Akuntabilitas dalam Perspektif Islam
Khazanah | 2023-08-29 08:56:06Akuntabilitas dalam perspektif Islam mencakup prinsip-prinsip moral dan etika yang mendorong individu dan lembaga untuk mengemban tanggung jawab terhadap tindakan dan keputusannya.
Dalam ajaran Islam, akuntabilitas memiliki akar dalam konsep tanggung jawab kepada Allah Ta’ālā (vertikal) dan kepada sesama manusia (horizontal). Prinsip-prinsip akuntabilitas ini ditegaskan dalam Al-Quran dan Hadis, serta diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan sosial, salah satunya pada aspek/bidang ekonomi dan keuangan.
Endahwati (2014) mendefinisikan akuntabiltas sebagai “suatu cara pertanggungjawaban manajemen atau penerima amanah kepada pemberi amanah atas pengelolaan sumber-sumber daya yang dipercayakan kepadanya, baik secara vertikal maupun secara horizontal”. Lebih lanjut, Marwiyah (2018) menyebutkan bahwa prinsip yang ditekankan dalam akuntabilitas vertikal adalah prinsip amanah, sedangkan prinsip yang ditekankan dalam akuntabilitas yang bersifat horizontal adalah prinsip profesionalisme dan transparansi.
Menurut Marwiyah (208), amanah dalam perspektif administrasi sama dengan akuntabilitas dan responsibilitas. Unsur pembentukan sifat amanah adalah tanggung jawab. Orang yang amanah adalah orang yang mampu bertanggungjawab (responsibility) dan mempertanggungungjawabkan (accountability) amanah yang dipercayakan kepadanya.
Beberapa ayat dalam Al-Quran mengajarkan tentang tanggung jawab sebagai akar dalam akuntabilitas, di antaranya:
Surah al-Baqarah: 286,
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ لَهَا مَا كَسَبَتۡ وَعَلَيۡهَا مَا ٱكۡتَسَبَتۡۗ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.”
Ayat ini menegaskan prinsip bahwa setiap individu akan dimintai pertanggungjawaban atas usaha dan tindakannya. Dalam kitab Tafsīr al-Mukhtaṣar, disebutkan bahwa ayat ini bermakna “Barangsiapa berbuat baik, dia akan mendapatkan ganjaran atas apa yang dia lakukan, tanpa dikurangi sedikitpun. Dan barangsiapa berbuat buruk, dia akan memikul dosanya sendiri, tidak dipikul oleh orang lain.”[1]
Surah al-Isra: 36,
وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡ ُٔولٗا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”
Ayat ini mengajarkan pentingnya mempertanggungjawabkan penggunaan indra dan akal dalam mengambil tindakan. Dalam kitab Tafsīr al-Muyassar disebutkan bahwa ayat ini bermakna “Sesungguhnya manusia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai bagaimana ia menggunakan pendengaran, penglihatan, dan hatinya. Apabila dia mempergunakannya dalam perkara-perkara baik, niscaya akan memperoleh pahala, dan jika ia mempergunakannya dalam hal-hal buruk, maka dia akan memperoleh hukuman.”[2]
Surah al-Anfal: 27,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَخُونُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓاْ أَمَٰنَٰتِكُمۡ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”
Ayat ini menjelaskan bahwa tanggungjawab manusia bukan hanya kepada orang yang memberikan amanah tetapi yang terpenting adalah manusia bertanggungjawab kepada Allah dan Rasul-Nya. Manusia perlu menyadari akan tanggungjawabnya sebagai khalifah di muka bumi ini. Selain nilai amanah, akuntabilitas spiritual juga merefleksikan nilai profesional dan nilai transparan.
Dalam kitab Tafsīr al-Mukhtaṣar, disebutkan bahwa ayat ini bermakna ”Janganlah kalian mengkhianati amanah yang dipercayakan kepada kalian, seperti hutang dan lain-lain, sedangkan kalian tahu bahwa apa yang kalian lakukan adalah pengkhianatan, sehingga kalian termasuk ke dalam golongan para pengkhianat.”[3]
Begitu juga, Dalam kitab Tafsīr al-Madīnah al-Munawwarah, disebutkan bahwa ayat ini bermakna “Janganlah kalian mengkhianati amanah yang telah diberikan kepada kalian dengan menyebar rahasia di antara kalian, melanggar perjanjian yang telah kalian buat, mengingkari barang titipan yang dititipkan orang lain kepada kalian, dan melalaikan hak-hak materiil orang lain yang wajib kalian jaga. Padahal kalian telah mengetahui akibat buruk dari mengkhianati Allah dan rasul-Nya serta amanat yang telah diserahkan kepada kalian.”[4]
Surah al-Nahl: 93,
وَلَتُسۡ َٔلُنَّ عَمَّا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ
“Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.”
