Kecerdasan Buatan Mengetuk Naluri Evolusi Manusia
Lomba | 2023-08-25 00:48:25Hadirnya kecerdasan buatan (Artificial Intellegence) rasanya tidak perlu dianggap sebagai ancaman, tantangan, ataupun harapan. Kecerdasan buatan tetaplah sebuah alat (teknologi)—yang pada dasarnya memiliki sifat dan prinsip kerja memperbarui yang lama. Hari ini kita lebih mudah menyebutnya dalam pengertian disrupsi.
Menilik sejarah peradaban, disrupsi terjadi berulang pada titik periodenya masing-masing. Mulai dari zaman batu tua (paleolitikum), batu pertengahan (mesolitikum), batu baru (neolitikum), perunggu, besi, kuno, abad pertengahan, renaisans, era penjelajahan, revolusi industri, hingga jaringan informasi, proses disrupsi selalu hadir sebagai batas tanda peralihan.
Sekarang, tanda peralihan tersebut sedang menggulirkan tongkat estafetnya. Manusia abad 21 telah ditunggu penerusnya di akhir kejayaan kognitif. Gerbong peradaban tidak pernah berhenti, menunggu, apalagi terlambat. Ketika gerbong “kecerdasan buatan” itu penuh, kehidupan akan dilanjutkan, dan terus dilanjutkan.
Kecemasan Antisipatori dalam Massa Transisi
Apa yang membuat kita cemas terhadap massa depan adalah kurang terbukanya pikiran kita menghadapi takdir. Bila hal tersebut berlanjut secara berlebihan, bisa jadi kita telah masuk pada level kecemasan antisipatori. Suatu kondisi peningkatan kecemasan karena memikirkan suatu peristiwa atau situasi masa depan.
Penderita kecemasan antisipatori biasanya menghabiskan waktunya dalam pikiran-pikiran negatif terhadap suatu hasil, padahal semua itu belum tentu terjadi. Sehingga meningkatkan rasa frustasi dan putus asa. Pada kasus lanjutan, dapat mengarah pada gangguan kecemasan emosional, fobia, gangguan panik, dan gangguan stres pascatrauma.
Hal tersebut dapat dihindari bila mitos-mitos wacana teknologi dipinggirkan, seperti pertanyaan, apakah ini ancaman? Tantangan? Ataukah justru harapan?
Ketika manusia beralih dari batu ke perunggu, kemudian ke besi, dan seterusnya, ada kekhawatiran bahwa cara hidup akan berubah. Ketika revolusi industri muncul, mesin dianggap sebagai ancaman terhadap pekerjaan fisik manusia. Sekarang, kecemasan yang sama muncul terkait kecerdasan buatan.
Mungkin di masa depan, apa yang kita cemaskan hari ini akan menjadi artefak sejarah. Manusia hibrid (terminator) di massa depan pun akan sama. Membaca manusia sekarang dalam buku-buku sejarah dan potongan-potongan hologram. Penerus terminator (entah apa besok disebutnya) bakal juga mewarisi kecemasan ini, membaca pendahulu-pendahulunya dalam ingatan primitif yang jauh.
Jadi, disadari ataupun tidak, diterima ataupun tidak, apa yang berlangsung hari ini sampai esok sejatinya merupakan konsekuensi linier atas prinsip kerja sebuah teknologi. Setiap zaman selalu dan akan menghadapi persoalan serupa. Di massa kita sekarang, kecerdasan buatanlah yang sedang berperan, menunggu, dan mengetuk naluri evolusi dalam diri kita, manusia.
Takdir Teknologi dan Manusia
Pencapaian kognitif manusia telah menciptakan persoalan besar yang luar biasa kompleks. Perubahan iklim, ketimpangan sosial, krisis kesehatan, pengangguran, krisis migran, kebijakan lingkungan, isu teknologi, kesehatan mental, kerancuan politik, bias gender, dan pertumbuhan penduduk.
Segala persoalan tersebut harus dicarikan jalan keluar. Mary Belknap dalam Homo Deva menyatakan, segala permasalahan yang dihadapi Homo sapiens hari ini (krisis) sulit untuk dipungkiri untuk diselesaikan. Ketika setiap tingkatan mencapai krisis terdalamnya, solusinya dapat ditemukan pada tingkat berikutnya yang lebih tinggi. Secara singkat menurut Belknap manusia membutuhkan lompatan ke tingkat lanjutan yang lebih tinggi.
Tingkat lebih lanjut inilah yang sekarang sedang berlangsung. Abstraksi penyelesaiannya sudah ada. Nanoteknologi, AI generatif, big data, komputasi kuantum, rekayasa genetik, dan sejenisnya merupakan pijakan awal ke sebuah era baru.
