Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dimas Muhammad Erlangga

Membicarakan Kembali Sistem Presidensial yang Efektif

Politik | 2023-08-23 05:40:52

Jika mengacu kepada UUD 1945, Indonesia seharusnya konsisten menganut sistem presidensial. Sistem itu diharapkan dapat membentuk pemerintahan yang stabil dan efektif.

Pasca orde baru 1998, ada kecenderungan mengkombinasikan antara presidensial dan sistem multi-partai di Parlemen. Dalam prosesnya, model itu tidak menjamin pemerintahan menjadi efektif dan sistem kepartaian menjadi kuat.

Akhirnya, muncullah ide untuk penyederhanaan parpol. Awalnya dilakukan dengan memberlakukan electoral threshold pada Pemilu 1999, lalu berubah wujud menjadi Parliamentary Threshold Pada Pemilu 2009 hingga sekarang. Akan tetapi, hal itu juga tidak berhasil menciptakan sistem multi-partai yang sederhana. sistem parliamentary threshold pun belum memperbaiki sistim kepartaian.

sistem multi partai yang sederhana tidak menjamin lahirnya presidensial yang efektif. Ia mencontohkan pengalaman sejumlah negara di Amerika Latin. Di Uruguay, misalnya, dari tahun 1942 hingga 1973 menganut multi-partai sederhana, dengan dua partai yang sangat dominan: Colorado dan Partido National. Akan tetapi, di dalam tubuh kedua parpol itu ada sayap-sayap politik yang beragam. Pertikaiannya justru terjadi ditubuh parpol itu. Antara lain yang diributkan adalah soal porsi menteri dari masing-masing sayap politik. Sistem multi-partai sederhana ala Uruguay berujung pada kudeta militer. Untuk membuat multi-partai sederhana dan sekaligus pemerintahan yang kuat, tanpa mengubah UU Pemilu, saya mengajukan sejumlah jalan. Pertama, memberdayakan bikameralisme, yakni dengan memperkuat peranan DPD sebagai perancang dan pemberi restu UU. Kedua, pemilu legislatif dan Pilpres nasional harus terpisah dengan Pileg daerah. Dalam konteks itu, parpol lokal harus diakui, bahkan boleh ikut bertarung di pemilu nasional asalkan, misalnya, memenuhi syarat sekian persen menguasai DPRD.

Ketiga, mengerem nafsu pembentukan parpol baru dengan membolehkan calon independen Presiden dan DPR atau DPRD. Sebab selama ini banyak tokoh mendirikan parpol sekedar untuk mencari kuda tunggangan untuk pilpres.

Keempat, keserentakan penyelenggaran pemilu legislatif yaitu DPR RI dan DPD RI dan pemilu presiden. Artinya, ada kesamaan waktu penyelenggaraan dan kertas suara.

Kelima, membolehkan parpol untuk bergabung atau fusi atau memboleh parpol berkoalisi dalam pileg. Di sini, gabungan parpol boleh menyebut nama-nama parpol yang bergabung.

Keenam, menciptakan multi-kepartaian sederhana di dalam DPR, yakni dengan memperketat syarat pembentukan fraksi, disiplin fraksi, dan pembentukan komisi DPR setara jumlah kementerian.

Ketujuh, mengutak-atik hubungan eksekutif dengan parlemen. Umpamanya, pemimpin partai mayoritas di koalisi diangkat sebagai kepala pemerintahan untuk mengurusi koalisi.

Kedelapan, memperkuat kekuasaan eksekutif: Presiden dipersenjatai hak veto dan kewenangan menetapkan lamanya pembahasan RUU atau Perppu.

Bila semuanya kurang bisa diterima Institusi Politik, maka pantas Indonesia beralih saja dari Presidensial ke Semi-Presidensial seperti Mesir Atau Aljazair.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image