di nusantara. Bahkan kalangan ini juga sudah memiliki organisasi, yakni Gaya Nusantara, sebagai organisasi gay terbesar yang ada di Asia Tenggara dengan sebaran di 11 kota di Indonesia (Offord & Cantrell, 2000). Hal yang sama disebutkan oleh United Nation Development Program (UNDP) (2014) bahwa pada tahun 2013, ada dua jaringan nasional organisasi LGBT dan 119 organisasi di 28 dari 34 provinsi di Indonesia.
Pertambahan jumlah kaum ini tentu saja memprihatinkan sekaligus membahayakan. Kaum ini kerap menyasar anak-anak dan remaja. Mereka juga tak segan melakukan kekerasan seksual pada korban mereka, utamanya pada anak-anak. Kaum homoseksual ini juga tak sungkan melakukan pesta maksiat secara terang-terangan. Keberadaan dan ulah mereka ini nyata, menjadi ancaman bukan hanya secara sosial, tetapi juga secara medis. Sampai hari ini, hubungan seksual sejenis yang dilakukan oleh kaum gay masih menjadi penyebab utama penularan HIV/AIDS. Selain HIV/AIDS, penyakit yang menjangkiti kaum homoseks adalah kanker anus akibat penularan virus human papiloma (HPV).
Tak dapat dipungkiri, sebagian kelompok masyarakat, khususnya kelompok pro-LGBT berargumen bahwa apa yang dianggap buruk oleh masyarakat di Indonesia, tidaklah mutlak buruk jika dibandingkan penerimaan masyarakat di negara lain, seperti Amerika atau Jerman. Artinya, baik-buruk itu bergantung dari prespektif yang digunakan dan berjalan berdasarkan konteks budaya, agama, dan struktur sosial pada suatu wilayah/negara. Melalui analogi ini, kelompok pro LGBT seakan membuat lompatan kesimpulan bahwa masyarakat Indonesia masih belum terbuka pemikirannya, kolot, terbelakang, dan sebutan negatif lainnya. Namun sayangnya, kesimpulan ini jelas rancu. Alasannya, karena jika baik-buruk adalah kesepakatan masyarakat, mengapa mereka hanya mengafirmasi kesepakatan kelompoknya dan menolak kesepakatan lain yang bertentangan dan menolak LGBT, padahal penolakan itu adalah kesepakatan masyarakat, bahkan menjadi kesepakatan dominan? Jika baik-buruk, benar-salah, adalah relatif menurut mereka, bergantung budaya dan kesepakatan, bagaimana kita menilai genosida seperti kasus Myanmar dan pembantaian di Rwanda, misalnya? Semua orang di dunia sepakat bahwa genosida itu salah, secara mutlak dan universal. Hal ini berarti, ada norma-norma yang bersifat mutlak dan universal, tidak semunya relatif.
Di sisi lain, kelompok pro-LGBT juga kerap berargumen bahwa jika suatu tindakan yang dilakukan oleh individu tertentu, tidak ada unsur paksaan yang terlibat di dalamnya, individu itu memiliki hak untuk melakukan apa yang mereka inginkan dalam masalah seksual, terlepas dari perilaku mereka dianggap sebagai suatu hal yang bermoral atau tidak oleh orang lain. Karena hak individu didasarkan pada kodrat manusia sebagai manusia, kaum dan kelompok pro-LGBT berargumen bahwa mereka berhak mendapatkan hak yang setara dengan heteroseksual, tidak kurang atau lebih. Inti argumen ini adalah bahwa selama kelompok LGBT melakukan itu dengan kesadaran penuh, tanpa paksaan dan ancaman, maka hal itu adalah sah, toh mereka tidak merugikan orang lain, tidak mencuri, merampok dan merampas harta negara seperti para koruptor. Akan tetapi, benarkah LGBT tidak merugikan orang lain?
Dengan dua argumen seperti yang diuraikan di atas, kelompok pro-LGBT sering menuduh pihak yang kontra dengan istilah-istilah aneh, salah satunya adalah moral panic atau kepanikan moral. Istilah ini telah dipakai secara akademis ataupun populer oleh beberapa kalangan di Indonesia untuk menyatakan dukungannya pada kelompok LGBT. Inti argumen dari kalangan ini adalah kepanikan masyarakat Indonesia terhadap kelompok LGBT, yang dicap sebagai “ancaman” disebabkan oleh stereotip yang keliru dari pemberitaan media. Andai saja media-media tersebut memberikan informasi yang benar tentang LGBT, respons negatif masyarakat tidak akan terjadi. Begitu anggapan kaum ini.