Kehadiran teknologi super tersebut tidak perlu dikelompokkan sebagai ancaman kepunahan atau disrupsi kemanusiaan. Justru duduk perkara ini lebih damai bila dipahami sebagai takdir dari hubungan antara teknologi dan manusia (human-nonhuman).
Dalam On Technoethics, Galvan menyatakan manusia tidak dapat menjauh dari dimensi teknis (technical dimension), sebab pada dasarnya manusia sudah terkonstruksi secara teknis. Teknologi bukan tambahan pada manusia, tetapi fakta manusia itu sendiri, sebagai salah satu pembeda manusia dengan makhluk lainnya.
Lebih mudah bila diibaratkan seperti dua langkah kaki yang berjalan saling mendahului agar maju. Kaki kiri sebagai masalah, kaki kanan sebagai jalan keluar. Kedua kaki tersebut dijalankan manusia agar tetap eksis dalam persaingan peradaban.
Oleh karena itu, teknologi dan manusia dalam batas pengertian ini dapat dikatakan sebagai satu kesatuan unit takdir. Keduanya berinteraksi dalam dua prinsip kerja simultan: menghadirkan dan menyelesaikan. Teknologi menghadirkan masalah, dan teknologi kembali yang menyelesaikannya
Fleksibilitas Kognitif: Bekal Utama
Mengutip pernyataan Darwin, bukan spesies terkuat dan terpintar yang bertahan, melainkan spesies yang mudah beradaptasi. Lantas bagaimana manusia beradaptasi?
Menurut Sahakian, Langley, dan Leong, beragam prestasi terbaik umat manusia (adaptasi) utamanya lebih dipengaruhi oleh atribut seperti kreativitas, imajinasi, rasa ingin tahu, dan empati. Beberapa penelitian mereka juga menyebut kemunculan sifat-sifat tersebut sebagai “fleksibilitas kognitif”. Suatu kemampuan untuk bisa menggunakan berbagai konsep yang berbeda, atau beradaptasi untuk mencapai tujuan tertentu dalam suatu lingkungan yang baru atau senantiasa berkembang.
Fleksibilitas kognitif justru dalam keadaan ini lebih berperan dalam perkembangan manusia ketimbang intelligence quotient (IQ). Ia membekali manusia dengan kemampuan belajar dan melihat keberhasilan melalui langkah-langkah strategi dari abstrak menjadi konkret. Sederhananya, fleksibilitas kognitif memungkinkan segala persoalan dan permasalahan menemukan jalan keluarnya.
Artinya, permodelan sikap atau karakter yang bertendensi kreasi afektif dan fiksi perlu didorong dan diprioritaskan. Sependapat dengan Andreas Maryoto dalam Titipkan Otakmu pada AI Generatif, “selamat beristirahat otak, kami serahkan sebagaian tugasmu ke AI generatif”.
Perlu dipahami bersama, massa transisi hari ini memerlukan dorongan kemanusian, hati ke hati, kalkulasi sosiologis, kebersamaan, kedamaian, dan kebahagiaan. Prioritas aksi wajib diorientasikan ke sana. Ada beberapa tindakan konkret yang dapat kita ambil.
Pertama, mulai berfokus pada pendidikan yang berorientasi fleksibilitas kognitif, seperti termasuk kreativitas, imajinasi, rasa ingin tahu, dan empati, dan fiksi. Semua itu adalah bekal yang sejauh ini kecerdasan buatan belum mampu menyentuhnya.
Kedua, kemanusian dan kedamaian. Nilai-nilai kemanusian harus diintegrasikan dalam penggunaan kecerdasan buatan. Ini memerlukan pemahaman bahwa kecerdasan buatan adalah alat untuk meningkatkan kualitas hidup kita. Hal itu dapat dicapai dengan mulai memberlakukan regulasi yang berorientasi etika dan keamanan.
Ketiga, kolaborasi dengan Teknologi. Cukup membuang waktu bila wacana mitos teknologi terus digaungkan. Tidak bermaksud terjebak pada optimisme berlebihan, sikap relavan dan realistis dalam hal ini adalah kolaborasi. Gunakan kecerdasan buatan untuk membantu meningkatkan efisiensi, ketepatan, kalkulasi, dan kreativitas. Bagaimanapun, kecerdasan buatan adalah alat.
Dengan berorientasi pada tiga langkah tersebut, manusia akan dapat mengintegrasikan kecerdasan buatan dengan bijak. Pada akhirnya manusia juga akan berkontribusi pada perkembangan peradaban yang lebih baik.
Ini bukan sebuah optimisme, melainkan sebuah garis kehidupan yang panjang. Tanpa kita pikirkan pun apalagi cemaskan, kecerdasan buatan telah hadir dan berjalan. Semua ini seperti kicauan burung di pagi hari, sudah sewajarnya terjadi. Bukalah pintu itu, bagaimanapun mereka adalah penerus kita.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
