Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Arif Wibowo

Buya Hamka : Karya yang Mengubah dan Menggerakkan

Agama | Tuesday, 22 Aug 2023, 06:02 WIB

Dalam perbincangan di sebuah platform media sosial, seorang pembelajar agama menyebut Hamka sebagai orang yang bingung. Karya-karya Hamka, secara keilmuan tidak mendalam, demikian bahasa lugas yang ia tuliskan di kolom komentar. Mungkin santri yang calon kyai itu tahu kalau saya adalah penggemar berat karya-karya Buya Hamka. Yang mungkin tidak pahami santri senior tersebut adalah, bahwa Buya Hamka menuliskan karya-karyanya itu untuk dipersembahkan kepada umat, bukan semata-mata menulis untuk kepentingan polemis bahan debat di dalam pesantren atau ruang akademik. Dan menurut saya, disitulah kelebihan seorang Hamka, sehingga karya-karyanya mampu menggerakkan perubahan di aras realitas.

Pada pengantar di Tafsir al Azhar, Hamka menulis, bahwa ia melihat ada antusiasisme yang tinggi pada masyarakat khususnya anak-anak muda Indonesia untuk belajar Islam. Namun, ibaratnya, rumah sudah nampak, tapi jalan tidak tahu. Untuk merekalah tafsir ini ditulis. Sehingga bahasa dalam tafsi al Azhar itu tidak terlalu tinggi namun tidak juga bahasa rendah. Sebab spektrum pembacanya, lanjut Hamka, ada kyai, dosen, dokter, guru, pegawai bahkan tukang becak. Saya merasakan sendiri spirit penulisan Tafsir al Azhar Buya Hamka yang saya mulai baca sejak saya duduk di Sekolah Menengah Atas. Sebagai anak SMA waktu itu, bahasa Buya Hamka bisa saya pahami dengan baik, bahkan bila membacanya dalam kondisi khusyuk saya merasakan seolah Buya Hamka sendirilah yang bercerita kepada saya.

Karya-karya Buya Hamka juga bisa dikatakan sebagai representasi umat. Buya Hamka disebut sebagai salah satu bapak Historiografi Indonesia modern, sebab tulisan-tulisan Hamka tentang sejarah mampu mengintegrasikan Keislaman dan Keindonesiaan dengan apik. Gagasan Hamka dan Natsir tentang nasionalisme Indonesia, dimana Islam adalah faktor utama yang merangkainya, dikenal dengan istilah nasionalisme trans etnik. Nasionalisme yang berbeda dengan rumusan penganut Majapahitisme yang Jawacentris.

Nasionalisme trans etnik ini bukan sesuatu yang muncul dari ruang kosong, sebab perjalanan hidup Buya Hamka memang membentuk watak kebangsaan lintas etnis itu. Dalam buku Kenang-Kenangan Hidup, Buya Hamka berkisah, bahwa spirit Islam sebagai agama perlawanan terhadap kolonialisme didapat dari guru-gurunya di Jawa, saat di usia muda ia merantau ke Jogja. Ada nama HOS. Cokroaminoto, Haji Fachruddin (Ketua Muhammadiyah) dan RM. Suryopranoto (Si Raja Mogok). Juga pelajaran tafsir dari Ki Bagus Hadikusumo.

Spirit memerdekakan diri dari penjajahan kolonial Belanda makin mengkristal saat ia menimba ilmu di Mekkah. Sebab di sana, ia intens bertemu dengan para tokoh gerakan anti kolonialisme dari berbagai suku yang ada di Indonesia, bahkan Buya Hamka juga bertemu dengan tokoh fenomenal, Haji Merah atau Haji Misbah dari Solo. Namun di atas kebangsaan, karena Buya Hamka saat di Mekkah pergaulannya lintas bangsa, ada kesadaran bahwa Indonesia adalah bagian dari Ummah, bagian dari Dunia Islam.

Ketika pulang ke Indonesia, Buya Hamka, tidak hanya berkiprah di Sumatera, tetapi juga ke kawasan Tengah dan Timur Indonesia. Kecintaan pada bahasa asli Nusantara nampak dari pandangannya tentang bahasa Indonesia, bahwa bahasa Indonesia jangan melupakan akarnya yakni bahasa Melayu Islam. Selain itu, untuk mengembangkan bahasa Indonesia, bila ada kosakata yang belum mencukupi, baiknya ia dicarikan dulu dari perbendaharaan bahasa daerah yang sangat banyak itu, sehingga jangan buru-buru menyerap kosa kata asing.

Ketika para penganut nasionalisme sekular menulis historiografi Indonesia yang memarjinalkan peran Islam dan mengangkat Majapahit sebagai batang tubuh utama sejarah nusantara, Buya Hamka menulis buku Dari Perbendaharaan Lama, yang menunjukkan bahwa Islam adalah penggerak politik dan kebudayaan dari wilayah paling barat sampai timur Indonesia, bahkan termasuk di Jawa.Dalam buku, Islam, Ideologi dan Revolusi, Buya Hamka juga dengan jelas menguraikan bagaimana Islam menjadi kekuatan penggerak perlawanan terhadap kolonialisme di seluruh dunia. Jadi watak politik Islam, beda dengan watak agama lain yang memihak pada status quo, berlindung di bawah ketiak kekuasaan, meski ia harus mengorbankan perasaan keadilan.

Karenanya tak heran, bila kemudian, yang mengikuti pemikiran Hamka bukan hanya dari varian santri saja. Banyak kaum priyayi alias bangsawan dan juga kaum abangan yang dididik dalam kultur pendidikan Barat justru mengalami santrinisasi dengan membaca karya-karyanya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image