Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Azwar

Begini Seorang Muslim Memaknai Kemerdekaan

Khazanah | Tuesday, 29 Aug 2023, 08:53 WIB
Kemerdekaan

Bulan ini, bangsa Indonesia kembali memperingati hari kemerdekaannya yang ke-78. Kemeriahan penyambutannya, menjadi indikasi kebahagiaan dan rasa syukur setiap elemen bangsa atas anugerah Yang Maha Kuasa.

Namun di balik kemeriahannya, masih terselip berbagai pertanyaan penting di benak kita; benarkah kita sudah merdeka secara hakiki? apa sebenarnya makna kemerdekaan bagi kita? bagaimana kita mengisi dan mensyukuri kemerdekaan yang dirasakan saat ini?

Sebelum kita melihat lebih jauh, ada baiknya kita mencoba mengingat kembali bagaimana kemerdekaan bisa hadir di negeri tercinta ini.

Ketika kita membuka kembali lembaran-lembaran sejarah bangsa ini, kita akan menemukan jejak Islam di setiap lembarannya; jejak perjuangan kaum muslimin dan para ulama yang menentang penindasan dan mengagungkan nama Islam. Dalam sejarah itu, kita dapat melihat bagaimana semangat jihad melebur ke dalam budaya masyarakat Indonesia. Tampilnya para pejuang Islam di beberapa wilayah seperti di Aceh dengan hikayat “Perang Sabil”-nya, di Jawa dengan dengan Pangeran Diponegoro yang hendak merdeka dan melawan penjajahan, di Makassar dengan Sultan Alauddin yang berdiri tegak mempertahankan kesultanannya dari rongrongan VOC, dan daerah-daerah lainnya, semuanya menjadi warna perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Bertumpuk-tumpuk badan telah menjadi syahid, insyaallah. Bersahut-sahut takbir memanggil, mengantar nyawa mereka bercerai dari badannya, yang dengannya mereka mempersembahkan jihadnya di hadapan Allah Subḥānahu wa Ta’ālā. Bahkan, ketika perjuangan beralih ke zaman setelah itu, Islam tetap menjadi sumbu dari berputarnya usaha-usaha menuju kemerdekaan.

Salah Kaprah dalam Memahami Kemerdekaan

Pemahaman kemerdekaan yang sempit adalah ketika seorang hanya memandang bahwa kemerdekaan itu hanya ketika pasukan musuh berhasil dipukul mundur dari wilayah perbatasan sebuah bangsa. Hal ini memang adalah bagian dari kemerdekaan, namun bukan esensi (pokok). Mengapa demikian? Hal ini karena penjajahan terhadap suatu negeri, bukan hanya berupa penghancuran negeri tersebut oleh pasukan musuh, dirampasnya berbagai kekayaan alam dan sumberdaya oleh para penjajah, dan semacamnya, melainkan dengan corak dan ragamnya yang banyak, dan bahkan lebih buruk dari bentuk penjajahan fisik tersebut.

Seberapa besar keuntungan yang diraih dengan kepulangan pasukan musuh ke negerinya, jika sistem kehidupan para penjajah yang bertentangan dengan Islam dan jati diri bangsa masih diterapkan di negeri ini? Alih-alih meraup keuntungan yang besar, justru kerugian terpampang di depan mata dan menjadi ancaman terhadap peradaban Islam. Jika demikian adanya, bukankah sebenarnya kita masih tetap dijajah, meski tidak dengan mesiu dan peluru? Memang, entah karena tidak tahu, lupa atau disengaja, masalah ini kerap dilupakan oleh generasi saat ini.

Lebih jauh, generasi umat Islam perlu mengenali berbagai corak dan ragam penjajahan agar selamat dan meraih kemerdekaan hakiki. Apa saja corak dan ragamnya? Pertama, iblis, penjajah yang paling berbahaya bagi manusia. Bahayanya seperti apa? Ia senantiasa berupaya untuk menyesatkan manusia dari jalan hidayah dan Islam hingga hari kiamat. Iblis berkata sebagaimana disebutkan oleh Allah Subḥānahu wa Ta’ālā,

ثُمَّ لَاٰتِيَنَّهُمْ مِّنْۢ بَيْنِ اَيْدِيْهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ اَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَاۤىِٕلِهِمْۗ وَلَا تَجِدُ اَكْثَرَهُمْ شٰكِرِيْنَ

“Kemudian, pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan, dan dari kiri mereka. Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (Q.S. al-A’raf: 17)

