Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Miftah Rinaldi Harahap

Angin Revolusi:Sebuah Usulan Narasi untuk Mahasiswa Indonesia

Politik | Monday, 28 Aug 2023, 17:19 WIB

Tragedi Kanjuruhan sudah berlalu tetapi luka masih membekas di hati setiap anak bangsa. Namun, sepertinya para elite politik tidak terlalu memedulikan hal itu. Mereka tetap saja larut dalam kesibukan memilih calon presiden dan wakil presiden jelang Pemilu 2024.

Di sisi lain, para elite politik hari ini seperti tidak menggubris lautan aksi mahasiswa yang belakangan gencar menyuarakan penolakan terhadap kenaikan harga BBM. Seperti angin lalu, para elite politik seolah ingin mengatakan kepada seluruh mahasiswa Indonesia yang turun ke jalan bahwa kalau mau perubahan maka tunggu sampai pemilu diadakan pada 2024.

Bukankah ini seperti penghinaan kepada seluruh mahasiswa Indonesia? Bukankah sejarah Indonesia telah menggambarkan dengan jelas bahwa kemerdekaan negeri ini diperoleh dengan munculnya kaum intelektual-penggerak yang kemudian merebut dan bukan menunggunya diberikan oleh para penjajah?

Ini adalah fenomena menarik. Mengapa demikian? Hal itu karena para elite politik hari ini tidak gentar menghadapi pelbagai macam aksi protes yang dilayangkan oleh para mahasiswa. Padahal seperti kita ketahui bersama, pada setiap aksi protes yang dilakukan oleh mahasiswa, mereka selalu turun ke jalan dengan massa yang sangat signifikan.

Lantas, apa yang menyebabkan para elite politik bersikap demikian? Apakah narasi yang disuarakan para mahasiswa belum cukup tajam untuk membuat para elite politik memenuhi pelbagai macam tuntutan yang disuarakan?

Pergulatan Mahasiswa Indonesia

Sebelum menjawab pertanyaan itu, marilah kita ulas bagaimana pergulatan para mahasiswa dalam membawa arus perubahan politik di Indonesia. Timeline sejarah Indonesia mencatat bahwa masing-masing angkatan dari pergerakan mahasiswa adalah suatu rangkaian dialektis yang selalu terhubung dari masa ke masa.

Onghokham (1977) menjelaskan munculnya intelektual-aktivis ini bukan fenomena baru di panggung sejarah Indonesia. Boleh dikatakan, golongan muda ini muncul karena melihat peranan orang muda pada suatu peristiwa sejarah yang besar.

Angkatan-08 yang memantik kebangkitan nasional; Angkatan-28 yang menghasilkan konsep bangsa; Angkatan-45 yang menghasilkan konsep negara; Angkatan -66 yang meruntuhkan rezim orde lama dan kemudian mengantarkan bangsa Indonesia masuk ke rezim orde baru; Angkatan -98 yang meruntuhkan rezim orde baru dan kemudian mengantarkan bangsa Indonesia masuk ke alam demokrasi.

Deretan peristiwa ini kembali mengingatkan kita kepada pendapat yang dilontarkan oleh Francois Raillon bahwa para pemuda yang sadar adalah generasi yang bertanggung jawab terhadap masa depan bangsa. Mereka berhak untuk mengaktualisasikan kekuatan moral, mempunyai hak untuk mengambil inisiatif untuk menggugat generasi sebelumnya yang dinilai telah kehilangan idealisme dan integritas karena terlalu terlena dengan kekuasaan (Saidi, 1989).

Melalui penjelasan sebelumnya, jelas terlihat bahwa mahasiswa Indonesia memiliki peranan penting dalam menentukan arah perubahan politik di negeri ini. Di masa lalu, para mahasiswa Indonesia semangat menggugat dan mampu untuk menciptakan konsepsi sekaligus momentum untuk melakukan perubahan. Namun, di masa sekarang, mahasiswa hanya memiliki semangat untuk menggugat tetapi kehilangan kemampuan untuk menciptakan konsepsi dan momentum perubahan.

Keadaan mahasiswa saat ini bukanlah sesuatu hal yang baru, tetapi keadaan seperti ini telah ada sejak masa kebijakan NKK/BKK diterapkan oleh Daoed Yoesoef. Kebijakan ini dibuat oleh rezim orde baru untuk mematikan dinamika kampus dan meredam seruan perlawanan yang digaungkan oleh mahasiswa.

Selain itu, kebijakan ini juga membuat kampus pada akhirnya hanya melahirkan mahasiswa-mahasiswa oportunis yang hanya memikirkan soal kenyamanan, tidak kreatif, dan tidak memiliki pesona yang mampu untuk menjadi sumber inspirasi rakyat. Hal ini pula yang membuat mahasiswa tidak mampu untuk menempatkan diri sebagai sumber kekuatan moral dan kebijaksanaan. Sialnya, mereka juga dihinggapi oleh sikap konsumtif.