Akan tetapi pertanyaannya, benarkah media di Indonesia menyebarkan informasi dan menciptakan stereotip yang keliru tentang LGBT? Jawabannya, jelas tidak benar. Jika ditelusuri lebih lanjut, meskipun LGBT telah dikeluarkan oleh APA (American Psychological Association) dari daftar gangguan mental -artinya dianggap sebagai hal yang normal-, tetapi penelitian ilmiah justru memperlihatkan problem yang tak kalah mengejutkan. Penelitian JM Cohen yang terbit di jurnal Behavioral Therapy, Vol. 46, 2016, menunjukkan bahwa gangguan depresi mayor, kecemasan, Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) atau gangguan stres pascatrauma, dan kecenderungan bunuh diri pada kelompok homoseksual adalah lebih tinggi daripada kelompok heteroseksual. Begitu juga, US Department of Health and Human Services (https://www.hiv.gov/) merilis data bahwa kelompok homoseksual memiliki tendensi HIV/AIDS yang lebih tinggi daripada heteroseksual, tepatnya sebesar 78 persen orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Amerika Serikat merupakan Men Who Have Sex with Men (MSM) alias homoseks. Dari dua penelitian ini saja, dapat dilihat bahwa argumen kontra yang menyatakan bahwa “LGBT adalah ancaman bangsa” tidaklah salah, apalagi dianggap menyebarkan stereotip negatif. LGBT benar-benar menjadi ancaman nyata dan serius.
Gerakan dan propaganda LGBT ini jelas akan membawa bahaya besar bagi negeri ini dan penduduknya. Jika perilaku menyimpang LGBT berkembang apalagi marak di negeri ini, bukan tidak mungkin bencana dan malapetaka bisa menimpa negeri ini. Tentu saja, kita tidak ingin jika negeri dan bangsa yang kita cintai ini diazab oleh Allah dengan azab yang telah ditimpakan kepada kaum Lūṭ.
LGBT jelas merupakan masalah sosial yang mengancam kehidupan beragama, ketahanan keluarga, dan kepribadian bangsa. Oleh karenanya, gerakan, propaganda, dan invasi budaya LGBT harus dilawan! Umat harus menggalakkan dakwah dan tegas menolak LGBT. Harus dinyatakan bahwa LGBT adalah penyimpangan perilaku. LGBT bukanlah hak asasi manusia, melainkan penyimpangan kodrat yang diberikan oleh Sang Maha Pencipta, Allah Ta’ālā. Bahkan menurut Psikolog, Elly Risman, perilaku penyimpangan LGBT ini, kini telah bermetamorfosa menjadi wabah menular yang mendunia (pandemik). Dakwah harus dilakukan dengan menyadarkan pelaku LGBT sehingga mereka menyadari kesalahan mereka dan mau bertobat. Amar makruf nahi munkar harus terus digalakkan. Sikap awas dan kewaspadaan pada diri umat terhadap segala bentuk propaganda dan seruan LGBT harus dibangun.
Lembaga-lembaga keagamaan perlu mengambil langkah positif untuk mencari dan menggali akar penyebab seseorang menjadi LGBT, dan melakukan upaya penanggulangannya berbasis pendekatan agama dan ilmu jiwa. Kita tidak memusuhi dan membenci mereka sebagai warga negara, tetapi bukan berarti kita membenarkan dan membiarkan gerakan LGBT menggeser nilai agama dan kepribadian bangsa.
Selanjutnya, para tokoh agama, para aktivis organisasi keagamaan, lembaga pendidikan keagamaan, dan lainnya, perlu mendalami strategi untuk membendung fenomena LGBT yang menjadi ancaman bagi kehidupan bangsa Indonesia yang religius. Lebih jauh, sistem pendidikan dan pembinaan masyarakat hendaknya diarahkan untuk mencegah penyimpangan ini sehingga akan tercipta sebuah ketakwaan individu. Setelah individu, penguatan fungsi keluarga sebagai pondasi ketahanan masyarakat dan bangsa juga digalakkan. Keduanya (individu dan keluarga) kemudian ditopang oleh kontrol sosial yang baik dalam masyarakat. Dengan begitu, para pelaku penyimpangan, diharapkan dapat memahami dan berniat untuk kembali kepada jalan yang benar, bertaubat sepenuh hati serta tidak mengulangi kembali perbuatan buruknya. Akan tetapi, ketika pelaku penyimpangan perilaku alias LGBT ini tak jua bertobat, maka sanksi hukum tegas harus diberlakukan. Inilah empat pilar yang mungkin dapat menata kembali tatanan kehidupan dari penyimpangan ini, yaitu ketakwaan individu, ketahanan keluarga, kontrol sosial dalam masyarakat, dan penerapan hukum oleh negara.
Wallāhu a’lam.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.