Iblis menjajah manusia melalui bujuk rayunya yang dipoles dengan cover berbau ilmiyah, agar manusia menjauhi dan bahkan memusuhi ajaran dan syariat Islam. Hingga tak ayal lagi, sebagian besar umat manusia dari dulu hingga sekarang telah tertipu oleh propagandanya. Olehnya, selayaknya kita menjadikannya sebagai musuh abadi. Allah Subḥānahu wa Ta’ālā berfirman,

اِنَّ الشَّيْطٰنَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّاۗ اِنَّمَا يَدْعُوْا حِزْبَهٗ لِيَكُوْنُوْا مِنْ اَصْحٰبِ السَّعِيْرِۗ

“Sesungguhnya setan itu musuh bagimu. Maka, perlakukanlah ia sebagai musuh! Sesungguhnya setan itu hanya mengajak golongannya agar mereka menjadi penghuni (neraka) sa‘īr (yang menyala-nyala).” (Q.S. Fāṭir: 6)

Kedua, nafsu dan syahwat, yang selalu mengajak kepada kejelekan. Allah Subḥānahu wa Ta’ālā berfirman,

اِنَّ النَّفْسَ لَاَمَّارَةٌ ۢ بِالسُّوْۤءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّيْۗ

“Sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (Q.S. Yūsuf: 53)

Nafsu di sini adalah nafsu al-lawwāmah yaitu jiwa yang selalu goncang, yang jika tidak diarahkan, akan mengantarkan manusia kepada keburukan. Nafsu dan syahwat seperti ini akan bisa diatasi di antaranya dengan ilmu (agama) untuk memperkuat ruhiyah.

Ketiga, penjajah dalam rupa dunia, juga kerap menampakkan kedigdayaannya dalam menjajah jiwa manusia. Penjajah yang satu ini, tak puas-puas membuat ulah, padahal hampir semua darah yang tertumpah di permukaan bumi, atas namanya. Cinta dunia adalah racun dalam kehidupan umat manusia karena seorang yang cinta dunia dikhawatirkan akan membuang cintanya kepada Allah Subḥānahu wa Ta’ālā. Demikian pula sebaliknya, seseorang yang cinta kepada Allah Subḥānahu wa Ta’ālā, tidak akan memberikan tempat bagi dunia itu menempel di hatinya. Di antara racun dunia yang paling berbahaya bagi umat manusia adalah fitnah wanita, harta dan tahta. Ketika Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam diminta oleh seseorang untuk menunjukkan suatu amal dimana pelakunya akan dicintai oleh Allah Subḥānahu wa Ta’ālā dan manusia, beliau ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اِزْهَدْ فِـي الدُّنْيَا ، يُـحِبُّكَ اللّٰـهُ ، وَازْهَدْ فِيْمَـا فِي أَيْدِى النَّاس ، يُـحِبُّكَ النَّاسُ

“Zuhudlah terhadap dunia, niscaya engkau akan dicintai Allah dan bersikap zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya engkau akan dicintai manusia.” (Sunan Ibnu Mājah, 4102)

Keempat, penjajahan dalam bentuk gazwu al-fikri (perang pemikiran), yaitu invasi nilai-nilai menyimpang yang bisa mengganggu dan merusak keyakinan, moralitas dan pola pikir kaum muslimin agar jauh dari nilai-nilai agamanya. Model penjajahan dan invasi ini juga tak kalah bahayanya karena ia datang dengan begitu halus dan tersembunyi melalui media-media propaganda yang hadir di tengah-tengah kehidupan kaum muslimin hari ini, seperti televisi, internet, media sosial, media cetak dan lainnya.

Hakikat Kemerdekaan

Sebagai makhluk Allah Subḥānahu wa Ta’ālā, manusia telah dianugerahi keistimewaan tersendiri yang tidak ada pada makhluk-makhluk lainnya. Hal ini ditegaskan oleh Allah Subḥānahu wa Ta’ālā dalam firman-Nya,

۞ وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا ࣖ

“Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka di darat dan di laut. Kami anugerahkan pula kepada mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.” (Q.S. al-Isra’: 70)

Selain melalui anugerah ilmu dan akal, menurut sebagian para ahli tafsir, adanya kecenderungan untuk terbebas dari penindasan dan penjajahan yang dimiliki manusia adalah kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk lainnya (al-Baḥr al-Muhīṭ fī al-Tafsīr, 6/59). Dengan kata lain, kemerdekaan merupakan salah satu bentuk kemuliaan manusia. Manusia tak akan lebih utama dari makhluk-makhluk lain dan menjadi mulia sebelum ia terbebas dari penjajahan.