Syekh al-Sa’di (2011) ketika menafsirkan Q.S. al -Baqarah: 282 tentang pencatatan utang-piutang, mengatakan bahwa ayat tersebut adalah perintah Allah Ta’ālā untuk mencatat transaksi non tunai. Hukum pencatatan bisa menjadi wajib bagi seseorang yang diberi kuasa atau amanah untuk menjaga harta, seperti wali harta anak yatim, nazir wakaf, atau pegawai, dan hukumnya bisa menjadi dianjurkan tergantung situasi dan kondisi.
Oleh karena itu, konsep akuntabilitas dalam Islam menyatakan bahwa manusia sebagai pemegang amanah, bukan sebagai pemegang kuasa penuh yang mengatur dunia. Pertanggungjawaban ditekankan dengan perintah dari Allah Ta’ālā melalui istilah “hisab” atau perhitungan/pengadilan (accountability) di hari pembalasan.
Sementara dalam hadis, juga disebutkan beberapa dalil tentang tanggung jawab dan akuntabilitas. Di antaranya:
Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (H.R. al-Bukhari dan Muslim)
Sementara itu, transparansi sebagai salah satu unsur akuntabilitas sebagai telah disebutkan di atas, telah ada sejak kedatangan Islam itu sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan dibukanya (menjadikannya transparan) “kesalahan perilaku” yang terjadi di antara Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam dengan istri-istinya serta sahabat-sahabatnya. Hal ini bisa dilihat dalam Q.S. ‘Abasa: 1-2. al-Tahrim: 1, dan al-Aḥzab: 14.
Lebih jauh, praktik transparasi keuangan publik juga dilakukan oleh khalifah Abū Bakar al-Ṣiddīq, sebagaimana dikisahkan oleh ‘Ā’isyah ketika Abū Bakar al-Ṣiddīq, ia berkata,
انظروا ماذا زاد في مالي منذ دخلت في الإمارة فابعثوا به إلى الخليفة بعدي
“Lihatlah oleh kalian apa yang bertambah pada hartaku sejak aku menjadi pemimpin, kirimkanlah harta tersebut kepada khalifah setelahku.”
‘Ā’isyah lalu berkata,
فنظرنا فإذا عبد نوبي كان يحمل صبيانه، وإذا ناضح كان يسقي بستاناً له. فبعثنا بهما إلى عمر، فبكى عمر وقال: رحمة الله على أبي بكر لقد أتعب من بعده تعباً شديداً
“Maka kami melihat ada seorang budak Nubia sedang menggendong anak-anaknya, dan dia biasa menyirami kebunnya, lalu kami mengirimkan mereka kepada Umar, lalu Umar menangis dan berkata, ‘Semoga Allah merahmati Abū Bakar, khilafah yang setelahnya memiliki beban yang sangat berat’.” (‘Uwaiḍah, 1432 H).
Al-Qanadilī (2016) mengatakan bahwa pelajaran manajerial yang bisa diambil dari cerita yang diriwayatkan oleh istri Rasul ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam sekaligus anak perempuan Abū Bakar al-Ṣiddīq di atas adalah bahwa sesorang pemimpin harus membangun transparasi dalam muamalah dan menjelaskan harta yang menjadi tanggungannya. Pada kisah ini kita juga mendapatkan pelajaran tentang pentingnya transparansi keuangan dan pentingnya aturan yang mengatur transparansi.
REFERENSI
‘Uwaiḍah, Muḥammad Naṣr al-Dīn. (143 H). Faṣl al-Khiṭāb fī al-Zuhd wa al-Raqā’iq wa al-Ādāb. 1/356.
Al Qanadilī, Jawahir. (2016). Qaḍāya fī al-Idārah al-Tarbawiyyah al-Mu’aṣirah min Manẓūri Islām. Arab Saudi: PMEC.
Al-Sa’di, Abdurrahman. (2011). Taisīr al-Karīm al-Raḥmān. Riyāḍ: Maktabah al-Abikan.
Endahwati, Y. D. (2014). Akuntabilitas pengelolaan zakat, infaq, dan shadaqah (zis). Jurnal Ilmiah Akuntansi dan Humanika, 4(1).
Marwiyah, S. (2018). Kepemimpinan spiritual profetik dalam pencegahan korupsi. Jakad Media Publishing.
[1] https://tafsirweb.com/1052-surat-al-baqarah-ayat-286.html.
[2] https://tafsirweb.com/4640-surat-al-isra-ayat-36.html.
[3] https://tafsirweb.com/2893-surat-al-anfal-ayat-27.html.
[4] https://tafsirweb.com/2893-surat-al-anfal-ayat-27.html.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.