W.S.Rendra (1989) mengambarkan kondisi mahasiswa dengan sangat gamblang; “Saya sering didatangi oleh mahasiswa untuk tukar pendapat. Mereka kebanyakan minta kepada saya untuk dapat membantu mereka menggerakkan massa. Wah, saya katakan kepada mereka, apa kalian sudah gendeng, minta saya membantu menggerakkan massa? Apa kalian sudah tidak punya lagi otoritas moral sehingga perlu bantuan pihak luar?Benar jika dulu saya terlibat aktif di masa pergerakan mahasiswa 78 ataupun masa sebelumnya mulai dari 1971, 1972, ataupun 1974. Tapi bukan mereka yang meminta saya atau memengaruhi saya. Tetapi saya sendirilah waktu itu yang terpengaruh oleh gerakan mereka.”

Tidak sampai di situ, W.S.Rendra juga mengkritik bahwa gerakan mahasiswa tidak mempunyai arah dan tujuan jelas ketika bergerak. Ia menambahkan bahwa gerakan mahasiswa sekarang cenderung hanya untuk rame-rame, asal ribut, kemudian dimuat di koran, dan puas (Rendra dalam Saidi, 1989).

Berefleksi dari deretan penjelasan sebelumnya, bukankah sebagian besar mahasiswa masih melakukan hal tersebut? Aksi-aksi yang dilakukan mahasiswa dewasa ini seolah hanya untuk setor muka ke jalan lalu diakhiri dengan undangan ke pelbagai stasiun TV atau kanal YouTube. Kemudian, pergi bertemu tokoh publik yang mungkin dulunya adalah aktivis mahasiswa, kemudian berbincang tentang problem-problem kebangsaan, lalu diakhiri dengan meminta bantuan kepada tokoh tersebut.

Belum lagi ketika kita melihat narasi-narasi yang dimunculkan oleh mahasiswa ketika turun ke jalan,bukankah tak ada narasi baru? Narasi yang dimunculkan selalu sama yaitu “reformasi.” Sialnya,narasi reformasi yang dimaksud tidak jauh-jauh dari pergantian kepemimpinan politik belaka.

Sudah saatnya mahasiswa muncul dengan narasi yang mampu mengubah tatanan sosial-politik yang sedang sakit parah ini? Jangan-jangan inilah yang menyebabkan para politisi tak tahu diri itu menganggap mahasiswa tidak mempunyai kekuatan apa pun untuk melakukan perubahan sosial.

Dengan kurang ajar mereka menganggap mahasiswa hanya sekumpulan anak manja yang tak mampu mencipta konsep dan momentum. Lihat saja apa yang mereka lakukan! Di tengah problematika bangsa yang semakin kompleks disuarakan oleh mahasiswa melalui demonstrasi, elite politik tetap sibuk membicarakan soal kasak-kusuk politik jelang 2024.

Kembali ke Republik

Suka atau tidak,sejarah bangsa Indonesia adalah sejarah tentang upaya untuk melepaskan diri dari belenggu feodalisme.Transformasi yang dilakukan dari pelbagai macam kerajaan,lalu kemudian berubah menjadi bangsa,hingga kemudian menentukan sikap melahirkan sebuah negara adalah sederet upaya yang dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut.Sepintas terlihat bahwa upaya tersebut berhasil,hal itu terbukti dari adanya transformasi secara institusional dan identitas.Namun,jika kita mencoba untuk melisik lebih dalam lagi transformasi yang kita anggap sebagai bentuk dari keberhasilan tidak lantas menghilangkan sikap – mental feodal dari pikiran rakyat Indonesia.

Jika membaca realitas diatas sejatinya mahasiswa tidak perlu bingung untuk menentukan apa sebenarnya problem utama bangsa ini.Mereka hanya perlu untuk menyempurnakan apa yang belum sempat disempurnakan oleh para pendiri bangsa ini.Tetapi yang menjadi persoalan adalah apakah mahasiswa Indonesia mengetahui apa yang belum sempat disempurnakan oleh para pendiri bangsa ini?

Ketika melihat dan membaca pelbagai macam tuntutan yang dilontarkan mahasiswa ketika melakukan aksi,saya bisa menduga bahwa mahasiswa Indonesia tidak mengetahui secara persis hal apa sebenarnya yang belum sempat disempurnakan oleh para pendiri bangsa ini.Oleh sebab itu,izinkan saya menjelaskan kepada kawan – kawan sekalian tentang hal tersebut.

Mari kita mulai penjelasan ini dari perdebatan antara para pendiri bangsa terkait dengan bentuk negara di sidang BPUPK (Badan Usaha Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan).Saat itu ada dua konsep yang mengemuka di sidang BPUPK terkait bentuk negara yaitu monarki dan republik. Sebagian besar tokoh menginginkan bentuk negara Indonesia adalah monarki dengan rasionalisasi bahwa konsep ini mengandaikan sebuah negara yang dipimpin oleh wali negara dan tidak bertentangan dengan perasaan rakyat.Sedangkan,tokoh lainnya menginginkan bentuk negara Indonesia adalah republik dengan rasionalisasi bahwa konsep ini akan mengantarkan Indonesia ke dalam lembar sejarah baru yang tidak terikat dengan masa lalu dan negara dibangun berdasarkan kedaulatan rakyat.