Lalu pertanyaannya, kemerdekaan seperti apa yang akan menjadikannya mulia? Terbebas dari penjajahan seperti apa yang membuatnya lebih utama?

Islam diturunkan dengan membawa misi kemerdekaan umat manusia dalam makna yang paling jauh. Misi itu dinyatakan di dalam surat Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam yang dikirimkan kepada penduduk Najran. Di antara isinya berbunyi,

أَمّا بَعْدُ فَإِنّي أَدْعُوكُمْ إلَى عِبَادَةِ اللّهِ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ وَأَدْعُوكُمْ إلَى وِلاَيَةِ اللّهِ مِنْ وِلاَيَةِ الْعِبَادِ

Ammā ba’du. Aku menyeru kalian untuk menghambakan diri kepada Allah dan meninggalkan penghambaan kepada sesama hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian agar berada dalam kekuasaan Allah dan membebaskan diri dari penguasaan oleh sesama hamba (manusia).” (al-Bidāyah wa al-Nihāyah, V/553)

Misi Islam dalam mewujudkan kemerdekaan untuk seluruh umat manusia ini juga terungkap kuat dalam dialog Jenderal Persia, Rustum, dengan Rib’ī bin ‘Āmir raḍiyallāhu ‘anhu yang diutus oleh Panglima Sa’ād bin Abī Waqqāṣ raḍiyallāhu ‘anhu pada Perang Qadiṣiyah untuk membebaskan Persia. Jenderal Rustum bertanya kepada Rib’i bin ‘Amir, “Apa yang kalian bawa?” Rib’ī bin ‘Āmir menjawab, “Allah telah mengutus kami. Demi Allah, Allah telah mendatangkan kami agar kami mengeluarkan siapa saja yang bersedia, dari penghambaan kepada sesama hamba (sesama manusia) menuju penghambaan hanya kepada Allah; dari kesempitan dunia menuju kelapangannya; dan dari kezaliman agama-agama (selain Islam) menuju keadilan Islam ” (Tārīkh al-Umam wa al-Mulūk, II/401)

Dari riwayat di atas, tampak bahwa Islam memandang kemerdekaan bukan hanya dari satu sisi saja, melainkan dari semua sisi, baik dari segi lahiriyah maupun batiniyah, yakni kemerdekaan atau bebas dari penghambaan kepada selain Allah Subḥānahu wa Ta’ālā menuju tauhid untuk ranah batiniyah dan kemerdekaan dari kesempitan dunia dan ketidakadilan menuju kelapangan dan keadilan Islam dalam ranah lahiriyah. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa makna kemerdekaan dari ajaran Islam adalah kemerdekaan yang sempurna bagi umat manusia. Syekh Muḥammad Ibnu Ṣāliḥ al-Uṡaimīn raḥimahullāh dalam kitab Syarḥ al-Aqīdah al-Waṣiṭiyyah berkata, “’Ubudiyyah (penghambaan) kepada Allah adalah kemerdekaan yang hakiki, (sehingga) orang yang tidak menyembah kepada Allah semata, maka dia adalah hamba (budak) bagi selain Allah.” Artinya, jika ia masih menjadi budak, tentu saja belum pantas disebut merdeka.

Kemerdekaan yang asasi adalah ketika manusia berada dalam fitrahnya, yaitu Islam dan tauhid. Setiap manusia yang terlahir di muka bumi, sejatinya adalah manusia merdeka. Sejatinya, tak seorang pun yang terlahir ke dunia ini kecuali telah bersaksi bahwa Allah Subḥānahu wa Ta’ālā adalah Rabnya dan Islam adalah agamanya. Allah Subḥānahu wa Ta’ālā berfirman,

وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْۚ اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَا ۛاَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَۙ

“Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari tulang punggung anak cucu Adam, keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksiannya terhadap diri mereka sendiri (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu’? Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi’. (Kami melakukannya) agar pada hari Kiamat kamu (tidak) mengatakan, ‘Sesungguhnya kami lengah terhadap hal ini’.” (Q.S. al-A’rāf: 172)

Ketika manusia tidak berada di atas fitrah tersebut, sekali lagi, sesungguhnya ia adalah manusia yang belum merdeka dan masih terjajah. Kemerdekaan manusia yang asasi ini kemudian bisa terampas dari lingkungan dimana manusia itu tumbuh. Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, 2/1385)

Oleh karenanya, setiap muslim hendaknya memaknai kemerdekaan itu sebagai pembebasan dari segala bentuk kesyirikan yang dapat menyimpangkannya dari jalan fitrahnya. Begitu pula, kemerdekaan oleh seorang muslim adalah terbebasnya seorang hamba dari segala sistem kehidupan yang tidak bersumber dari aturan Islam dan sunah Nabi-Nya sebagai wahyu Ilahi. Ketika seorang hamba senantiasa komitmen terhadap hal ini, sejatinya ia adalah manusia merdeka di sepanjang hidupnya.

