Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Magfira Dwi Fahira

Program Rehabilitasi Hutan dan Reklamasi Lahan Bekas Tambang dalam Pemindahan IKN

Eduaksi | Friday, 25 Aug 2023, 12:55 WIB


Perpindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan merupakan salah satu isu yang hangat dibicarakan akhir akhir ini. Tetapi berdasakan survey yang dilakukan oleh satu media bahwa sekitar 61,9% responden tidak setuju dengan pemindahan ibu kota dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur ini. Salah satu alasan utama para responden tersebut tidak setuju adalah karena mereka berpendapat bahwa pemindahan ibu kota ini merupakan salah satu pemborosan anggaran negara. Selain itu, dampak negative lainnya apabila pemindahan ibukota ini terjadi adalah akan beresiko merusak lingkungan hidup, rusaknya kehidupan fauna dan flora.

Hal ini sebagai dampak pembangunan kota, perumahan penduduk, pertokoan, pasar,dsb. Hutan Kalimantan yang dikenal sebagai paru-paru dunia bisa jadi kedepannya hanya tinggal kenangan karena ulah manusia. Untuk mewujudkan pembangunan IKN ini pemerintah melakukan program rehabilitasi hutan dan reklamasi lahan bekas tambang,walaupun program ini memiliki dampak positif terhadap lingkungan sekitar.Namun,kenyataannya program ini juga menimbulkan dampak negative dan merugikan pemerintah di Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada sejak awal tahun 1950-an, Pemerintah Indonesia telah menerapkan berbagai program rehabilitasi hutan, akan tetapi tingkat keberhasilannya sangat rendah sehingga tidak memberikan dampak positif apapun terhadap perbaikan kualitas lingkungan hidup dan ekosistem.

Akibat kegagalan implementasi kebijakan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), negara telah dirugikan 5.2 miliar USD yang berasal dari alokasi dana reboisasi (DR) saja, belum termasuk kegiatan RHL yang dibiayai dari sumber dana lainnya. RHL cenderung diidentikkan dengan kegiatan bercocok tanam bukan merupakan suatu upaya membangun hutan. Sejalan dengan itu, Zubayr et al. (2014) menyatakan bahwa kegagalan implementasi kebijakan reklamasi hutan lebih disebabkan oleh tidak adanya struktur insentif yang sesuai dan biaya transaksi yang relatif tinggi. Kegagalan rehabilitasi dan reklamasi hutan lebih pada diskursus terhadap sumberdaya hutan. Kegagalan realisasi reklamasi pasca tambang menyebabkan tingginya kerugian negara akibat kerusakan lingkungan. Sebagai contohnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengalokasikan dana APBN untuk kegiatan RHL sebesar Rp 3.34 triliun dalam periode tahun 2010—2014, yang terdiri dari Rp 1.78 triliun dana DIPA Kemenhut dan Rp 1.56 triliun dana DAK bidang Kehutanan tahun 2010‒2014 sebagai upaya untuk menanggulangi kekritisan hutan dan lahan, akan tetapi upaya tersebut masih belum optimal, ditunjukkan oleh masih tingginya luasan lahan kritis nasional pada periode tahun 2006‒ 2013 sebesar 24.3 juta ha.

Sejalan dengan hal itu, kegiatan reklamasi yang dilaksanakan oleh pemegang ijin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) belum menunjukkan hasil yang optimal. Sampai tahun 2013 realisasi kegiatan reklamasi hutan baru mencapai 35.11% atau 28 586.77 ha dari total luas areal yang telah dibuka oleh pemegang IPPKH. Selain itu, proses rehabilitasi hutan ini memakan waktu cukup lama. Bahkan, pola dan mekanisme rehabilitasi hutan serta lahan sesungguhnya tak banyak berubah sejak pertama kali instruksi presiden tentang reboisasi dan penghijauan pada 1971 hingga berubah nama menjadi rehabilitasi hutan dan lahan tak banyak berubah. Program rehabilitasi masih fokus pada penanaman dan pemeliharaan tahun pertama (tanaman umur 2 tahun) dan pemeliharaan tahun kedua (tanaman umur 3 tahun).

Selebihnya, mulai pohon umur 4 tahun dan seterusnya pohon diserahkan pada mekanisme alamiah. Padahal untuk menjadi pohon dewasa yang sempurna menciptakan iklim mikro sebagai pengertian hutan, satu pohon butuh tumbuh hingga 15 tahun. Jika paradigma lama ini masih terjadi, tidak heran jika rehabilitasi akan selalu dianggap sebagai cost center yang menjadi beban anggaran. Padahal, apalagi jika dikaitkan dengan krisis iklim sekarang, rehabilitasi adalah tugas utama KLHK. Apalagi, biaya rehabilitasi tersedia melalui dana reboisasi, yang dipungut dari tiap volume pohon yang ditebang oleh industri kehutanan.

Tujuannya agar tiap pohon yang ditebang tergantikan di tempat lain sehingga luas hutan kita seimbang mesti ada deforestasi yang direncanakan melalui pemberian konsesi. Maka agar rehabilitasi hutan dan lahan tak menjadi pusat biaya, pemerintah mesti mengubah paradigmanya, lalu merancang programnya yang komprehensif dari perencanaan hingga hutan terbangun dengan sempurna. Referensi : https://www.forestdigest.com/detail/1374/rehabilitasi-hutan-dan-lahan https://journal.ipb.ac.id/index.php/jsilvik/article/download/14715/10877/ https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/12/24/619-orang-tidak-setuju-ibu-kota-pindah-apa-saja-alasannya

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image