Silang sengkarut perdebatan tentang bentuk negara ini pada akhirnya tidak bisa diselesaikan dengan musyawarah tetapi dengan voting yang pada akhirnya memutuskan bahwa bentuk negara Indonesia adalah republik.Terpilihnya republik sebagai bentuk negara dapat dimaknai sebagai sikap penolakan bangsa Indonesia terhadap konsep monarki.Selain itu hal ini juga dapat dimaknai sebagai keberhasilan dari bangsa ini dalam melakukan transformasi,tetapi seperti yang sudah saya sampaikan ketika membuka tulisan ini bahwa transformasi yang dilakukan hanya bersifat institusional dan identitas. Institusional maksudnya republik hanya dipahami sebagai nama dari sebuah negara yang hendak merdeka dan identitas maksudnya republik hanya dipahami sebagai alat pembeda antara bangsa Indonesia dengan kolonialisme.

Melalui penjelasan sebelumnya jelas terbaca bahwa pemahaman bangsa ini tentang bentuk negaranya sendiri hanya berada di dalam taraf de jure dan gagal meneruskan ke tahap de facto yaitu memahaminya sebagai sistem filsafat politik.

Dalam semesta filsafat negara yang memilih bentuk republik harus dikelola dengan menggunakan konsep republikanisme. Republik dan republikanisme adalah dua konsep yang memiliki pengertian yang berbeda. Republik diartikan sebagai suatu komunitas politik bersama yang dikelola oleh pemerintah yang berasas hukum dan kesetaraan dengan tujuan mencapai kebahagiaan bersama. Sedangkan, republikanisme diartikan sebagai teori dan ajaran mengenai pemerintahan republik. Honohan (2002) menjelaskan bahwa republikanisme atau sering disebut juga sebagai civic humanism merupakan sebuah aliran dalam filsafat politik yang memiliki akar panjang. Para pemikirnya terbentang dari Aristoteles di era klasik, Machiavelli di era pencerahan, Rousseau di Prancis, Madison di era Revolusi Amerika, Hanna Arendt di abad ke-20, dan Michael Sandel di era Kontemporer (Robet, 2021). Konsep republikanisme bermula dari kodifikasi yang dibuat oleh pemikir romawi bernama Cicero.

Pada mulanya konsep ini merupakan sebuah pandangan filsafat yang terlibat. Maksudnya, ia bukan hanya sebuah konsep semata-mata tetapi juga merupakan manifestasi dari sebuah gerakan politik.Dari masa ke masa, konsep republikanisme memiliki pemaknaan yang berbeda-beda. Van Gelderen dan Skinner (2002) menerangkan pada masa Aristoteles, republikanisme dimaknai sebagai prasyarat etik dari keterlibatan dalam “polis”; pada masa Cicero dimaknai sebagai suatu wilayah etis di mana politik mewujud dalam bentuk sempurnanya;

Pada masa Machiavelli, republikanisme menjadi semacam prinsip kebebasan yang mendasari otonomi negara; pada masa Rousseau, republikanisme menjelma menjadi prinsip kedaulatan yang menggantikan kedaulatan para Raja. Di wilayah Eropa, republikanisme menjadi semacam ideal yang menggaungkan demokrasi dan kesetaraan untuk menggantikan dominasi kaum monarki.

Melalui uraian sebelumnya, kita bisa memotret beberapa proposisi dasar di dalam konsep republikanisme, yaitu berorientasi kepada pemenuhan kebaikan bersama (common good), menekankan pentingnya keutamaan warga (civic virtue), menekankan perlunya peran partisipasi kewarganegaraan, adanya institusi politik, serta patriotisme. Coba amati proposisi – proposisi ini dengan baik, kemudian kita berefleksi tentang Indonesia saat ini, saya yakin kita akan menyimpulkan bahwa proposisi ini tidak ada realitas sosial –politik Indonesia. Ketiadaan proposisi ini pula yang menyebabkan feodalisme enggan menghilang dari alam pikiran rakyat Indonesia.

Maka, berdasarkan uraian sebelumnya saya ingin mengusulkan kepada seluruh mahasiswa Indonesia untuk mengaktifkan kembali republik dan republikanisme sebagai basis narasi perjuangan dan pergerakan untuk menuntut perubahan. Mahasiswa Indonesia harus mengambil peran meneruskan revolusi yang belum sempurna dilakukan oleh para pendiri bangsa ini.Terakhir, izinkan saya secara tegas mengatakan kepada kawan – kawan mahasiswa sekalian bahwa masa depan kita ada di masa lalu kita!

*Tulisan ini telah rilis dikanal Nalar Politik pada 11 November 2022

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image