Mensyukuri dan Mengisi Kemerdekaan

Kemerdekaan bangsa Indonesia dari rongrongan para penjajah adalah sebuah nikmat besar yang wajib untuk disyukuri. 78 tahun yang lalu ketika bangsa ini memproklamirkan kemerdekaannya, para pendiri bangsa telah menyatakan pengakuannya dalam Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, “Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa ”. Dari sini, jelas bahwa kemerdekaan yang dirasakan hingga saat ini adalah berkat rahmat dan nikmat Allah Subḥānahu wa Ta’ālā yang wajib disyukuri. Jika diingkari, tidak menutup kemungkinan, Allah Subḥānahu wa Ta’ālā akan mencabut nikmat-Nya dan menggantinya dengan niqmah (azab). Sebaliknya, jika disyukri maka kesyukuran tersebut akan mengundang nikmat Allah Subḥānahu wa Ta’ālā yang lebih besar. Allah Subḥānahu wa Ta’ālā berfirman,

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ

“(Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras’.” (Q.S. Ibrahim: 7)

Mensyukuri kemerdekaan adalah mensyukurinya dengan lisan-lisan kita, dalam bentuk kalimat tahmid, berterima kasih, menyebut, dan mendoakan jasa para pahlawan, semoga amalnya diterima Allah Subḥānahu wa Ta’ālā. Menyebut jasa baik tersebut juga menjadi bagian dari syukur kita kepada Allah Subḥānahu wa Ta’ālā. Rasulullah Ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ لَا يَشْكُرُ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ

“Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, berarti tidak bersyukur kepada Allah” (Musnad al-Imām Aḥmad bin Ḥanbal, 18/11702).

Mensyukuri kemerdekaan adalah dengan mengisi masa kemerdekaan dengan amalan yang disyariatkan Allah Subḥānahu wa Ta’ālā, dalam berbangsa dan bernegara, bukan dengan mengisinya dengan kemaksiatan kepada-Nya. Dengan tegas Allah Subḥānahu wa Ta’ālā telah memberi arahan kepada bangsa ini bagaimana seharusnya mengisi kemerdekaan dan mensyukuri nikmat kepemimpinan. Allah Subḥānahu wa Ta’ālā berfirman dalam surah al-Hajj ayat 41,

اَلَّذِيْنَ اِنْ مَّكَّنّٰهُمْ فِى الْاَرْضِ اَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ وَاَمَرُوْا بِالْمَعْرُوْفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِۗ وَلِلّٰهِ عَاقِبَةُ الْاُمُوْرِ

“(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di bumi, mereka menegakkan salat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Hanya kepada Allah kesudahan segala urusan.”

Dalam kitab Tafsīr al-Muyassar disebutkan bahwa kalimat ”Kami teguhkan kedudukan mereka di bumi” dapat berarti sebagai “orang-orang yang Kami jadikan mereka penguasa di sana, dengan memenangkan mereka atas musuh-musuh mereka”. Hal ini bermakna bahwa mereka berada pada kondisi yang merdeka dari penjajahan.

Artinya, ketika kita ingin kuat dan berdaulat, terbebas dari penjajahan, nikmat kemerdekaan seyogianya diisi dengan berbagai bentuk ketaatan dan bakti kepada Allah, Yang Maha Kuasa. Kemerdekaan patutu disyukuri dengan mempertahankan keutuhan jati diri bangsa ini dengan nilai-nilai Islam yang tinggi dan cinta kepada negeri ini sebagai negeri Islam. Dengan itu, insyaallah kita akan mampu meraih kejayaan di masa yang akan datang dan meneruskan sejarah bangsa ini menjadi sebuah “baldatun ṭayyibatun wa rabbun gafūr“ yaitu sebuah negara dan bangsa yang meraih magfirah (ampunan), kesejahteraan dan kedamaian dari Allah Subḥānahu wa Ta’ālā selama-lamanya. Semoga.

Wallāhu a’lam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image